1
Sebelum bercerita tentang film ini, mari sedikit bahas soal 'Lost in Translation', dan sedikit banyak Sofia Coppola mempengaruhi 'Her'. Dalam 'Lost in Translation' kita bertemu dengan Catherine (Scarlett Johannson). Ia 'tersasar' di Tokyo, diajak ke sana, namun kemudian ditinggalkan suaminya yang gila kerja. Dulu, banyak kritikus bilang, 'Lost...' adalah tentang Sofia, paska perceraiannya dengan, ya, Spike Jonze!
Sebelum bercerita tentang film ini, mari sedikit bahas soal 'Lost in Translation', dan sedikit banyak Sofia Coppola mempengaruhi 'Her'. Dalam 'Lost in Translation' kita bertemu dengan Catherine (Scarlett Johannson). Ia 'tersasar' di Tokyo, diajak ke sana, namun kemudian ditinggalkan suaminya yang gila kerja. Dulu, banyak kritikus bilang, 'Lost...' adalah tentang Sofia, paska perceraiannya dengan, ya, Spike Jonze!
Dan ketika
Jonze mengumumkan akan merilis 'Her', kritikus yang sempat tertidur sepuluh
tahun lamanya, bangun kembali. "Tuh kan, tuh kan," kira-kira begitu
lah desas-desus yang muaranya berkesimpulan 'Her' adalah respon dari 'Lost...'
Sofia Coppola.
Setidaknya
ada beberapa hal yang menguatkan asumsi itu. Di 'Lost...', Sofia lebih jujur.
Catherine jelas meninggalkan suaminya dengan alasan kira-kira begini, "Ah,
si John (Giovanni Ribisi) mah, gawe muluk! Nyebelin!" Meski hal itu tak
terungkapkan dan membuat Catherine teralienasi, hingga nantinya ia bertemu Bo
Harris (Bill Murray). Dan membuat kita selalu penasaran dengan apa yang
dibisikannya pada Catherine di ujung film.
Jonze memilih
untuk lebih tertutup mengapa karakter Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) harus
berpisah dengan Catherine (Rooney Mara, cantik banget bikin migren di sini, di
Side Effect juga, < 3). Klunya disempilkan singkat dalam perbincangan mereka
ketika akan menandatangani surat cerai. Catherine hilang kendali, intinya ia
bilang, "It makes me sad. You can’t handle real emotions, Theodore."
Eh sebentar,
Catherine kan benar. Rooney Mara di 'Her'? Scarlett Johannson di 'Lost...'? Tuh
kan, ah, kalian berdua, Spike, Sopia, ..., :s.
Tapi Jonze
lebih jujur ketika mengatakan 'Her' adalah produk semi-otobiografisnya. Tentu
kita bisa menerka cerita tentang OS1 yang dimajikani Theodore adalah metafora,
bagian ‘semi’ dari semi-otobiografinya. Dan sisanya mengenai Catherine, bisa
jadi benar dialami. ya, BISA JADEE!
Karena saya
tipe orang yang menganggap "art
never comes from happines," saya yakin sih Jonze amat sangat curcol lewat 'Her'. Film ini adalah seni,
dan itu mungkin berarti, Jonze masih tak bahagia. Ini jawaban bagi Coppola
(yang kini sudah menikah lagi, 2011 silam), sepuluh tahun setelah anak kedua
Francis Ford Coppola itu 'tersasar'. Sebuah respon, pernyataan tegas tentang
kondisinya saat ini.
Dalam 'Her',
Jonze menyelimuti kegelisahannya dengan macam hal menakjubkan. Latar masa depan
yang tak berselang lama (syuting di Shanghai, 2013), di sebuah kota yang
siangpun gemerlap karena gedung-gedungnya tak hanya mencakar langit, tapi juga
memantulkan sinar matari. Ia menciptakan sebuah kondisi psikologi di mana
orang-orang nyaman dengan kesunyiannya masing-masing. Ditemani teknologi,
menghibur orang-orang yang selalu tak puas dengan apa yang cukup baginya. Dan bagi
beberapa dari mereka, termasuk Theodore, teknologi menyempurnakan hidup.
Hingga
akhirnya Theodore bertemu Samantha (Scarlet Johannson, suaranya doang), operating system nan jenius, seperti
Siri punya Apple, tapi punya simpati dan empati. Lebih dari itu, OS ini selalu berkembang
tiap harinya, lebih dari sekadar asisten digital pribadi, melainkan teman
ngobrol, penghibur, hingga, ...kekasih, ya, hingga kekasih dalam defiinisi teman
tidur di kasur.
Ini jadi
jualan 'Her', jujur bila premisnya seperti ini, saya sangat tertarik. Setelah
'Where The Wild Things Are' (yang saya cuma suka soundtracknya, Karen O, dan ia ngisi lagu lagi di 'Her'), saya tak
berpikir untuk menonton karya Spike Jonze lagi. Juga Scarlett, sebelumnya suara
Samantha akan disampaikan oleh Samantha Morton, namun di tengah film perannya
dicabut (meski tetap masuk kredit). Alasannya, suaranya kurang punya afeksi.
Saya sih curiga bukan itu alasannya. Pertama karena ini Hollywood, ketika
curhatan seorang sutradara difilmkan, tetap harus menjual. Siapapun pasti lebih
setuju mendengar (dan membayangkan) ditemani Scarlett selama film ini diputar.
Apalagi mendengar ia mendesah di tengah-tengah film ketika mencoba memuaskan
Theodore.
Kedua, karena
Scarlet adalah sentral dalam 'Lost...', ia adalah Catherine. Sudah saya bilang
kan ini adalah repson untuk Coppola. Jonze ingin menyampaikan itu lebih tegas.
Untungnya,
Scarlet tampil ciamik. Bukan saya saja yang ngomong. Buktinya, ia hampir bikin
rekor, hampir masuk nominasi Oscar untuk kategori aktris terbaik, hanya untuk
suaranya saja. Ide ini ditolak, ia tetap digdaya meski tanpa piala.
Eh tapi
sebentar, ada yang ngeh gak kalau tak cuma Scarlet yang tampil tanpa raga di
'Her'. Ini bakal jadi trivia seru, silakan cari Kirsten Wiig di film ini. Dan
kalau saya jadi Theodore, saya akan lebih jatuh cinta pada Wiig ketimbang Scarlet
bila keduanya menjadi OS.
Tak hanya
Scarlet, semua pemeran wanita dalam 'Her' tampil bagus. Rooney Mara mah saya nggak
mau komen, gak bisa subjektif tentang ia setelah 'Side Effects', < 3. Amy
Adams juga tampil tanpa beban, senang lihatnya keluar dari stigma perannya yang
kerap tampil terlalu rapi (eh tau-tau bocahnya menang aja di 'American Hustle').
Terakhir, Olivia Wilde, meski cuma tampil sebentar, tapi bikin saya amat
menyesal melewatkan 'Drinking Buddies' sebelum menonton 'Her'.
Dan muaranya,
Joaquin Phoenix mau tak mau harus tampil kuat, kata kritikus luar ini
penampilannya yang meditatif, gentle,
dan cerebral. Setuju, pas, tak se'berlebihan'
di 'The Master, meski bagus juga ia main di sana. Ia membuktikan itu dengan
membuat yakin kalau orang bisa berkomitmen dengan teknologi. meski beberapa gesturnya mengingatkan saya
pada Leonard Hoftstader di 'The Big Bang Theory (series)'. Versi lebih tinggi dan lebih ganteng mungkin. Tapi ya
kalau boleh saya terka, referensi karakter Theodore adalah Leonard, dan
kumisnya yang tertinggal sepulang ekspedisi dari Antartika. Ohya, dan soal
komitmen, ini bukan hal pertama, dalam 'Big Bang...', Raj juga pernah hampir
jatuh cinta pada Siri. Beberapa sub-plotnya juga mengingatkan salah satu
episode dalam serial science fiction
asal Inggris, ‘Black Mirror’. Jadi ya, yang orisinal di sini bukan idenya, tapi
keberanian sutradara untuk bertunangan dengan masa lalunya, menjadikan ini
konsumsi publik, untuk direnungkan.
2.
Tapi di atas (mungkin sudah pada lupa, karena baru sadar kok panjang banget ya tulisannya), saya sudah bilang kalau cerita Theodore dangan OS1 adalah metafora. Beberapa kritikus menyebutnya ini sisi gila kerja Jonze. OS1 merepresentasikan film, video, semua karya visual yang diciptakannya. Dan Jonze jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta pada hal yang tak perlu punya raga, tak perlu punya nafas. Jonze menawarkan dan sempat kalut dalam konsep itu, mencintai yang fana. Hingga ia harus kehilangan status sebagai menantu Francis Ford Coppola.
Tapi di atas (mungkin sudah pada lupa, karena baru sadar kok panjang banget ya tulisannya), saya sudah bilang kalau cerita Theodore dangan OS1 adalah metafora. Beberapa kritikus menyebutnya ini sisi gila kerja Jonze. OS1 merepresentasikan film, video, semua karya visual yang diciptakannya. Dan Jonze jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta pada hal yang tak perlu punya raga, tak perlu punya nafas. Jonze menawarkan dan sempat kalut dalam konsep itu, mencintai yang fana. Hingga ia harus kehilangan status sebagai menantu Francis Ford Coppola.
Dan dalam
'Her' ia ingin kita menerka, "Apakah itu sebuah dosa?" Dan "Apakah kita, perlu didera karena melakukannya?"
/
HER (2013), directed by: Spike Jonze. Starring: Joaquin Phoenix, Scarlett Johannson, Amy McAdams. Release date: 13 October, 2013 (New York Film Festival). Duration: 126 minutes. Rating - 84 (IMDB), 91 (Metacritic), 94 (Rotten Tomatoes), 86 (The Moderntramp, xp).
/
Ditulis
Mohammad Andi Perdana untuk ‘The Moderntramp’, Februari 2014. “Apakah kalian
berani untuk jatuh cinta dengan hal-hal yang tak hidup juga?”
No comments:
Post a Comment