Tak banyak kejutan atau tangis bahagia tahun ini. Leonardo di Caprio haruskembali menyimpan kotretan ucapan kemenangan untuk tahun-tahun berikutnya.
Jennifer Lawrence tak perlu lagi jatuh di tangga (dan kalaupun ia menang, Ellen
DeGenerees akan mengantarkan ke tempat duduknya) seperti tahun lalu.
Tahun ini
milik Cate Blancheet dan Rustin Cohle, maksud saya Matthew McCounaghey (atau
John Travolta akan menyebutnya, Maddow Mohogany). Keduanya tampil tergelang-gelang
dalam film yang dibintanginya. Untuk itu pula mungkin mereka sepakat tampil
bercahaya, Blanchett dengan gaun rona kulit rancangan Armani dan McCounaghey dengan
tuxedo putihnya (untungnya masih memakai celana panjang, tidak memakai 'shux' ala Pharrel).
Namun di
podium, justru penyabet gelar Aktris Pendukung terbaik 'tampil' lebih subtil
dan emosionil. Jared Leto dan Lupita 'Eike Bo' Nyong'o membuat kita percaya
bahwa mimpi adalah hak setiap orang: bagi orang-orang yang sedang 'berperang'
di Venezuela dan Ukraina, mereka yang terinfeksi AIDS, hingga
perempuan-perempuan di kota kecil di Kenya (atau dalam bahasa keturunan Bojongkenyot disebut,
Ngke Nya alias nanti dulu). Yak, "No matter where you're come from, your dreams are valid." (Kecuali lagi-lagi, untuk orang Bojongkenyot, valid, bukan palid alias hanyut).
Keempatnya
menang, dan tak mengejutkan. Termasuk ganjaran Sutradara Terbaik untuk Alfonso
Cuaron (yang begitu canggih dalam 'Gravity') dan Film Terbaik untuk '12 Years A
Slave' (gimana kalau seabad, 12 tahun aja bisa menang Oscar, :o).
Tak
mengejutkan bukan berarti tak membikin sejarah. '12 Years A Slave' menjadi film pertama yang menang Oscar, disutradarai sineas kulit legam. Memang pantas
menang, Ellen sudah memprediksinya lewat banyolan di awal acara. "Prediksi
pertama, '12 Years a Slave menang. Prediksi kedua, ...kalian rasis!"
Kategori
lain, Dokumenter Terbaik membuat sebagian banyak orang Indonesia patah hati.
Film besutan Joshua Oppenheimer, 'The Acts of Killing' gagal menang. Meski sang
sutradara tak patah arang. "Kami sudah menang, kami membuat perubahan di
Indonesia," ujarnya tentang film kontroversial itu.
Yang 'patah
hati' lain di Oscars mungkin Kerry Washington (gagal dapat pizza yang dia idamkan) dan Lizza
Minnelli (gagal masuk di selfie terpopuler tahun ini), atau mungkin juga
orang-orang seperti saya yang bertanya, "Kenapa harus Pink yang membawakan
'Somehere Over the Rainbow'? kala mengenang 'The Wizard of Oz' " Dan yang
paling patah hati, kembali lagi ke bahasan di atas, adalah Leonardo di Caprio yang lagi-lagi harus gigit jari. Eh, ada deng yang lebih parah, segenap produser 'American Hustle' dan 'The Wolf of Wall Street' yang pasti padamencak-mencak, "Anjis, teu bebeunangan broh!" sambil pulang dengan
tangan hamva.
Tapi gelaran
ke-86 Oscars tak memberi banyak ruang untuk orang-orang bersedih. Ellen bilang,
"Ini bukan kompetisi, ini perayaan." Dan semua harus setuju dan
berhenti mengejek lagu 'Happy'- Pharrel (tak ada hubungan dengan Kiki FarrelMamamia). Lagu ceria itu memang tak menggondol piala, tapi membuat semua orang
berselebrasi, dari Lupita hingga Merryl Streep.
Pra dan paska gelaran Oscar aura hepi sudah terpancar meski cuaca sudah seminggu mendung di sana. Kevin Spacey masih berusaha cool saat Buzzfeed iseng memberinya pertanyaan-pertanyaan remeh yang biasa diajukan pada selebrita wanita. Seleb-seleb wece dengan gaun sipu memudarnya di karpet merah (Naomi Waaaatttttts! Kalau aku sih, yes!). Bennedict Cumberbatch meloncat tinggi demi bisa photobombing di belakang personil U2. John Tromolto dengan kegugupannya yang bikin perut sakit saat memperkenalkan, uhm, Adele Dazeem, :)). Mama Jared Leto yang inspiratif dan masih cling aja, berdebar aku melihatmu, Ma. Hingga terakhir, Amy Poehler diguling-guling di pesta Vanity Fair, sinjing!
Seru sih
melihat sebuah acara bergengsi, dikemas dengan sangat rendah hati. Para bintang
menumpulkan rasa kompetitifnya dan berupaya sekuat tenaga mengapresiasi
kemenangan orang lain. Pesta seusainya menjadi ajang silaturahim para
selebrita, termasuk untuk Jennifer Lawrence yang bercanda ingin merebut pialadari tangan Lupita. Bagi yang kalah, mereka mungkin tak lupa, tapi kadang untuk
apa, berdebat di kala dan usai pesta. Toh piala, hanya simbol belaka.
PS: Tiga
kalimat terakhir ditulis sambil menonton monolog Najwa di akhir, Mata Najwa.
Maaf, jadi kebawa-bawa. Berima. Aaa, aa, a.
/
Ditulis oleh Mohammad Andi Perdana untuk rubrik #Seninema di The Moderntramp. "Apa momen favoritmu di Oscars tahun ini?"
.
No comments:
Post a Comment