Saturday 3 August 2013

KARMA: TAK ADA BINTANG JATUH MALAM ITU

via piccser

#002
Di tepi danau itu, gelap sekali. Langit tak merah karena bulan tak datang malam ini. Suasana terbaik untuk sebuah eksekusi. Aku berjalan tertatih sambil menyeret mayat lelaki itu. Lelaki yang baru saja kudor keningnya.
Aku menaikannya ke atas sampan. Lelaki ini beratnya jadi berkali lipat. Dalam salah satu metode 'penghilangan', memberati mayat dan membuangnya ke laut atau danau adalah salah satu cara yang populer. Aku tak suka melawan arus. Ikut saja, namanya saja populer, jelas sudah diuji keberhasilannya. Aku tak mau neko-neko.
Lumayan memancing keringat juga pekerjaan paska-eksekusi ini. Menyeretnya dari gudang ke danau butuh sekitar setengah jam, padahal jaraknya paling cuma 500 meter. Bola-bola besi sebelumnya telah kupersiapkan. Kurantai ke tubuhnya sejak di gudang.
Di sampan aku merasa bodoh. "Kenapa tak kurantai di sini saja?" Aku tertawa sendiri sambil menyalakan rokok, lalu menarik sauh.
Namanya Danau Kematian. Terletak jauh sekali, jangankan dari pusat kota, pusat desa saja butuh waktu berjam-jam. Setengah perjalanan bisa ditempuh dengan kendaraan, sisanya harus berjalan kaki. Tak ada siapa-siapa karena tak ada yang berani ke sini. Danau Kematian terletak di Hutan Terlarang. Mitosnya banyak hantu, binantang buas, sampai manusia jadi-jadian. Mereka konon muncul dan bergentayangan keluar dari Danau Kematian. Hantu-hantu yang kuyup.
Tentu ini tempat idaman bagi setiap pembunuh bayaran. Orang-orang yang tak takut hantu penasaran, karena mereka yang menciptakannya. Yang unik, meski namanya terlarang, sinyal telekomunikasi masih berfungsi di sini. Walau hanya satu bar. Aku pernah melihat satu menara sinyal saat menyembunyikan mobil di ujung Hutan Terlarang. Sebuah bukit yang jalurnya cukup sulit. Dibuat sembarang saja sepertinya, sekali pakai ketika petugas operator telekomunikasi memasang menara sinyal itu.
Tapi mereka tak salah, di ujung timur terdapat sebuah desa padat penduduk. Kabarnya seorang politisi tenar berasal dari desa ini. Ia kini duduk jadi wakil rakyat, dan menara sinyal tadi adalah salah satu jejaknya. Klaimnya, ia mengeluarkan kocek tebal demi menjalin komunikasi dengan kampung kelahirannya. "Kacang tak boleh lupa kulit," ujarnya dalam sebuah wawancara di televisi.
Di ujung barat menara sinyal, dataran kembali melandai jadi lembah. Itulah Hutan Terlarang.
Aku memandangi wajah pria malang itu. Membayangkan akan jadi apa mitosnya jika benar ia gentayangan, keluar dari Danau Kematian. "Hmmm, Hantu Botak Bermata Tiga," aku menamainya begitu sambil menggambar kelopak mata di jidatnya yang bolong tepat di pusatnya. Kugambar dengan sisa-sisa darah segar yang mengucur dari luka bakar itu.
Telepon genggamku berbunyi, sebuah pesan singkat dari 'Tuhan Santoso' masuk. Satu-satunya nomor yang kusimpan di telepon ini. "Brengsek! Segera bereskan saja tak usah banyak drama," tulisnya. 
Lho, kenapa jadi menyalahkan drama. Itu perlu sesekali, menggulai hidup yang terlalu pahit, mempedarkan hayat yang terlau manis. Ketar-ketir mungkin Tuhan yang satu ini, hidupnya tiba-tiba getir.
Ia masih kesal rupanya dengan kejadian beberapa jam lalu. Tapi suka tak suka, itu aturan mainnya. Aku tak mau kena karma.
"Beres Ya Rabb, selesaikan saja tugasmu. Ruh sudah tercabut dari raganya," tulisku dalam pesan singkat untuknya. Di ujung sana, pesanku akan diterima dari kontak bernama 'Izrail'. Satu-satunya kontak yang hanya terdapat di telepon genggamnya.
Dengan sepatu bootku, kusepak-sepak tubuh kaku itu hingga ke ujung sampan. Aku berdiri mencari keseimbangan, berjongkok di samping mayat yang terbaring itu. Mencungkilnya dari sampan sambil melolong sekuat tenaga. Byur. Satu raga tenggelam diiringi suara manusia lainnya yang berteriak lirih dan menggema.
Kuseka keringat, setelah itu sekuat tenaga kulemparkan telepon genggamku ke danau. Bentuknya yang pipih membuatnya loncat tiga kali di atas air sebelum benar-benar lenyap ditelan permukaan danau yang beriak. Di tempat lain, entah di mana, 'Tuhan Santoso' juga harusnya melakukan hal yang sama. Dua telepon genggam itu tak pernah ada.
Aku berbaring di atas sampan yang terombang-ambing riak yang tenang. Kulihat bintang-bintang merajai langit jauh di balik asap rokok yang mengepul tak henti. Aku berbaring sampai menunggu bintang jatuh demi mengucap harap,
"Nak, masih banyak yang tempat yang lebih mulia dari dunia yang bejat ini."
Dan tak ada bintang yang jatuh malam itu.
- - -
Ditulis Galajingga di Radio Dalam, Jakarta Selatan (2/8). Tulisan ini merupakan bagian dari serial #CeritaGala: #Karma

Friday 2 August 2013

KARMA: INTRODUKSI

via 199932real

#001
Karma adalah akibat dari hal-hal yang tak (sempat) terjelaskan. Hal-hal yang tak terselesaikan. Menghindari karma, aku hanya perlu menuntaskan segalanya secara lugas.
>< 
"Hallo, hallo! Aku bisa jelaskan. Bukan, bukan. Aku tak bermaksud demikian, biar kujelaskan dulu. Tunggu, tunggu!" ujarnya dengan nada tinggi. Kubiarkan saja mereka berbicara selama beberapa menit. Aku tak ingin menguping. Kunyalakan sebatang rokok sambil menunggu di sebuah sofa lapuk di gudang tua yang gelap ini.
Sebab tugasku bukan menguping. Tugasku membunuhnya.
"Hallo, hallo, hallo! Hai, tolong, telepon dia lagi," ujarnya dengan nada tinggi dalam keadaan terikat di sebuah bangku kayu yang lapuk. Telepon genggamku tergeletak di meja besi di depan sekapnya. Terdengar bunyi menutut, tut-tut-tut, dari lubang suara telepon genggamku. Lawan bicaranya menutup sambungan. Lawan bicaranya, orang yang menyewaku untuk membunuhnya.
"Kau sudah tahu kan siapa aku? Siapa pula yang menyuruhku dan alasan mengapa ia ingin aku membunuhmu," ujarku.
"Tunggu sebentar, aku bisa menjelaskannya. Biarkan aku bicara padanya sekali lagi," ujar ia. Keringat dingin membasahi kemeja putihnya yang terpapar noda tanah. Lututnya gemetaran. Kurang banyak berdoa rasanya ini orang, takut sekali menghadapi kematian.
"Tapi kau sudah tahu kan? Sudah tidak penasaran lagi?" ujarku bertanya sambil memasang peredam suara pada pistolku. Ia tak menjawab, sibuk meracau dengan entah, aku lupa apa kata-kata terakhirnya. Kalau tidak salah, "Aku tak mengerti, ini hanya salah paham sa..."
Sebutir peluru menembus kepala plontos itu sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Tugasku usai. Tak ada yang tak terselesaikan antara aku dengannya. Pria muda malang itu tahu segalanya tentangku dan alasan Tuhan memilihku sebagai malaikat pencabut nyawa baginya.
Bila ada hal-hal yang tak terselesaikan. Itu antara ia dan orang yang menyewaku untuk membunuhnya. Karma mungkin akan datang kepadanya suatu saat.
Tapi tidak kepadaku. Toh aku belum mati, belum mau mati. Anehnya lima tahun berselang kelak, karma juga tidak (atau belum) datang pada orang yang menyewaku itu. Malah kulihat hidupnya lebih bahagia. Ah, mungkin ia tak percaya karma saja.
>< 
Tapi aku percaya. Maka aku selalu menyelesaikan setiap hal secara jelas dan tuntas. Seberapapun menyakitkannya dan betapa malas kumengusaikannya. Niscaya itu lebih baik dari pada merasa kebal, tapi banyak hal-hal mengendap tertinggal. Aku hanya tak ingin meninggalkan rasa penasaran. Percayalah, penasaran adalah bibit dendam paling dalam. Ya, aku amat percaya itu. Dan aku selalu takut dengan apa yang kupercayai.
Bukan, bukan Tuhan.
- - -
Ditulis Galajingga di Radio Dalam, Jakarta Selatan (1/8). Tulisan ini merupakan bagian dari serial #CeritaGala: #Karma
- - -

Wednesday 31 July 2013

ONE LAST DIVE


Ada yang seru dari Jason Eisener (sutradara 'Hobo with A Shotgun, V/H/S 2) bulan ini. Disebut-sebut sebagai 70 detik yang menegangkan. Film horor pendek berjudul 'One Last Dive'. Ketakutan yang efektif. Simak saja sendiri ya, harus sendiri, :)).
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam (30/7) sambil mendengar lagu Matta Band, "Oo, kamu ketakutan!" Tulisan ini merupakan bagian dari rubrik #Seninema.
- - -

Tuesday 30 July 2013

BAPAKE

Saya tahu ada ada beberapa hal menyenangkan datang, bukan sebagai pengganti, karena memang beberapa hal tak akan terganti. Tapi, tak ada salahnya untuk merasa sedikit senang. Senang karena beberapa hal menyenangkan datang, untuk mengingatkan.
Terakhir kali berkomunikasi dengan Bapak, mungkin Oktober dua tahun lalu. Sebelum dia terkena stroke, mendadak sekali dan kami semua kaget. Orang yang tak pernah mengeluh sakit selama hidupnya. Memang ya, tak ada yang pasti di dunia ini.
Komunikasi saya dengan Bapak begitu klise. Ia lahap habis semua halaman koran hampir setiap hari. Langganannya, Kompas untuk skala nasional, Pikiran Rakyat untuk skala regional. Setelah pensiun, ya teman sejati di pagi harinya, dua surat kabar itu.
Menjelang siang, saya baru bangun. Ya kami ngobrol soal apa yang dibacanya tadi pagi. Tentang apa saja, dari politik  hingga olahraga. Ngobrol ngalor ngidul dan sok bener tentang negara, atau tentang hasil pertandingan sepak bola semalam. Kata ibu, ia komentator sejati. Kasarnya, "Jago komentar doang." Bapak hanya tersenyum mendengarnya.
Entah kenapa mendadak rindu obrolan klise macam itu. Saya amat bersyukur stroke tak memisahkannya selamanya dari saya. Tapi juga kecewa karena itu pula, saya tak bisa lagi berkomunikasi kata-ke-kata dengannya. Stroke tak hanya pernah membuat separuh tubuhnya lumpuh, tapi juga membuat kemampuan bicaranya lenyap. Setelah itu, ia hanya mengangguk, menggeleng, dan tersenyum terhadap orang-orang yang bercengkerama padanya.
Kerinduan terhadap sosok orang tua laki-laki sedikit terbayar dua pekan lalu. Pulang dari Jakarta, singgah di tempat teman menjelang sahur. Jelas ada yang menyambut, karena sudah 'wanci janari'. Menunggu makanan siap saji, kami ngobrol ngalor-ngidul. Bapak si teman ini juga gandrung obrolan seputar media massa. Topik-topik terhangat ia ikuti. Kami jadi mengobrol tentang itu, juga tentang hal-hal lain yang lebih sederhana, tentang hidup, kerja, dan rencana-rencana ke depannya (nggak sederhana-sederhana banget ternyata, xp). Senang saja rasanya ketika bertemu bapak-bapak yang lebih tua, menaruh perhatian lebih terhadap kita, di saat, ya mungkin sedikit banyak yang merasa, kita rindu perhatian macam itu. Ya, menyenangkan rasanya.
Dan ia menawarkan untuk sahur di tempatnya. Obrolan masih jauh dari usai. Rasanya tak ada salahnya untuk menyicip masakan ibu si teman yang terkenal jago masak ini. Tergoda pula. Tapi di rumah juga ada yang berharap saya tiba. Meski biasanya makanan sahurnya cuma 'ceplok endog' dan ayam goreng yang dipanaskan sisa semalam.
Seperti yang sudah saya bilang di atas. Beberapa hal menyenangkan datang untuk mengingatkan. Di rumah, Bapak yang ternyata ikut puasa pasti menunggu. Meski ia tak bisa secara eksplisit bilang rindu. Tawaran itu, justru jadi pengingat bahwa masih ada tanggung jawab lain yang harus saya penuhi.
Saya pamit. Di perjalanan pulang ke rumah yang tak sampai setengah jam saya berharap Bapak cepat pulih lagi. Membaca koran lagi dan kembali bertukar cerita tentang apa yang tercetak di sana. Sekarang mungkin beda rasanya, saya jadi salah satu pelakunya, peliput berita-berita itu. Bapak mungkin senang.
Atau ya bila itu terlalu berat. Setidaknya hanya ingin mendengar ia berkata, "Gimana kabarmu sekarang?" Dan saya akan bercerita tentang semuanya, mengalihkan perhatannya dari segala apa yang ia dengar, lihat dan baca. Saya bersyukur masih diberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya.
- - -
Ditulis oleh Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (29/7) setelah menonton Le Grand Voyage.
- - -