"Depresif ya Kay ternyata. Bukunya sih belum sempet dibaca. Tapi filmnya udah
kutonton semalem," ujarku
menyambut kedatangan Kyrie yang terlambat setengah jam. Alasannya terjebak
hujan. Padahal kan bukannya hujan hanya membasahi? Manusia saja yang ingin terjebak
di rintiknya, entah romansa atau trauma. Banyak alasan untuk terjebak dalam
hujan.
"Apaan?" ujar Kyrie
sambil membuka mantel berwarna cokelat tua yang basah di bagian bahu. Mantel
ini hampir dipakainya tiap hari pada musim hujan. Sehingga katanya dengan
tameng kain tebalnya itu, ia tak perlu lagi repot membawa payung.
"Norwegian Wood!" Aku
menyebut novel karya Murakami yang legendaris itu. Yang malah baru ingin kubaca
setelah menonton filmnya. Rinko Kikuchi hampir dibugili di sana, meski aku jauh
lebih tertarik pada Reika Kirishima yang memerankan tokoh Reiko.
"Astaga! Belum juga dibaca
juga.Udah hampir setahun juga aku pinjemin.
Balikin aja ah kalau nggak dibaca-baca. Awas balik-balik novelnya
keriting." Ia tak pernah meminjamkan novelnya pada orang lain. Aku adalah
pengecualian karena pertama, kami kenal lama, kedua, aku memberi tahu novelnya
ada di tanganku dua minggu setelah aku diam-diam ambil dari rak buku di
kamarnya. Akhirnya ia ikhlas meminjamkan, itu pun dengan catatan, bukunya tak
boleh cedera satu depa pun kala pulang ke raknya.
"Ya nggak lah, aman.
Hahaha," ujarku sambil kembali memandangi komputer jinjing yang menemaniku
saat menunggu keterlambatannya. Bola mataku bergerak-gerak sambil
menaik-turunkan alis, hidungku kembang kempis. Padahal tak ada yang sedang
kukerjakan.
"Curiga deh. Ilang ya? Bilang?" Ia menatapku
tajam, pandangannya mengiris keningku yang mulai berkerut. Suaranya nyaring
kalau sudah mengancam.
"Enggak, ahaha, ahahaha. Iya
deng, ilang novelmu iya yang merah. Nanti kuganti deh, janji! ...Eh, atau
kudownload aja PDF-nya, mau gak? Ya, ya, ya? Haha, aduh," bola mataku
makin bergerak liar. Ingin rasanya bersembunyi ke gelap dan berputar 180 derajat, ke dalam lunar mare. Andai bisa.
"Aaaah! Enggak mau. Gantiin!" Ia menangkap basah
sebelum bola mataku sempat bersembunyi. Ia mendumel karena buku yang hilang
terbilang langka. Cetakan pertama Norwegian Wood yang diterbitkan dua seri oleh
Kodansha English Library, tahun 1989. "Mati!" ujarku kala menyadari
satu dari sepaket novel yang kupinjam darinya hilang. Untung satu lainnya masih
selamat.
"Iya, iya nanti kucari
sampai ujung dunia. Rrr, rrr," ujarku merasa bersalah sambil pura-pura
mengemeretakan gigi dan memberi pandangan bintang-bintang, meminta iba. Ia
melepaskan pandangan tajamnya dariku, mengangguk sedih. Kutahu ia tak bisa
lama-lama marah padaku.
“Padahal kan dunia nggak ada
ujungnya, Kay,” ujarku berbisik pelan, hihi.
2
"Tapi hubungan Toru (Watanabe) sama Naoko di sana itu seru lho. Kok bisa ya mereka bisa nahan untuk cerita sekian lama tentang Kidzuki?" ujarku mengalihkan pembicaraan. Ia sibuk memesan menu, sambil mendamprat pelayan yang kikuk mendeskripsikan pesanannya. Kasihan.
"Tapi hubungan Toru (Watanabe) sama Naoko di sana itu seru lho. Kok bisa ya mereka bisa nahan untuk cerita sekian lama tentang Kidzuki?" ujarku mengalihkan pembicaraan. Ia sibuk memesan menu, sambil mendamprat pelayan yang kikuk mendeskripsikan pesanannya. Kasihan.
"Eh sebentar. Kidzuki itu
yang mana?" tanyanya.
"Lah, katanya udah khatam, gimana sih?" ujarku mencoba
mencairkan suasana. Riskan juga sih takutnya dianggap mengejek.
"Aku bacanya kelas satu SMA,
udah lupa. Kidzuki yang mana
ya?" tanyanya lagi.
"Temen Naoko dari kecil.
Yang mati bunuh diri itu lho,"
"Aaaaah, ya, ya," muka
tegangnya mengendur, layu, dan berkabung. "Iya, sedih."
"Eh tapi, kok seru?
Apanya?" tanya Kyrie.
"Ya gitu. Tiba-tiba mereka
ketemu lagi kan. Setelah sempat kepisah gara-gara tragedi Kidzuki itu.
Dua-duanya rindu. Dua-duanya sedih. Eh tapi pas ketemu bisa seru lagi gitu. Bisa berdamai aja gitu dengan masa lalu mereka. Seolah cerita yang dulu bukan
lagi hal-hal penting yang perlu dibahas," ujarku memberi alasan.
"Iya, tapi apa
serunya?" Ia, lagi-lagi bertanya.
"Ya itu, kemampuan mereka
untuk berdamai dengan masa lalu. Depresif banget coba kamu bayangin, temenmu dari kecil, tiba-tiba bunuh
diri. Lah aku misal, kamu pasti sedih banget. Nih coba langsung kupraktekkin,” ujarku sambil mencoba
menggapai tubuhnya, dan pura-pura nggak kena. “Kay, Kay, kamu denger aku nggak? aku mau ngomong
sesuatu,” ujarku pura-pura jadi hantu. “Sedih kan, ngomongnya harus pake perantara kayak di film 'Ghost'," ujarku sambil mencoba menepuk bahunya, tapi lagi-lagi pura-pura
gagal, karena dimensinya (ceritanya) beda. Seolah benar kalau aku ini mati, dan
yang berbicara dengannya adalah hantuku.
"Shht ah, berisik!" Ia
melirik ke meja sebelah, ada seorang wanita duduk sendiri sambil memesan es
kopi hitam. Mungkin menunggu temannya yang terjebak hujan sepertiku sejak satu
jam lalu. Wanita itu, wajahnya mirip sekali dengan Whoopi Goldberg. Aduh, aku
sekuat tenaga menahan tawa. Mungkin ia tak sendiri di sana, bisa jadi ia sedang
duduk bersama Patrick Swayze. “Makanya jangan sok-sokan maen-maenin ‘Ghost’!” ujarnya berang tapi sambil menahan tawa. Aku
mengangguk.
"Kan Naoko nantinya nggak seberdamai
itu sama masa lalunya. Iya nggak sih, aku lupa?" ujarnya mengajakku
kembali berbincang tentang novel itu.
"Iya sih, kan di
tengah-tengah Toru terus nanya. Penasaran dulu Naoko sama Kidzuki gimana. Sampai ketahuan kalau ya
dua-duanya lebih dari sekedar teman.
Naoko keinget lagi, depresi lagi, Toru nenangin
lagi, keinget lagi, depresi lagi. Gitu
aja siklusnya."
"Sekadar! Terus tadi juga praktik,
bukan praktek!" ujarnya meralat.
Satu hal yang aku sebal darinya, selain keras kepala, adalah kebiasaannya untuk
menjadi polisi kata. Sampai-sampai tadi ketika memesan es teh manis, ia
sampaikan pada pelayan kikuk yang kena semprotnya, "Gulanya, ala kadarnya aja ya." Aku tahu si pelayan
sebenarnya bingung, tapi tak lagi berani bertanya.
"Ya artinya nggak ada yang
berdamai dengan masa lalu dong di sana?" ujarnya melanjutkan pembicaraan, dan lagi-lagi bertanya.
"Iya sih ya. Haha, maksudku
awal-awalnya gitu kan. Seru aja tapi tetep. Eh tapi gini lho,
maksudku tadi mau nanya gini, penting
nggak sih kita berdamai dengan masa lalu?"
"Konteksnya?" Dia malah
balik bertanya.
"Ya kayak Toru tadi, kalau
dia bertahan buat berdamai dengan masa lalu Naoko, ya aman. Bisa seru terus apa
yang mereka jalanin."
"Tapi di satu momen, Toru
ngerasa perlu nuntasin segala
kepenasarannya dengan minta klarfikasi semua dari Naoko. Dan ya, dia tahu
sendiri resikonya... (menahan tawa)
Meski ya nanti kita tahu kan yang lebih banyak nanggung bebannya, tetep Naoko," ujarku menjelaskan
"Ya kan katanya beberapa hal
yang nggak kita tahu, katanya nggak bakal bikin kita ngilu. ..."
"...Tapi beberapa orang
milih buat ngilu, karena mereka sangat ingin tahu, dan mereka nganggap itu penting."
"Jadi buat apa tahu? Apa
pentingnya tahu? Apalagi kalau cuma buat bikin ngilu,"
"Ah, kamu kenapa jadi nanya
balik muluk," ujarku sedikit
kesal, meski ia ada benarnya. Karena aku tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Buat apa?" ia kembali
bertanya, menegaskan.
"Ya, buat apa ya. Ya udah itu, buat ngilu kan, haha. some people can get addicted to
a certain kind of sadness. Hahaha, tapi auk
ah, ya tanya Toru lah jangan ke saya."
"Ya kamu juga tahu kan
gimana akhirnya di sana. Toru akhirnya tahu, penasarannya tuntas. Ia ngilu
keras. Tapi toh kan bukan dia yang berakhir tragis di sana?" ia menanyakan
satu hal yang kami berdua sudah tahu jawabannya.
"...," aku tak tahu
harus bicara apa, mungkin bingung. Tapi mengerti kok, mengerti. Dan aku tahu
akan ke mana arah perbincangan ini.
"Kamu tahu kamu ngilu. Tapi
bukan berarti orang yang menceritakan semuanya padamu, nggak lebih ngerasa
ngilu dari kamu," jawaban Kyrie ini bak pecutan terpedas bagi orang yang
terlalu ingin tahu seperti saya. Orang yang sangat ingin tahu, sangat sok tahu,
tapi mengakuinya selalu malu.
"Kok aku?" kini giliranku
yang bertanya.
"Ini soal Sekar lagi
kan?" Ah, nama itu. Terkaan Kyrie. Setelah terdiam beberapa saat, aku tak
bisa menahan lebih lama untuk tidak mengangguk.
3
Aku tak berkata-kata. Kembali pura-pura sibuk di depan laptop. Kulirik sedikit, Kyrie tampak sedikit bersalah. Meski tidak, sama sekali ia tak salah. Ia selalu tahu kemana kailku memancing. Apalagi untuk banyak perbincangan beberapa bulan terakhir. Aku selalu butuh Mori untuk meredakan keresahan yang menggenang entah di bagian mana dalam tubuhku, sehingga kadang sulit rasanya untuk bernafas.
Aku tak berkata-kata. Kembali pura-pura sibuk di depan laptop. Kulirik sedikit, Kyrie tampak sedikit bersalah. Meski tidak, sama sekali ia tak salah. Ia selalu tahu kemana kailku memancing. Apalagi untuk banyak perbincangan beberapa bulan terakhir. Aku selalu butuh Mori untuk meredakan keresahan yang menggenang entah di bagian mana dalam tubuhku, sehingga kadang sulit rasanya untuk bernafas.
Dan ia selalu berhasil untuk
sedikit mengurasnya. Selalu berhasil
untuk menahanku untuk tidak menumpahkan segalanya pada Sekar. Hanya akan
membuatnya duka dengan cara yang sudah kuduga, sesuai jawabannya: menorehkan
luka.
Bingung menanganiku, ia tanpa
pamit pergi ke kamar kecil. Ia berlalu dengan sepatu boots barunya, belum sempat kupuji betapa maskulinnya ia mengenakan
itu. Dipadu dengan tas punggung hitam polosnya yang sederhana, membonceng di
balik bahunya yang bidang, dalam balutan mantel cokelat yang hangat. Saat itu
aku menyadari jangan lagi terlalu banyak bicara. Ia sedang ‘ada tamu’. Selalu
saja begitu dari dulu kubilang bawa pouch
kecil untuk menyimpan pembalutnya. Jadi tak perlu repot bawa seluruh tas
untuk ganti pengaman di tempat umum seperti ini. Ia tak pernah berubah, selalu
keras kepala.
Kyrie Amori dan aku seperti Naoko
dan Kidzuki, kami mengenal sejak kecil. Tapi kami hanya berteman, tak pernah
dan tak berpikir lebih dari teman. Kata orang-orang, "Belum saja."
Tapi kami yakin itu. Dan tak ada hal yang salah di luar keyakinan kami berdua. Ia dan keluarganya pindah ke komplekku pada
saat umurku sembilan tahun. Rumahnya selempar bidak kuda catur dari rumahku.
Setahun lebih kukira ia lelaki. Karena postur dan potongan rambutnya. Juga
karena ia tak pernah menolak ketika kuajak bermain bola.
Aku baru kaget, ketika masuk SMP
yang sama, ia memakai rok biru tua ke sekolah. Buah dadanya pun mulai menonjol.
Tak hanya kaget, pun takut. Baru pertama kali aku melihat perempuan selaki-laki
ini. Baru kutahu belakangan, tomboi istilahnya.
Di SMA, kami mulai dekat karena
ia merasa tak nyaman dengan teman-teman wanitanya yang dianggap terlalu ceriwis.
Sementara ia tak suka berbasa-basi. Ia mengetuk pintuku setiap pagi dan kadang
sarapan di rumah sebelum pergi sekolah. Kami berangkat naik motor. Sekali-kali
kuizinkan ia yang mengendarai.
Di sekolah kami saling
mengenalkan sebagai sepupu. "Biar orang nggak mikir macem-macem,"
ujarnya. Meski kadang itu tetap jadi masalah. Beberapa pria urung mendekatinya,
karena dipikirnya Kyrie ada apa-apa denganku. Begitu juga sebaliknya kuadrat.
Kuadrat karena setiap aku mencoba mendekati teman wanita di SMA, banyak yang
beralasan, "Nggak enak sama Kyrie ah," ujar salah satu dari sekian
banyak mereka. Kutegaskan kami tak ada apa-apa. Kami cuma sepupu. Atau kadang
kalau sedang jahat, kubilang Kyrie tak doyan lelaki. Mereka tetap tak mau
mengerti. Belakangan aku menyadari bahwa alasannya bukan karena Kyrie,
gadis-gadis itu memang tak mau saja denganku.
Lulus sekolah, kami satu kampus
lagi. Satu universitas dan sempat satu kelas selama setahun. Semester ketiga ia
mengambil Jurusan Jurnalistik hanya karena jaket almamaternya paling macho.
Sementara aku masuk jurusan Manajemen Komunikasi, karena awalnya kupikir di
Jurnalistik, ceweknya nggak ada yang ciamik. Aku senang melihatnya tumbuh
dewasa, dan menjadi cantik dengan caranya sendiri. Kata seorang temanku di
kampus yang naksir padanya, "Cantik yang macho-macho gimana gitu."
Aku bingung kadang, berarti kalau begitu ada pula lelaki yang 'ganteng tapi
feminim-feminim gimana gitu'. Ah, kenapa juga kupikirkan!
Belajar dari pengalaman masa
sekolah. Kami mulai menjaga jarak di kampus. Tak perlu menjaga jarak pun tak
masalah baginya. Baru kutahu saat itu, Kyrie bukan tipe wanita yang percaya
komitmen dalam berhubungan. “Ya udah temenan aja, nggak harus pacar-pacaran,”
ujarnya padaku saat kutanya tentang seorang lelaki yang sedang mendekatinya. Hingga
lulus pun, tak ada satupun mahasiswa, bahkan dosen yang nyangkut di hatinya.
Sementara aku di tahun ketiga bertemu Sekar. Setelah itu hubungan kami seperti
sedia kala, tak lagi perlu menjaga jarak. Tak ada yang perlu dihindari lagi.
Sekar pun amat menerima Mori, vice versa.
Kadang aku iri, karena Sekar tampak lebih perhatian pada Mori, begitupun
sebaliknya. Aku langsung mengingat perkataanku zaman sekolah dulu. "Mori
kan nggak suka cowok!" Mengingat itu aku langsung berdoa saban malam agar
candaan jahat itu tak dihitung tuhan sebagai harapan.
Kyrie Amori. Namanya diambil dari
tiga bahasa asing. 'Kyrie' dalam bahasa Yunani artinya 'tuhan'. Katanya
terinspirasi dari lagu Mr. Mister, "Kyrie Eleison" Kami berdua selalu
menyanyikannya saat karaoke bersama teman-teman satu geng di kampus. Liriknya
kami plesetkan menjadi, "Carry a
laser down the road that i must travel." Sambil pura-pura memegang
pistol imajiner dan menembaki hadirin-hadirot jemaah karaoke lainnya.
Nama belakangnya pun kusuka.
Paduan dari "Amor", dan "Mori". Amor dalam bahasa Spanyol
adalah 'cinta', Kyrie menyebutnya dengan istilah ‘hantu’ karena ia percaya hal itu
ada tapi tak pernah bisa dilihatnya, dan hal itu selalu membuatnya takut. Sementara
itu Mori, diambil dari Bahasa Jepang, artinya 'hutan'. Akan sangat lucu bila
pada 1987, tahun kelahirannya, Norwegian Wood tak pernah terbit. "Tadinya
aku mau dikasih nama, Kyrie Amor aja.
Nggak tahu itu beneran apa becanda. Tapi geli banget, kayak ‘Por Tu Amor’ dong
masa. Untung aja diselamatkan Murakami,"
ujarnya suatu waktu.
‘Norwegian Wood’ yang dikarang
Murakami berjudul asli 'Noruwei no Mori'. Ia berutang banyak pada buku ini,
namanya jadi cantik dan penuh makna. Kyrie Amori. "Artinya, dalam hutan, aku menemukan ‘hantu’
dan tuhan. Dalam tuhan, aku menemukan ‘hantu’ dan hutan. Dalam ‘hantu’, aku
menemukan tuhan dan hutan."
Ia selalu memberi alegori pada
kata-kata dalam namanya itu. 'Hutan' adalah kehidupan, 'tuhan' adalah kematian,
dan cinta, atau istilahnya yang lain, ‘renjana’ adalah rencana. "Mori
menuju Kyrie, harus dibimbing oleh Amor." Itu yang selalu membuatnya
tenang, mampu berdamai dengan situasi apapun. Pun memberikan kedamaian bagi
orang-orang yang ada di sekitarnya. "Dengan mencintai hidup, kamu tak
perlu membenci kematian." Ya, setiap orang takut mati, tapi untuk apa
membencinya, kata ia. Cintai saja hidup, semoga kematian juga mencintaimu
kelak.
Motto yang selalu kudebat, karena
menurutku bagaimana orang bisa tak membenci suatu hal yang merebut apa yang
dicintainya. "Kalau tiba-tiba kamu dapat lotere, satu miliar misalkan.
terus kurampok kamu besoknya, terus kamu aku bikin mati. Apa kamu tak akan membenci
kematian?"
"Aku hanya akan
membencimu." ujarnya ringan, karena jelas tahu bahwa aku jauh dari serius.
Tapi kadang kalau sudah kesal dan terus kutekan kala berdebat tentang hal itu,
ia selalu lari ke pertanyaan yang akan ia jawab sendiri ini:
"Kamu punya barang berharga,
lalu seseorang mencurinya darimu. Siapa yang akan kau benci? Pencurinya?"
tanya Mori yang disambung dengan jawabanny sendiri.
"Kalau aku. Aku hanya akan
membenci diriku sendiri karena kelalaianku," ujarnya. Balik kesal, aku
langsung mengambil tahu mayo yang masih hangat dari tangannya. Tepat ketika ia
hendak menyuapkan itu dalam mulutnya yang sudah menganga besar. Hendak
dilahapnya itu mungkin dalam sekali telan.
Dia tertawa pasrah sambil
berkata, "Aaah, aku benci kelalaianku. Udah sini balikin aku laper banget,"
ujarnya sambil memasang muka sedih. Menopang tangannya di dagu, dan gantian
memberi pandangan bintang-bintang kepadaku.
“Kamu sadar nggak sih tadi aku
ngomong resiko pake 'e' kok tumben nggak
rewel?” tanyaku usil. “Aku tahu dari hidungmu yang suka tiba-tiba kembang
kempis itu, kapan kamu sengaja ngisengin atau beneran serius salah! Ngapain juga kutanggepin.”
“Ah, udah ah sini balikkin kamu
tahu kan kenapa aku suka makan tahu mayo di sini? Karena porsinya pas, jadi kalau kamu
ambil satu, mending empat sisanya nggak aku makan daripada ntar kenyangnya nanggung,” ujarnya memohon.
Aku lebih sibuk memerhatikan
hidungku dengan ujung mataku. Benar juga ternyata kalau sedang usil, hidungku
kembang kempis. Hrr, aku tak suka jika orang lain lebih paham tentangku daripada diriku sendiri. Kyrie masih berisik memohon aku agar mengembalikan cemilannya.
Mataku bangkit dan menatapnya tajam. Hidungku sengaja kukembang-kempiskan lebih
kuat.
Yyuuummmm! kulahap tahu mayonya dan
ia sekuat tenaga mencoba menggigit lenganku.
/
‘Ren(t)jana Kyrie’ ditulis oleh Mohammad Andi Perdana untuk
The Moderntramp pada Januari 2014. Merupakan bagian entah ke berapa dari cerita
panjang yang berjudul sementara ‘Suar Sekar’. Sebuah fiksi