via 199932real |
#001
Karma adalah akibat dari hal-hal yang tak (sempat) terjelaskan. Hal-hal
yang tak terselesaikan. Menghindari karma, aku hanya perlu menuntaskan
segalanya secara lugas.
><
"Hallo, hallo! Aku bisa jelaskan. Bukan, bukan. Aku tak bermaksud
demikian, biar kujelaskan dulu. Tunggu, tunggu!" ujarnya dengan nada
tinggi. Kubiarkan saja mereka berbicara selama beberapa menit. Aku tak ingin
menguping. Kunyalakan sebatang rokok sambil menunggu di sebuah sofa lapuk di
gudang tua yang gelap ini.
Sebab tugasku bukan menguping. Tugasku membunuhnya.
"Hallo, hallo, hallo! Hai, tolong, telepon dia lagi," ujarnya
dengan nada tinggi dalam keadaan terikat di sebuah bangku kayu yang lapuk.
Telepon genggamku tergeletak di meja besi di depan sekapnya. Terdengar bunyi
menutut, tut-tut-tut, dari lubang suara telepon genggamku. Lawan bicaranya
menutup sambungan. Lawan bicaranya, orang yang menyewaku untuk membunuhnya.
"Kau sudah tahu kan siapa aku? Siapa pula yang menyuruhku dan
alasan mengapa ia ingin aku membunuhmu," ujarku.
"Tunggu sebentar, aku bisa menjelaskannya. Biarkan aku bicara
padanya sekali lagi," ujar ia. Keringat dingin membasahi kemeja putihnya
yang terpapar noda tanah. Lututnya gemetaran. Kurang banyak berdoa rasanya ini
orang, takut sekali menghadapi kematian.
"Tapi kau sudah tahu kan? Sudah tidak penasaran lagi?" ujarku bertanya sambil memasang
peredam suara pada pistolku. Ia tak menjawab, sibuk meracau dengan entah, aku
lupa apa kata-kata terakhirnya. Kalau tidak salah, "Aku tak mengerti, ini
hanya salah paham sa..."
Sebutir peluru menembus kepala plontos itu sebelum ia menyelesaikan
kalimatnya. Tugasku usai. Tak ada yang tak terselesaikan antara aku dengannya.
Pria muda malang itu tahu segalanya tentangku dan alasan Tuhan memilihku sebagai
malaikat pencabut nyawa baginya.
Bila ada hal-hal yang tak terselesaikan. Itu antara ia dan orang yang
menyewaku untuk membunuhnya. Karma mungkin akan datang kepadanya suatu saat.
Tapi tidak kepadaku. Toh aku belum mati, belum mau mati. Anehnya lima tahun berselang kelak, karma juga tidak (atau belum) datang pada orang yang menyewaku itu. Malah kulihat hidupnya lebih bahagia. Ah, mungkin ia tak percaya karma saja.
><
Tapi aku percaya. Maka aku selalu menyelesaikan setiap hal secara jelas
dan tuntas. Seberapapun menyakitkannya dan betapa malas kumengusaikannya. Niscaya itu lebih baik dari pada merasa kebal, tapi banyak hal-hal mengendap tertinggal. Aku hanya tak ingin meninggalkan rasa penasaran. Percayalah, penasaran adalah bibit dendam paling dalam. Ya, aku amat percaya itu. Dan aku
selalu takut dengan apa yang kupercayai.
Bukan, bukan Tuhan.
- - -
Ditulis Galajingga di Radio Dalam, Jakarta Selatan (1/8). Tulisan ini
merupakan bagian dari serial #CeritaGala: #Karma
- - -
No comments:
Post a Comment