1
DALAM HIDUP, RASA CEMBURU PERTAMA KALI KURASAKAN PADA TEMAN-TEMAN MASA
KECIL DI KAMPUNG HALAMANKU. AKU BINGIT BANGET, KARENA TERNYATA BAPAK JUGA
MENCERITAKAN KISAH YANG SAMA KEPADA MEREKA TENTANG SEBUAH RAHASIA. ITULAH KALI
PERTAMA PULA AKU MERASA, DALAM HIDUP, RASA KESAL YANG BEGITU MEMUNCAK, PADA
BAPAK.
( via sandera ) |
Bapak mengaku pernah dua kali
melihatnya. Ia menceritakan dengan rasa takjub. Naga Mang melayang di angkasa
seperti prisma. Tubuhnya yang hijau berpunuk runcing menatapnya tajam. Ia punya
sepasang tanduk mahkota berwarna cokelat mahoni. Matanya merah, di antara
sisiknya terdapat lapisan emas yang mengilap. Dari hidungnya keluar asap dan
api, saking takutnya Bapak tak bisa lari ketika mata Naga Mang menatapnya
lekat-lekat.
Mereka berpandangan begitu lama,
sampai bulan purnama yang sebelumnya tertutup awan tebal kembali mengintip
pelan-pelan. Naga Mang mengambil ancang-ancang, Bapak membaca doa karena ia
pikir akan diterkam. Terdengar suara gemuruh dari langit dan mulut Naga Mang,
Bapak memejamkan mata siap akan nasib terburuk baginya, mati tercabik atau
tewas terpanggang. Tapi tak lama, udara kembali terasa sejuk, ketika ia membuka
mata hanya ada satu lesakkan cahaya bergerak cepat seperti hendak menembak
bulan. Ia terpana, sampai tak lama terdengar suara Kakek memanggilnya.
“Tadi, ada, ...Naga Mang, Pak,”
ujarnya pada Kakek dengan suara terpenggal-penggal. Bukannya khawatir, Kakek
malah tersenyum, “Alhamdulillah, tidak semua orang beruntung bisa bertemu
dengan Naga Mang.” Ia menyatakan ketika kecil dulu juga pernah sekali melihat
Naga Mang, dan berharap suatu saat bisa kembali melihatnya. Ia menatap nanar ke
udara, melihat sisa lesakkan cahaya yang ditinggal Naga Mang menuju purnama.
Hingga akhir hidupnya, Kakek tak
pernah meninggalkan kampung halaman kami. Ia juga tak pernah kembali bertemu Naga
Mang. Sebelum meninggal ia berwasiat, “Kuburkan aku di tempat aku melihat Naga
Mang.” Ayah membawa jenazah Kakek ke salah satu puncak di Gunung Manglayang,
sendirian, sesuai wasiatnya. Ayah menggali kubur di tempat yang pernah
ditunjukkan Kakek, di mana ia melihat Naga Mang. Air matanya menetes seiring
keringat dingin yang membasahi pipinya ketika menggali kubur malam itu. Kakek
terbaring tanpa nyawa di samping tanah gailan seukuran peti mati itu. Cuaca
mendadak hangat, secercah cahaya muncul dari balik barisan pinus yang
mengelilingi tanah lapang itu. Angin berisik, pohon pinus condong ke kiri
diterpa udara, Naga Mang muncul dari balik bukit. Ayah kembali merasakan
sensasi sama ketika pertama kali bertemu Naga Mang. Namun kali ini ia tak
menatap matanya, Naga Mang menatap Kakek yang sudah terbaring tak bernyawa,
mengambil ancang-ancang, dan kembali melesat ke udara. Kali kedua Bapak tak
merasa takut, tapi kagum terpana dengan mulut menganga, ia menggali semacam
rindu pada hal yang sebenarnya mustahil. Bapak tersenyum, sebelum kaget luar
biasa ketika menatap ke samping di alas tanah, mata ayahnya terbuka lebar.
Untungnya, atau setelah lama ia berpikir, memang itu tujuannya, seulas senyum
terpoles di garis bibir Kakek.
Setelah itu Bapak merasa
ditakdirkan untuk tak pernah meninggalkan kampung. Kakek yang merupakan tokoh
agama di kampung seumur hidup baru dua kali bertemu Naga Mang. Bapak belum
separuh abad umurnya, sudah menyamai torehan panutan hidup banyak warga kampung
itu. Bapak memilih menjadi guru mengaji sementara kawan-kawannya yang lain
mencari peruntungan sebagai kuli dan mandor proyek di kota besar. Di sisi lain,
Bapak tak ingin mempersempit kesempatan untuk kembali melihat Naga Mang saat
purnama tiba.
“Lebih baik memenuhi yang cukup
di gelas yang kecil, daripada serba kekurangan mengisi cawan yang besar,”
ujarnya suatu waktu meyakinkan Ibu di saat uang hanya cukup untuk membeli beras
tiga mangkuk dan seperempat kilo tempe yang nanti Ibu masak orek agar terlihat
lebih banyak.
Hingga hari ini, cerita itu masih
tertanam lekang di benakku. Aku selalu berupaya segala cara agar bisa lekas
bertemu Naga Mang. Ayah hanya bilang nanti juga tiba waktunya sambil mengulang
cerita yang sama padaku hampir setiap malam, dan aku tak pernah bosan. Namun ia
menegaskan, “Hanya orang yang beruntung bisa melihat Naga Mang. Dan hanya orang
saleh yang masuk golongan orang beruntung.” Ketika orang lain bercita-cita jadi
dokter, astronot, atau tentara, aku saat itu cukup saja berikhtiar untuk jadi
‘orang saleh’.
Hari pertama masuk sekolah dasar,
tak ada desas-desus tentang Naga Mang yang kudengar dari teman sebayaku. Aku
pikir cerita tentang Naga Mang memang hanya ada di garis keluargaku. Aku
tersenyum dan memilih untuk menyimpan rahasia ini rapat-rapat, agar aku tak
perlu bersaing keras untuk menjadi orang saleh.
“Apakah orang lain tahu tentang
kisah Naga Mang ini?” Aku bertanya pada Ayah pulang dari surau. Ayah menjawab,
kisah tentang Naga Mang hanya boleh diceritakan pada mereka yang pernah
melihat, atau pada keturunannya kelak. Senyumku makin lebar sambil menatap
teman sebayaku yang juga mengaji di surau milik Ayah berjalan ke rumahnya
masing-masing.
Suatu saat, jika tak salah ingat
ketika itu umurku 10 tahun, aku demam tinggi dan meminta izin agar tak ikut
mengaji malam itu. Ayah meminta ibu untuk membuatkan teh manis dicampur madu
sebelum berangkat ke surau. Ia berharap aku cepat sembuh sambil mengusap dan
mengecek suhu badan melalui keningku. Setelah salat Isya, aku langsung tertidur
dan berharap paling tidak bertemu saja sekali dengan Naga Mang, walaupun lewat
mimpi.
Betapa kagetnya aku keesokan
hari, dengan badan sempoyongan sisa demam semalam, aku menemukan fakta di sekolah
bahwa, Asep, Ujang, dan Maman sibuk bergunjing tentang ular raksasa yang bisa
terbang. “Naga Mang!” kudengar salah satu dari mereka yang juga murid mengaji
Bapak mengatakan istilah ‘sakral’ itu. Aku cemburu dan kesal bukan main.
Bisa-bisanya Bapak menceritakan hal ini pada orang lain ketika aku tak ada.
Rahasia yang hanya dimilikki garis keturunanku. Mukaku memerah, demamku rasanya
kembali tinggi.
Maman menghampiri, “Malam minggu
mau ikut nggak? Kita kemping, berburu Naga Mang di Bukit Pendek!” ujarnya
antusias mengajakku. Aku tak mau berbasa-basi, kesal sekali, aku jawab saja,
“Naga Mang? Mang gue pikirin!” ujarku
meniru dialog salah satu karakter ‘anak kota’ dalam sinetron yang selalu
ditonton ibu saban malam.
2 >
/
Ditulis oleh Petang Galajingga (@gala) untuk The Moderntramp. #PAYUNGFANTASI adalah satu bab dalam Selasastra yang
berisi tentang cerita fiktif yang kecil kemungkinannya terjadi, kecuali bagi
mereka yang memercayainya. Cerita ‘Naga Mang’ adalah bagian pertama dari cerita
dua babak berjudul sama, terinspirasi dari cerpen ‘Kuda Emas’ karya Tawakal M.
Iqbal yang dimuat di Kompas, Ahad (23/6).
menanti Naga Mang 2, jangan lama-lama ya...
ReplyDeletesiap Pak!, XD.
Delete*masih nunggu lanjutannya*
ReplyDelete