Friday, 8 March 2013
Sunday, 3 March 2013
NENDEN
1.
Beberapa orang malam ini bereuni dengan guru SMAnya. Teman saya, ENNS misal baru saja bercerita bahwa kakaknya bertemu dengan guru zaman ia sekolah di Sibolga di Riau. Eh, tak lama telepon genggamnya bergetar. “Halo Pak, selamat malam, apa kabar?” ujar ia dengan raut muka sumringah. Si guru tiba-tiba menelepon. Komunikasi pertama mereka sejak 2004.
Beberapa orang malam ini bereuni dengan guru SMAnya. Teman saya, ENNS misal baru saja bercerita bahwa kakaknya bertemu dengan guru zaman ia sekolah di Sibolga di Riau. Eh, tak lama telepon genggamnya bergetar. “Halo Pak, selamat malam, apa kabar?” ujar ia dengan raut muka sumringah. Si guru tiba-tiba menelepon. Komunikasi pertama mereka sejak 2004.
Saya dan seorang teman lain, sambil
menerka isi perbincangan ENNS (antara lain, “Sudah punya istri?” Dijawab, “Belum,
Pak, belum, minta doanya aja,” ujar ia cengengesan), kami mencoba mengingat tentang pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa zaman SMA.
Si teman satu lagi, DN mengklaim hampir
ingat seluruh gurunya. Cuma satu yang ia lupa, guru biologi zaman SMA.
Sementara saya, justru cuma ingat satu guru zaman SMA, guru biologi. Saya ingat
karena si guru, cantik dan seksi, hehe.
Teman saya si DN, mulai rewel. Aneh
memang rewelnya, cuma gara-gara gagal mengingat nama satu guru, yang meskipun
ia ingat, tak bakal mendapat apa-apa yang menurut saya berguna buat hidupnya. “Nggak,
cuma penasaran aja,” ujar ia. Di situ saya sadar, betapa penasaran bisa bikin
orang sebegitu tersiksanya.
ENNS beres menelepon, dan langsung
flashback tentang masa lalunya di SMA. Kami seperti biasanya hanya mendengar
cerita anak asrama yang lika-likunya begitu kaya. Tapi DN, masih sibuk dengan
rasa kepenasarannya, yang mulai mengganggu saya.
“Siapa sih namanya?” ujarnya dengan
suara melengkingnya yang mengganggu, (ahaha, xp). Ya sudah, saya bantu jawab,
asal saja memang, terlintas di benak saya ada guru wanita (entah zaman SD, SMP,
atau SMA) yang bernama Nendah. Entah kenapa saya plesetkan jadi Nenden, dan
saya ubah kelaminnya jadi lelaki. “Pak Nenden!” kata saya tak begitu peduli,
dan kembali mendengar cerita ENNS tentang masa remajanya di Sibolga.
“Nah, iya bener, Nenden, Bu Nenden,”
ujarnya. Awalnya saya tak begitu tertarik. Mungkin si teman hanya berupaya
bikin saya senang setelah merasa bersalah karena tidak bertanya, “Kenapa Tok?”
pas saya jatoh saat membawa minuman di sebuah restoran cepat saji di Bulungan,
Jakarta Selatan. Ahaha. Tapi kemudian ia mengecek, dan membuktikan pada saya,
bahwa memang benar guru biologinya bernama Nenden. Buktinya adalah salah satu
blog adik kelasnya yang bercerita tentang guru yang berusaha ia ingat itu.
Saya melongo saja. Si DN berhenti
rewelnya karena puas. Si ENNS masih sibuk dengan cerita zaman SMA-nya meski
sudah tak ada lagi yang mendengar, xp. Saya melongo, jelas karena bengong,
mungkin lebih tepat disebut takjub. Dengan lontaran jawaban yang muncul sepersekian
detik lewat notasi warna yang melintas di otak, merah-hijau-biru. Keren. Sudah
lama saya tak takjub pada diri saya sendiri, ahaha.
Tapi saya tak bisa melanjutkan
kemenakjuban saya, untuk menjadikan itu sebagai pintu masuk untuk menggoda
teman saya si DN. Kan bisa saja saya bilang padanya, “Tuh kan, aku bisa jawab rasa
penasaranmu dan bikin puas.” Ahaha. Saya
tak lagi bisa, setelah ia jadi milik teman baik saya. Godaan paling maut pun
bakal mental, jadi lebih baik kita gantungkan saja senjatanya. Karena saya
tahu, mereka bakal jadi pasangan yang hebat, menyenangkan, dan bisa saya
jadikan panutan. Dalam otak saya, notasi warna berkelebat dan mengatakan prediksi itu. Langgeng dan bahagia selalu ya, Mas dan Mbak, jangan saling
menyia-nyiakan, :).
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta
Selatan (4/3) sambil nunggu donlotan JAV dan masih kaget aja denger kabarnya,
:)).
Subscribe to:
Posts (Atom)