1.
Akhirnya ngeblog lagi. Ngeblog yang sekadar ngeblog: bercerita. Saya menyadari sebagai manusia tiap harinya saya mendengar dan (ingin) didengar. Kalau melintir ucapan salah satu big boss di kantor, berhenti bercerita, habis sudah seorang manusia (dia bilang: berhenti bertanya, habis sudah seorang wartawan).
Akhirnya ngeblog lagi. Ngeblog yang sekadar ngeblog: bercerita. Saya menyadari sebagai manusia tiap harinya saya mendengar dan (ingin) didengar. Kalau melintir ucapan salah satu big boss di kantor, berhenti bercerita, habis sudah seorang manusia (dia bilang: berhenti bertanya, habis sudah seorang wartawan).
Beberapa minggu lalu, saya memilih
berhenti bercerita. Beberapa orang berkata apa yang saya tulis terlalu
personal. "Apa pantas dipublikasikan?" tanya salah seorang dari
mereka.
Ada benarnya memang. Dan saya menyadari
itu. Bodohnya, bukan mengevaluasi, saya malah berhenti bercerita. Saya tutup
gerai blog ini beberapa pekan lalu saat seorang teman berkata, "Sedih
bacanya, x( (pake emot biar dramatis, xp)."
Beberapa cerita terakhir yang diunggah
memang tentangnya. Sedih memang rasanya bahkan saat kata-kata itu masih ada
dalam kepala. Yang bikin menyedihkan, tulisan itu, ya tadi seperti saya bilang,
sifatnya personal. "Mengapa orang lain harus ikut baca?"
Sampai saat itu, saya menyadari bahwa
saya menulis bukan untuk berekspresi, melainkan semata berimpresi. Saya tidak
bercerita tentang apa yang saya rasakan, tapi bercerita tentang bagaimana saya
menangani perasaan yang saya alami. Mungkin cerita saya belum sampai tahap
menggurui, tapi sudah masuk lah level orang yang sok merasa paling pintar dalam
sebuah kelas.
Maka itu, ketika si teman bilang sedih, sebenarnya
ia juga bersedih karena rasa bukan wacana. Saya selalu menganggap begitu
awalnya. Padahal yang akhirnya saya pelajari, rasa itu tak perlu banyak teori,
praktikkan saja tanpa perlu ba-bi-bu.
Ketika kamu merasa senang, ya tertawalah. Ketika sedih, menangislah. Karena
bersedih itu wajar, tapi jangan sampai menyedihkan.
Maka tak aneh bila si teman tak bisa
paham dengan apa yang saya rasakan. Lha wong
saya nulis bukan untuk berekspresi. Pantas bila apa yang saya tulis tak bisa memberi
reaksi, jauh-jauh menginspirasi.
Maka itu ada baiknya mulai sekarang saya
memilah-milah cerita. Apa yang perlu disampaikan pada diri sendiri, simpan saja
dalam kepala. Apa yang perlu disampaikan secara personal pada orang lain,
sampaikan lewat sebuah pertemuan atau pesan panjang. Barulah pajang di blog, jika
dirasa orang lain bisa nyaman membacanya.
Seperti saya bilang tadi, boleh
bersedih, tapi jangan menyedihkan. Boleh bersedih, tapi jangan membuat orang
lain sedih lah.
Inga'-inga'(sindrom mau pemilu, xp) hidup cuma satu kali, jika
kamu rasa sulit untuk membuat dirimu senang, senangkanlah orang lain. Dengan
cara sederhana saja, ya misal, lewat sebuah cerita, x).
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (11/2). Selamat membaca kembali, kawans, x).
Tentang memilah cerita, kadang memang harus. Tapi mengingat pertimbangan memilah cerita bisa berbeda pada setiap orang. Jadi, ya, it's okay juga kalau semua ditumpahkan di blog.
ReplyDeleteKalau menurut aku mah, apapun boleh ditulis di blog. Karena sifat blog (yang seperti di Blogspot atau Wordpress) tak melulu bersifat sosial. Ehehehehe. Eh, tapi lagi-lagi tergantung peruntukkannya sih.
Eh, apa sih?
iya juga sih ya. kalau gitu saya nunggu proyekan #30HariMengunggahTulisanYangTersimpandiDraft ah, :)).
ReplyDelete