via piccser |
#002
Di tepi danau itu, gelap sekali. Langit tak merah karena bulan tak
datang malam ini. Suasana terbaik untuk sebuah eksekusi. Aku berjalan tertatih
sambil menyeret mayat lelaki itu. Lelaki yang baru saja kudor keningnya.
Aku menaikannya ke atas sampan. Lelaki ini beratnya jadi berkali lipat.
Dalam salah satu metode 'penghilangan', memberati mayat dan membuangnya ke laut
atau danau adalah salah satu cara yang populer. Aku tak suka melawan arus. Ikut
saja, namanya saja populer, jelas sudah diuji keberhasilannya. Aku tak mau
neko-neko.
Lumayan memancing keringat juga pekerjaan paska-eksekusi ini.
Menyeretnya dari gudang ke danau butuh sekitar setengah jam, padahal jaraknya
paling cuma 500 meter. Bola-bola besi sebelumnya telah kupersiapkan. Kurantai
ke tubuhnya sejak di gudang.
Di sampan aku merasa bodoh. "Kenapa tak kurantai di sini
saja?" Aku tertawa sendiri sambil menyalakan rokok, lalu menarik sauh.
Namanya Danau Kematian. Terletak jauh sekali, jangankan dari pusat
kota, pusat desa saja butuh waktu berjam-jam. Setengah perjalanan bisa ditempuh
dengan kendaraan, sisanya harus berjalan kaki. Tak ada siapa-siapa karena tak
ada yang berani ke sini. Danau Kematian terletak di Hutan Terlarang. Mitosnya
banyak hantu, binantang buas, sampai manusia jadi-jadian. Mereka konon muncul
dan bergentayangan keluar dari Danau Kematian. Hantu-hantu yang kuyup.
Tentu ini tempat idaman bagi setiap pembunuh bayaran. Orang-orang yang
tak takut hantu penasaran, karena mereka yang menciptakannya. Yang unik, meski
namanya terlarang, sinyal telekomunikasi masih berfungsi di sini. Walau hanya
satu bar. Aku pernah melihat satu menara sinyal saat menyembunyikan mobil di
ujung Hutan Terlarang. Sebuah bukit yang jalurnya cukup sulit. Dibuat sembarang
saja sepertinya, sekali pakai ketika petugas operator telekomunikasi memasang
menara sinyal itu.
Tapi mereka tak salah, di ujung timur terdapat sebuah desa padat penduduk.
Kabarnya seorang politisi tenar berasal dari desa ini. Ia kini duduk jadi wakil
rakyat, dan menara sinyal tadi adalah salah satu jejaknya. Klaimnya, ia
mengeluarkan kocek tebal demi menjalin komunikasi dengan kampung kelahirannya.
"Kacang tak boleh lupa kulit," ujarnya dalam sebuah wawancara di
televisi.
Di ujung barat menara sinyal, dataran kembali melandai jadi lembah.
Itulah Hutan Terlarang.
Aku memandangi wajah pria malang itu. Membayangkan akan jadi apa
mitosnya jika benar ia gentayangan, keluar dari Danau Kematian. "Hmmm,
Hantu Botak Bermata Tiga," aku menamainya begitu sambil menggambar kelopak
mata di jidatnya yang bolong tepat di pusatnya. Kugambar dengan sisa-sisa darah
segar yang mengucur dari luka bakar itu.
Telepon genggamku berbunyi, sebuah pesan singkat dari 'Tuhan Santoso'
masuk. Satu-satunya nomor yang kusimpan di telepon ini. "Brengsek! Segera
bereskan saja tak usah banyak drama," tulisnya.
Lho, kenapa jadi menyalahkan drama. Itu perlu sesekali, menggulai hidup
yang terlalu pahit, mempedarkan hayat yang terlau manis. Ketar-ketir mungkin
Tuhan yang satu ini, hidupnya tiba-tiba getir.
Ia masih kesal rupanya dengan kejadian beberapa jam lalu. Tapi suka tak
suka, itu aturan mainnya. Aku tak mau kena karma.
"Beres Ya Rabb, selesaikan saja tugasmu. Ruh sudah tercabut dari
raganya," tulisku dalam pesan singkat untuknya. Di ujung sana, pesanku
akan diterima dari kontak bernama 'Izrail'. Satu-satunya kontak yang hanya
terdapat di telepon genggamnya.
Dengan sepatu bootku, kusepak-sepak tubuh kaku itu hingga ke ujung
sampan. Aku berdiri mencari keseimbangan, berjongkok di samping mayat yang
terbaring itu. Mencungkilnya dari sampan sambil melolong sekuat tenaga. Byur.
Satu raga tenggelam diiringi suara manusia lainnya yang berteriak lirih dan
menggema.
Kuseka keringat, setelah itu sekuat tenaga kulemparkan telepon
genggamku ke danau. Bentuknya yang pipih membuatnya loncat tiga kali di atas
air sebelum benar-benar lenyap ditelan permukaan danau yang beriak. Di tempat
lain, entah di mana, 'Tuhan Santoso' juga harusnya melakukan hal yang sama. Dua
telepon genggam itu tak pernah ada.
Aku berbaring di atas sampan yang terombang-ambing riak yang tenang.
Kulihat bintang-bintang merajai langit jauh di balik asap rokok yang mengepul
tak henti. Aku berbaring sampai menunggu bintang jatuh demi mengucap harap,
"Nak, masih banyak yang tempat yang lebih mulia dari dunia yang
bejat ini."
Dan tak ada bintang yang jatuh malam itu.
- - -
Ditulis Galajingga di Radio Dalam, Jakarta Selatan (2/8). Tulisan ini
merupakan bagian dari serial #CeritaGala: #Karma
No comments:
Post a Comment