Sebelumnya saya tak merasa sesepi dan
semencekam ini di kota orang. Jakarta menjadi sebuah kota yang sudut-sudutnya
saya pandang dengan penuh curiga. Malam kemarin saya ingat, pulang dari kantor lepas tengah malam, naik angkot ke Pondok Indah, lalu jalan kaki ke Radio Dalam. Tak sedetikpun saya merasa tenang, rasanya, malam begitu memburu orang-orang yang sedang ketakutan seperti saya.
Sebabnya, Si Legendaris, motor butut
kesayangan saya tiba-tiba dicuri orang tiga hari sebelumnya. Sedih bercampur sedikit heran. Buat yang sudah
mengenal dan menumpang motor saya, mereka berduka, tapi pasti ujungnya tertawa.
"Kok bisa motor kayak gitu
dicuri," ujar mereka sambil tertawa. "Mabok kali tuh yang nyuri," ujar yang lain. "Dimarahin tuh pasti sama bosnya pas lapor hasil malingan," ujar seorang lain sambil tertawa. Saya hanya ikut senyum saja, mengiyakan, tapi sulit membikin tawa semengembang apa yang mereka maksud untuk menghibur saya. Yang bisa menarik ceria ujung dua bibir ini juga pergi, mungkin ikut dimaling orang malam itu.
Motor itu sudah menemani saya ke
mana-mana. Ke selatan, paling cuma sampai Pantai Pangumbahan waktu
Kuliah Kerja Nyata, 2008 lalu. Timur dan Utara, ya paling jauh ke Jakarta ini, keliling-keliling berguna sekali untuk meringankan beban kerja saya. Nah, paling jauh ke barat, saya boleh bangga, meski
sayapnya cuma sebelah, motor itu bisa mengantarkan saya hingga Pulau Dewata,
medio 2008-2009.
Banyak kenangan manis, tak jarang juga
kenangan pahit terjadi di atas joknya yang sudah terasa begitu keras. Seingat saya, dengan motor ini saya cuma jatuh dua kali. Pertama kali, waktu mau potong rambut di Buah Batu, Bandung, dua bulan setelah beli motor. Terakhir di Jakarta, 2013, pas mau masukin cucian ke laundry. Dua-duanya tak pernah memberi luka parah, hanya bocel-bocel sedikit saja.
Luka paling parah dan laten paling hanya efek pantat tepos. Sebabnya, jok motor ini yang sudah tak diganti bertahun-tahun. Busanya entah mengendap jadi apa, tentu
saja jadi keras, itu motor jarang saya urus. Jadinya merasa bersalah sekarang. Kalau
si Legendaris manusia, ia tak sempat saya bahagiakan, selalu ia melulu buat saya bahagia.
Ia jarang mogok meski jarang diservis,
dan dipacu tanpa sempat dipanaskan. Buat motor Suzuki Smash, yang orang bilang
karya gagal, motor ini termasuk yang bandelnya. Paling-paling masalah yang
kerap menghambat adalah rantai yang terlalu cepat kendor, atau ban yang terlalu
cepat bocor.
Nggak nyangka, Tuhan kasih saya
kesempatan delapan tahun untuk memiliki motor ini. Delapan tahun sedikit,
karena saya ingat persis, beli motor ini di dealer Suzuki, Jalan Kiaracondong,
Bandung, yang kini kalau tak salah sudah berubah jadi dealer Proton.
Tanggal 2 Juni 2005, waktu itu beli pakai
uang warisan almarhumah nenek, kata Mama. Tanpa banyak basa-basi, nggak sampai
dua jam itu motor sudah ada di garasi rumah. Itu motor nantinya menemani saya dari sekadar jalan-jalan, main ke kosan teman, pacaran, nyambi kerja, kuliah sampai lulusnya enam setengah
tahun kemudian.
Habis itu sempat bimbang, Mama
menawarkan, "Kamu mau ganti motor saja nggak?" Waktu saya diterima
kerja di sebuah perusahaan media di Jakarta. Kondisi si motor sudah jauh dari
fit, diservis sedemikian rupa pun, sulit untuk bisa melaju di atas 80 km per
jam. Tapi saya bilang, "Andi bawa aja dulu ke Jakarta ya, Mah?"
"Yakin kuat dibawa ke sana?" Kata Mama. Saya mengangguk, percaya bahwa si Legendaris selalu bisa diandalkan.
Saya pikir, saya akan pakai motor ini
sampai ia nggak bisa jalan lagi. Atau mungkin bila tiba-tiba sahabat saya 'kecelakaan', dan menikah dalam waktu dekat di Padang Sidempuan. Saya punya niat untuk menyetor dan memuseumkan motor saya di sana, setelah sebelumnya dibawa lewat jalur darat. Seburuk apapun kondisi fisik dan mesinnya,
motor ini pernah dan selalu sangat berguna buat saya. Saya pikir kebutuhan akan motor baru
memang mendesak, tapi ya mau gimana lagi, si Legendaris tak rusak-rusak, dan si kawan tak nikah-nikah.
Saya pikir ini komitmen atas apa yang
sudah saya pilih. Daripada membeli yang baru, lebih bagus, kencang, dan muda,
saya ingin mempertahankan yang lama. Hanya saja yang saya sesali, kadang upaya
itu sebatas wacana. Yang paling saya sesali adalah, "Kenapa saya biarkan
motor saya, diparkir di luar kosan tiga bulan berturut-turut? Kenapa saya tidan beli gembok biar lebih aman? Kenapa ketika sempat dibobol, kewaspadaan saya tidak bertambah? Kenapa ya mau cuci motor aja sampai harus disindir dulu? Kenapa motor dibiarkan tanpa rem depan dan belakang?"
Intinya, saya sayang, tapi tak ada upaya untuk mengapik-apik.
Dan semakin menyadari itu, kehilangan menjadi
penyesalan yang tak tahu di mana akan berujung. Meski kini sudah mencicil
gantinya, (alhamdulillah), tapi tak akan sama rasanya. Lebih muda, lebih
kencang, lebih bagus memang, tapi dalam beberapa hal, tak semua yang lebih
menjadi semua yang kita inginkan. Momen ketika kamu menemukan yang tepat:
ketika yang diberikan, tak lebih dari yang kuinginkan. Ketika pas takarannya
semacam sebuah kesempurnaan. Itulah gambaran hubungan saya dengan si
Legendaris, berlebihan memang. Tapi buat yang pernah punya riwayat panjang
dengan sebuah barang, pasti pernah merasakan hal yang sama.
Dan ketika hilang, dada terasa amat
sesak, langkah terasa limbung, pikiran melanglangbuana entah ke mana. Setiap orang yang berkata, "Sabar ya,"
malah membuat linang air mata. Ketika sudah begitu saya suka mencegah bahu saya
dipegang atau ditepuk-tepuk. Biar tidak terlihat cengeng saja, meski tak salah
untuk menangisi kehilangan sesuatu yang kita sayangi.
Dan perasaan kehilangan itu entah sampai
kapan akan berlanjut. Sunyinya mencekam. Di dalam keramaian, seperti dalam lagu
Dewa 19, terasa kesenduan. Pikiran yang masih trauma ini hanya berpikir,
"Kok tega ya, :(." dan seketika dalam bayangan saya, porsi orang
jahat di Jakarta melesat jauh lebih banyak dibanding orang baik.
Itu yang membuat saya setelah kejadian
itu bersikap lebih tertutup, mungkin. Saya tak ingin menyinggung orang lain
dengan rasa curiga saya yang menggunung. Atau membuat orang lain merasa kesal
dengan kesedihan saya yang berlarut. Saya hanya ingin setelah menjalankan
kewajiban sehari-hari, pulang saja ke kosan secepatnya, berbaring, dan berusaha tidur. Saya
cuma ingin memejamkan mata dan meredakan apa yang berdegub-degub dalam dada.
Saya ingin tidur saja agar tak perlu memikirkan apa-apa, dan bangun lagi setelahnya, tapi bukan untuk esok hari, ...
...,melainkan untuk kemarin, lusa,
kemarin lusa, dan waktu-waktu yang terasa indah dan ramai sebelumnya, sebelum
banyak hal-hal yang saya sayangi satu per satu hilang.
- - -
Ditulis oleh Btok, di Jakarta Selatan, (10/6). Selamat tidur, sampai jumpa kemarin hari.
Duile belakangnya. :(((
ReplyDeleteKalau orang Sidimpuan itu "kecelakaannya" sama Zuarayda Salim, urang bela-belain lah nyewa detektif swasta buat nyari motor maneh..
ReplyDeleteiya Zuarayda deh, iya buat maneh. urang cukup Zurayda aja, nggak usah banyak-banyak 'a'-nya. haha.
ReplyDelete