Pada 2005, seorang mahasiswa di sebuah universitas di Columbia, Amerika
Serikat, punya cerita seru tentang Matthew McCounaghey. Dalam sebuah sesi tanya
jawab tentang film ‘Sahara’ yang diproduserinya, ia ditanya, “Who is your favourite actor?”
Matthew,
seperti biasa tatkala itu, muncul dengan mata sedikit teler. Ia menjawab hampir
semua pertanyaan yang datang sebelumnya sekena hati. Dan untuk pertanyaan
terakhir di sesi itu, ia menjawab, “Me,
in ten years, ...cool, ...yeah!” Tak kalah gegabah.
Hampir sepuluh tahun berselang ia muncul lewat film terbarunya, ‘Dallas Buyers Club’, ia berakting sebagai seorang petaruh rodeo yang terdiagnosa penyakit AIDS, Ron Woodroof. Matthew menyabet penghargaan tertinggi, ‘Aktor Terbaik’ dalam Oscars 2014 karena perannya itu.
Penampilan
lainnya dalam serial HBO, ‘True Detective’ juga monumental. Sebagai Rustin Cohle,
penampilannya begitu dipuja, dan membuat orang-orang rela menghamba. Bagi saya,
apa yang ditampilkannya dalam ‘True Detective’ punya kelas yang sama dengan
Piala Oscar yang kini digenggamnya. Mungkin, ya, bisa jadi Piala Emmy tahun
depan juga mampir ke pelukannya.
Dan hampir
sepuluh tahun berselang, kita akan berkata karena kembali ingat, “When he was high, he can see the future.”
2
Memerankan koboi Texas ‘berpita merah’ itu, McCounaghey mendapat restu dari adik dan putri Ron Woodroof. “OK yes! He’s got that same swagger as Ron,” ujar sang adik, Sharon Braden. Brad Pitt dan Ryan Gosling yang sebelumnya membidik peran itu, harus gigit jari.
Memerankan koboi Texas ‘berpita merah’ itu, McCounaghey mendapat restu dari adik dan putri Ron Woodroof. “OK yes! He’s got that same swagger as Ron,” ujar sang adik, Sharon Braden. Brad Pitt dan Ryan Gosling yang sebelumnya membidik peran itu, harus gigit jari.
Dalam piala
bersapuh emas yang digenggam McCounaghey di malam Oscars, terdapat beban
seberat 19 kilogram, bobotnya yang susut demi peran menjadi seorang pecandu
narkotika yang terjangkit virus HIV di film ini. Bahkan sebelum ‘Dallas Buyers
Club’ dirilis, cerita tentang upaya McCounaghey mengempesi tubuhnya sudah
menarik perhatian. Upaya itu yang membuatnya spesial (meski memang tak
seekstrem apa yang dilakukan Christian Bale dalam ‘The Machinist’, menyusut 31
kilogram), dan tak hanya olehnya, aksi ‘mogok makan’ ini juga dilakukan oleh
Jared Leto, yang kebagian peran sebagai Rayon, seorang transgender yang juga
divonis mengidap AIDS.
Keduanya
bertemu di sebuah rumah sakit, setelah Woodroof akhirnya percaya kalau ia memang
benar-benar terinfeksi HIV. Ia butuh zidovudine
(ATZ), obat yang dikembangkan sebuah perusahaan bio farmasi, Avonex untuk
memperpanjang nyawanya. Ia diprediksi hanya punya 30 hari ketika pertama kali
tiba di rumah sakit itu beberapa hari sebelumnya. Di sana ingat sekali saya ia berteriak
dengan gayanya yang eksentrik, “There ain’t
nothing out there that can kill Ron Woodroof in 30 days.”
Tapi, ini
bukan sekuel film terdahulu McCounaghey, ‘How To Lose a Guy in, umm 30 Days’. Ron sadar, ia harus bertahan hidup, entah demi apa.
Ia sempat menyuap seorang pegawai rumah sakit untuk menyelundupkan ATZ
untuknya. Dosis habis, Ron tak bisa berbuat banyak. Ia kembali kolaps, dan
takdir mempertemukannya dengan Rayon.
“I’m sorry sweetie, i can’t split my dose,”
ujar transgender itu genit pada pria slengean yang berbaring di samping bangsal
tidurnya. Tak semua orang beruntung bisa menyelisipkan ATZ dalam tubuhnya. Obat
jenis baru itu masih dalam proses percobaan, dan hanya beberapa orang yang memenuhi
kualifikasi untuk menjadi tikus labnya. Untuk saat itu seakan nasib Rayon jauh
lebih baik ketimbang Ron.
Ron yang homophobic pun tak sudi menghamba, meski
ia tahu amat membutuhkannya. Di ‘hari-hari terakhir’ hidupnya, ia lebih memilih
pergi ke selatan, untuk memastikan informasi yang diterimanya bahwa ada seorang
dokter di Mexico bisa menyuplai ATZ untuknya.
Tiba dengan
kondisi kurus kering, ia menemukan fakta lain. ATZ sesungguhnya berbahaya bagi
pengidap HIV, bahwa ada pihak-pihak yang sengaja menangguk untung dari
penjualan vaksin mutakhir pada zamannya itu. Ia melewati ‘hari ketiga puluhnya’
dengan harapan baru di Mexico, ia masih hidup dan mencoba sejumlah eksperimen
mengandalkan racikan obat lain. Kini ia bergantung pada vitamin dan peptida. Ia
memang tak sembuh, tapi setidaknya ia masih bernyawa setelah satu purnama.
3
‘Dallas Buyers Club’ pernah disebut sebagai film yang ‘haram’ dibuat. Terinspirasi kisah nyata, petinggi-petinggi Holywood tak pernah menganggap sosok Ron Woodroof sebagai tokoh yang menggugah. Selain positif HIV, ia dikenal sebagai pecandu kokain, pelaku seks bebas, pemabuk berat, hingga homophobic. Apa yang pernah ia lakukan bahkan jauh lebih hina ketimbang sekadar dianggap sebelah mata. Ia bukan Andrew Beckett di ‘Philadelphia’, tanpa HIV, Ron adalah sosok yang amat sangat mudah kita benci. Tapi setidaknya, ia punya sedikit ‘Erin Bronkovich’ dalam prinsip hidupnya. Nyawa bukan milik mereka yang berkuasa.
‘Dallas Buyers Club’ pernah disebut sebagai film yang ‘haram’ dibuat. Terinspirasi kisah nyata, petinggi-petinggi Holywood tak pernah menganggap sosok Ron Woodroof sebagai tokoh yang menggugah. Selain positif HIV, ia dikenal sebagai pecandu kokain, pelaku seks bebas, pemabuk berat, hingga homophobic. Apa yang pernah ia lakukan bahkan jauh lebih hina ketimbang sekadar dianggap sebelah mata. Ia bukan Andrew Beckett di ‘Philadelphia’, tanpa HIV, Ron adalah sosok yang amat sangat mudah kita benci. Tapi setidaknya, ia punya sedikit ‘Erin Bronkovich’ dalam prinsip hidupnya. Nyawa bukan milik mereka yang berkuasa.
McCounaghey
adalah sosok yang piawai menyetir peran. Ia menjadi magnet dalam ‘Dallas Buyers
Club’, bersama Jared Leto yang memerankan Rayon, karakter yang begitu berbeda 180
derajat dari Ron. Genit, sensitif, tampak selalu ceria, meski sejatinya begitu
rapuh. Begitu dahsyat Leto menjadi Rayon, membuat kita lupa ia juga adalah
vokalis band rock, ’30 Seconds from Mars’. Ah, Tuhan, seharusnya dari dulu saya
menyadari kalau ia memiliki mata malaikat itu.
Mata malaikat
itu hanya yang tersisa dari keajaiban rias seharga US$ 250 inisiasi Adruitha
Lee dan Robin Matthews. Sisanya adalah pipi yang merona merah, peurna mata, dan
lipstik merah jambu yang mengilap ala Jane Forth di tahun-tahun psikadelika.
Sang aktor utama, McCounaghey juga mendapat perlakuan khusus di tiap fase yang
dialaminya di film ini. Dari rona muka Ron, kita sudah bisa menerka apa yang
terjadi pada tubuhnya. Tak salah bila dalam Oscars, film ini diganjar penghargaan
‘Tata Rias Terbaik’.
Hal ini
menjadi salah satu aspek penyokong dua aktor mendalami perannya. Akibatnya,
‘Dallas Buyers Club’ bisa mengulangi prestasi yang sebelumnya ditorehkan ‘Mystic
River’ (memecahkan rekor Ben-Hur pada 1959) di Oscars 2013, menyabet
penghargaan untuk dua kategori utama pria, ‘Aktor’ dan ‘Aktor Pendukung
Terbaik’ untuk Sean Penn dan Tim Robbins. Ketika Jared menggondol piala di awal
Oscars, saya langsung menghela nafas untuk Leonardo di Caprio. Alasannya, baik
Ron dan Rayon dalam ‘Dallas Buyers Club’ adalah satu kesatuan. “Keduanya, atau
tidak sama sekali.”
4
Tanpa ‘Dallas Buyers Club’, McCounaghey tak akan menang Oscar. Sejak 2011 ia membintangi sejumlah film bagus, dari ‘Lincoln’s Lawyer’ hingga ‘Magic Mike’ (atau mungkin saya perlu sebut semua satu per satu, ‘Bernie’, ‘Killer Joe’, ‘The Paperboy’, dan ‘Mud’, semua layak tonton), tapi ‘Dallas Buyers Club’ punya struktur penokohan yang ciamik. Ron dan Rayon adalah sosok yang unik. Kisahnya berputar-putar di keduanya saja bergelut dengan HIV, saya akan tetap menikmati. Yang agak menganggu hanyalah porsi tokoh Eve Saks (Jennifer Garner) yang terlalu besar, namun tak signifikan. Saya berharap peran Eve Saks dipersingkat (atau dihapus sama sekali pun tak masalah). Kehadiran Eve bagi Ron malah membuat film ini beraroma Darren Aronovsky, terutama dalam The Wrestler. Hubungan keduanya mengingatkan saya akan kisah Randy Robinson (Mickey Rourke) dan Pam (Marisa Tomei). Lebih baik sutradara Jean Michael Vallee berkonsentrasi pada perubahan sikap Ron yang semula homophobic, lalu bersimpati pada Rayon. Sehingga ia punya ‘jejak khas’ dalam film ini.
Tanpa ‘Dallas Buyers Club’, McCounaghey tak akan menang Oscar. Sejak 2011 ia membintangi sejumlah film bagus, dari ‘Lincoln’s Lawyer’ hingga ‘Magic Mike’ (atau mungkin saya perlu sebut semua satu per satu, ‘Bernie’, ‘Killer Joe’, ‘The Paperboy’, dan ‘Mud’, semua layak tonton), tapi ‘Dallas Buyers Club’ punya struktur penokohan yang ciamik. Ron dan Rayon adalah sosok yang unik. Kisahnya berputar-putar di keduanya saja bergelut dengan HIV, saya akan tetap menikmati. Yang agak menganggu hanyalah porsi tokoh Eve Saks (Jennifer Garner) yang terlalu besar, namun tak signifikan. Saya berharap peran Eve Saks dipersingkat (atau dihapus sama sekali pun tak masalah). Kehadiran Eve bagi Ron malah membuat film ini beraroma Darren Aronovsky, terutama dalam The Wrestler. Hubungan keduanya mengingatkan saya akan kisah Randy Robinson (Mickey Rourke) dan Pam (Marisa Tomei). Lebih baik sutradara Jean Michael Vallee berkonsentrasi pada perubahan sikap Ron yang semula homophobic, lalu bersimpati pada Rayon. Sehingga ia punya ‘jejak khas’ dalam film ini.
Meski begitu,
juri Oscar punya selera sendiri terhadap ‘Dallas Buyers Club’ terutama di kompartemen
naskahnya yang: tak berlapis, namun begitu sederhana dan subtil. Pesannya
jelas, ada yang salah dengan sistem penanganan kesehatan bagi penderita AIDS
kala itu, ada yang salah dengan orang-orang yang bereksperimen untuk
keselamatan banyak jiwa, orang-orang yang terbuang, dan dipandang sebelah mata.
Pemerintah
(melalui Food and Drugs Association, kala itu) tak bisa mengesampingkan lagi
kaum ‘haram’ itu. Perlawanan yang digalakkan Ron dianggap membahayakan. Rumah-rumah
sakit kehilangan pasien, perusahaan farmasi terancam bangkrut, mereka tunggang
langgang. Tikus-tikus lari dari lab-lab milik pemerintah, ke dua kamar motel
yang disulap jadi ruang terapi Ron. Tak lagi bertaruh di arena banteng
menjungkirkan manusia, Ron kini bertaruh di kancah yang lebih serius, manusia
menunggangkan manusia.
Jelas ada
yang berubah, pemerintah merasa dilecehkan karena cara mereka menangani
pengidap HIV tak lagi dihiraukan, yang tak berubah adalah penghargaan
pemerintah atas nyawa mereka. Seolah, “Kami tak peduli apa yang baik untuk
mereka. Yang kami pedulikan adalah apa yang terbaik bagi kami.” Seolah kaum
termarjinalkan itu hanya boleh mendapat sisa-sisa kebaikan dari apa yang mereka
coba entaskan.
Itu membuat
tensi dalam ‘Dallas Buyers Club’ membuih. Dan Ron berulang kali ditekan, Ron
berulang kali tumbang, tumbuh lagi, Ron berulang kali layu, mekar lagi, dan Ron
berulang kali hampir gugur, tapi selalu bersemi kembali. Sampai-sampai karena
semangat itu, kita lupa, Ron adalah orang yang hidup dengan penyakit AIDS. Jika
dalam satu adegan tak diperlihatkan betapa tubuhnya kembali menyusut, dan tulang-tulang
di pipinya kembali menyembul usai pemerintah menganggap metode pengobatannya
ilegal, kita akan menganggap ini pertarungan yang adil.
“Peptide D is the online line i have to
staying alive. When i stop it, i start dragging myself. I urinate on myself,”
ujar Ron asli dalam sebuah wawancara kepada penulis naskah film ini Craig
Borten. Naskah ini ditentengnya ke begitu banyak produser sejak 1995. Pernyataan
Ron di atas menggugah Borten agar pemirsa bisa terinspirasi dengan apa yang diperjuangkan
oleh koboi slengean itu di layar lebar. Awalnya film ini akan digarap Dennis
Hooper dan dibintangi oleh sahabat baik McCounaghey, Woody Harrelson. Tak
kunjung mendapat dana, Borten terus bergerilya dan tetap mengontak sejumlah
bintang. Namun nama besar Brad Pitt dan bintang baru Ryan Gosling tak cukup
meyakinkan produser untuk mengangkat cerita ini ke bioskop.
Tapi Borten tak
mau mati dalam tiga puluh hari seperti vonis dokter pada Ron. Ia berjuang,
setidaknya pada mulanya, untuk dirinya sendiri, untuk Ron, untuk penderita AIDS di seluruh dunia. Setelah menunggu hampir 20
tahun, ‘Dallas Buyers Club’ akhirnya difilmkan, 22 tahun setelah Ron wafat di umurnya
yang lebih panjang 2.257 hari dari vonis dokter.
Dari proses pewujudan
film jelas sudah memberi banyak inspirasi. Dan memang intinya adalah itu,
setidaknya bagi Ron, hidup itu perlu paling tidak sekali saja punya arti, baru
setelah itu boleh mati. Karena mungkin jawabannya di sana, untuk siapapun yang
masih bertanya, “Untuk apa kita (masih) hidup?”
/
DALLAS BUYERS CLUB (2013), directed by: Jean-Marc Vallee. Starring: Matthew McCounaghey, Jared Leto, Jennifer Garner. Release date: 7 September, 2013 (Toronto International Film Festival). Duration: 116 minutes. Rating: 80 (IMDb), 84 (Metacritic), 94 (Rotten Tomatoes), 82 (The Moderntramp, xp).
/
GOLDEN MINUTES
Introduksi
yang memikat di 15 menit pertama ‘Dallas Buyers Club’. Film dibuka dengan amat
brengsek di menit (01:00) saat Ron berkencan dengan dua wanita di tepi gelap
arena rodeo. Pada menit (04:09), ia kabur dari kejaran petaruh lain, usai
membawa kabur duit judi rode. Ia memukul seorang polisi, dengan tujuan agar ia
ditangkap, dan selamatlah dari kejaran orang-orang murka di lapangan banteng
itu.
Butuh waktu
lama untuk mendapat ‘kejutan’ di pembuka film hingga menit (08:00) atau yang
saya sebut dengan menit paling emas dalam film ini. “Dhuar!” sistem listrik
yang sedang diperbaiki Ron tiba-tiba meledak, ia pingsan dan segera dibawa ke
rumah sakit.
Di sini, pada
menit (09:30), kita baru tahu apa tujuan film ini, si bajingan itu rupanya terinfeksi
HIV. Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana membuat karakter menyebalkan itu
bisa meraih simpati penonton. Apalagi setelah ia pada menit (11:17) divonis
hanya berumur paling lama 30 hari, dan berteriak congkak. “There ain’t nothing
out there that can kill Ron Woodroof in 30 days.”
Dari ‘pilot’
tersebut, 80 persen saya akan lanjut menonton ‘Dallas Buyers Club’. Selain
untuk menjawab pertanyaan dalam alinea selanjutnya, juga setidaknya menjawab, “Apakah
Ron akan benar-benar mati dalam tiga puluh hari?” (2014)
/
Ditulis oleh
Mohammad Andi Perdana untuk rubrik #Seninema di ‘The Moderntramp pada 27 Maret
2014. (#GoldenMinutes adalah mini rubrik yang berisi tentang 15 menit pertama
sebuah film. Seperti sebuah pilot dalam tiap serial, golden minutes adalah indikator apakah kami akan melanjutkan
menonton film tersebut, dibuat tergesa (alias dicepet-cepetin) atau tidak menontonnya sama sekali).
“Jadi, apa
hal paling berarti yang pernah kalian lakukan untuk orang banyak dalam hidup?”
No comments:
Post a Comment