Sunday 19 May 2013

SEMBILAS


KAREUMBI


Inisiasi Kareumbi. Sebagian peserta, WAP, RP, MAP, AP, ATW, AB, MT, ADC, S, GM, DIB, Mas W alias Mas A, AS, MRK, IG, IW, SGM, AB, MY (searah jarum jam). photo: Istman MP

1.
Kantorku dan organisasi pecinta alam Wanadri adalah saudara perse'Yusril'an. Paling tidak begitu kata Direktur Utam, BHM saat mengunjungi kami yang tengah diinisiasi di hutan Kareumbi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Yusril yang dimaksud adalah Yusril Djalinus, ia adalah pendiri 'T', sekaligus pelopor (angkatan kedua) Wanadri yang didirikan pada 1964. Sebagai hubungan kekerabatan dua organisasi ini, di Kareumbi ada bukit yang dinamai Yusril Djalinus, dijaga oleh Wanadri, dan diserah tanami pada 'T'. Sudah 999 pohon ditanam 'T' di bukit itu.
"Kami diminta menanam 1.000 pohon, tapi Yusril menyukai angka sembilan," ujar BHM di depan api unggun kepada peserta inisiasi, Jumat, 17 Mei 2013. Banyak cerita menarik yang dilontarkannya mengenai Yusril malam itu. Rupanya kegemaran terhadap angka sembilan itu juga pernah disakralkan oleh 'T'.
Misal, kantor 'T' di Pegangsaan, Jakarta Pusat dulu benomor alamat 72. "Kalau digabung jadi sembilan," ujarnya. Peserta terkekeh dengan upayanya mengait-ngaitkan itu. Intinya tentang Djalinus, ia berpesan pada para calon pengikutnya agar bisa menjadikannya sebagai panutan. Atau yang mengutip sejawat medianya, JO, "Jadilah seperti wartawan 'T' yang militan," ujar ia. Meski kami sendiri mengartikan militan sebagai 'milih-milih liputan', xp.
BHM datang hampir larut malam. Ia datang saat energi kami hampir terkuras habis seharian. Paginya kami diantar dari Jakarta dengan truk TNI-AL, menghabiskan 4-5 jam perjalanan, termasuk satu jam perjalanan di jalan berbatu. Menjelang sore kami disuruh mendirikan tenda darurat pengungsi untuk simulasi. Tenda yang besar sekali, seperti yang sering saya lihat di area perang-perang klasik di serial 'Game of Thrones'. Tingginya bisa sampai lima meter, luasnya mungkin 70 meter persegi.
10 orang terpilih (baca: sial) yang punya kesempatan mendirikannya. Beres juga akhirnya dalam waktu kurang lebih satu jam. Pembimbing kami dari Wanadri tanpa ditanya mengatakan tim terlatih seperti dirinya hanya butuh waktu 10 menit untuk mendirikan tenda macam ini. Beberapa peserta kaget dan kagum, beberapa lainnya yang bersikap skeptis tak tahan untuk berkomentar, "Ya terus?"
Biarlah untuk masalah itu kami terbagi. Yang pasti kami sore itu dipersatukan dalam lelah. Yang dimaksud kami dalam acara ini adalah 19 orang reporter, terdiri dari dua angkatan yang masuk pada 2011. Lima orang redaktur. Termasuk sebagian panitia yang memilih untuk menggandakan beban kerjanya karena merangkap sebagai peserta.
Ada sedikit cerita lucu, ada satu tim yang diminta pembina Wanadri untuk mencarikan data mengenai kampung tempat wilayah Kareumbi berdiri, seakurat, dan selengkap mungkin. Ini melengkapi dua tim lain yang ketiban sial mendirikan tenda darurat. Dalam tim pencari data itu, selain terdapat beberapa redaktur yang pengalamannya sudah teruji, juga ada beberapa reporter yang kini jadi andalan 'T' untuk menguak kasus di beberapa pos vital seperti KPK dan Mabes Polri.
Ketika mereka pulang merepresentasikan 'hasil belanjaannya', pemberi tugas tampak kagum dengan pencapaiannya yang akurat dan 'terlalu' lengkap. Ya kami di tim tenda sudah tak aneh. "Ya jangankan data lengkap soal demografi kampung, data korupsi di sini pun bisa kami ungkap," ujar salah seorang kawan. Asu, x)).
Pada malam harinya, penderitaan kami belum berakhir. Peserta dibariskan untuk ikut 'jurit malam'. Tiap orangnya diberi 'kesempatan' untuk menjelajahi hutan gelap selama satu jam, sendirian. Total peserta malam itu, 28 orang, karena sebagian lupa membawa senter sehingga tak diizinikan untuk ikut jurit malam.
Satu orang kesasar. Kesasar yang unik karena dari total tiga jam perjalanan malam itu (dua jam lagi dilakukan secara berkelompok), ia hanya menempuh waktu 20 menit. "Saya nyasar (waktu jalan sendiri), nggak nemu yang lain, baru nyadar kalau nyasar. Tiba-tiba ada lampu, saya jalan ke sana, tahu-tahu udah di basecamp lagi aja," ujar sang kawan, MT, memberi klarifkasi.
Hal tersebut jadi bahan perbincangan hingga BHM datang dan tahu pada malam harinya. Seorang teman menyampaikan padanya, "Mungkin memang jumlah rombongan tadi harus berkurang (nyasar) satu orang, jadi total hanya 27 orang, karena kan Yusril Djalinus menyukai angka sembilan."
Kami semua hampir tertawa mengelilingi api unggun yang tak mati meski hujan cukup deras. Betapa alam lewat Yusril, mempersatukan kami lewat caranya yang lucu.
2.
Dalam forum yang sama, BHM memberikan informasi lain yang tak kalah pentingnya. Tentang rencana bonus, tentang rencana konvergensi media (termasuk kemungkinan merangkap sebagai reporter TempoTV), tentang kondisi perusahaan terkini, tentang rekam jejak inisiasi-inisiasi di masa lampau yang tak kalah gilanya. Soal yang terakhir, yang saya baca di buku tentang 'T" ketika kuliah dulu, selalu diakhiri dengan menceburkan diri di kolam renang Wisma 'T' di Sirnagalih, Bogor. Setelah itu, barulah bisa  dengan bangga menyebut diri sebagai wartawan 'T'. Sah.
Saya berpikir ritual seperti itu akan berakhir. Apalagi di Kareumbi tidak ada kolam. Tapi saya lupa, di sini banyak sungai yang mengalir jernih.
Maka datanglah waktu yang ditunggu. Setelah dua jam belajar navigasi dan membuka jalur esok paginya, waktunya 'main air' tiba. Inisiasi lengkap, karena akhirnya kami nyebur dan 'membasahi diri'. Bukan di kolam Wisma 'T', melainkan sungai jernih di wilayah konservasi alam Kareumbi. Tradisi memang tak berlanjut, tapi mungkin saja kelak kami bisa menambah halaman baru jika buku Seandainya Saya Wartawan 'T' dicetak ulang dan diperbarui, hehe.
3.
Pada akhirnya saya berterima kasih pada alam, pada Wanadri yang mempersilakan kami mencicipi 1/32 porsi pelatihan dasar yang biasa mereka berikan dua tahun sekali pada calon anggota. Untuk SDM 'T' pun, saya bilang saya senang. Tapi tetap nggak mau bilang terima kasih secara utuh, ahaha. Masa iya, kami harus berterima kasih pada orang-orang yang membiarkan kami untuk disiksa.
Tapi ya, sebagian terima kasih tetap terucap pada SDM ‘T’ yang membiarkan kami untuk belajar tentang kerja sama di alam. Pada para redaktur yang tak gengsi 'diperintah' reporter di hutan. Pada mereka juga yang tak mengeluh (justru semangat) mengikuti kegiatan. Pada kakak angkatan yang memberi banyak pelajaran tentang liputan kala senggang di depan api unggun. Pada teman-teman seangkatan yang lebih membuka diri untuk dikenal. Dan pada saya sendiri, haha, yang menyadari bahwa ada beberapa hal yang tak bisa selalu dilakukan sendiri.
Karena pada akhirnya kita hanyalah makhluk sosial. Maka jangan sungkan kala membutuhkan, dan jangan menahan bila dibutuhkan. Sebab akhirnya kata The Beatles pun, the love we take, is equal to the love we make.
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (19/3). Cuma dua hari di hutan, tapi rindunya menggunung pada 'rumah' tempatnya melepas lelah, tempatnya merasa membutuhkan dan dibutuhkan, x).

LAYU

1.
Yang kutakutkan bukan apa.
aku akan kembali terjaga nanti pagi,
Tapi siapa,
yang akan membangunkanku esok hari.
Karena bisa saja ia kawan
yang tak terlalu kukenal.
Bisa saja ia sopir atau kernet truk
yang memberiku tumpangan
Bisa saja ia mandor kuli angkut pelabuhan
yang memberiku sepiring makan.
Atau bisa saja itu popor senjata,
dalam genggaman tuannya yang menatapku nyalang.
Andai saja itu kau tiap pagi,
dan senyummu yang berisi seperti runduk
padi.
Kepadamu selalu rindu tersimpan,
walau terlampiaskan
hanya pada pengandaian.
Dalam pelarian.

- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (19/3) setelah membaca kisah Wiji Thukul. Mewakili perasaan rindunya pada 'rumah'. Begitu pula sebaliknya.