1
Pada 1987 (tahun ketika saya lahir, bro), Mike Judge sudah lulus SMA dan mulai bekerja
selama tiga bulan di lembah terbesar korporasi teknologi mutakhir, yang kini
dikenal dengan Silicon Valley. Hanya tiga bulan, ia sudah tak kerasan. “The people I met were like Stepford Wives.
They were true believers in something, and I don't know what it was,”
ujarnya.
26 tahun
berselang, Mike memetakan kembali kultus itu dalam ‘Silicon Valley’, sebuah
sitkom satir terbaru garapannya untuk HBO. Richard Hendrix (Thomas Middleditch)
adalah programer yang bekerja di sebuah perusahaan multi-teknologi, Hooli,
sekaligus sibuk menggarap aplikasi Pied
Piper, yang ia klaim bak Google untuk blantika musik. Richard tak puas hidup
sebagai kuli binary, ia masih ingin mengejar
mimpinya sebagai techpreneur muda
yang punya nama. Ibarat Steve, ia ingin menjadi Wozniak, ketimbang Jobs, Steve
yang dinilainya lebih punya esensi ketimbang piawai bersosialisasi. Sebab
menurutnya, golongan kedua, adalah poser,
dan Silicon Valley kini penuh dengan orang-orang macam itu. Ia muak dengan tren
yang berkembang di sana, rapat marketing di atas sepeda pawai, rutinitas brogrammer (programer yang doyan ngegym)
atau ritual aneh lainnya yang tak bisa Richard cerna dengan logikanya. Mike
Judge, melalui Richard dan Pied Pipernya, mengajak kita untuk menertawakan hal
tersebut.
Pied Piper,
rupanya punya alogaritma bagus yang memaksimalkan sistem kompresi dalam
pengunggahan file ke dunia maya (impresi yang setara dengan apa yang disajikan
David Fincher di ‘The Social Network’). Entah apa resepnya, yang pasti, proyek
sampingan pekerja Hooli itu jadi rebutan dua tech-bilyuner, Peter Gregory (Christoper Evan Welch, meninggal
akhir tahun lalu, gimana dong, :s) dan bosnya sendiri Gavin Belson (Matt Ross).
Embrio proyek itu ditaksir bernilai hingga US$ 4 juta dolar, dan kedua horangkayah itu menawar dengan cara yang
berbeda. Gavin ingin membelinya tunai, dan Peter hanya ingin berinvestasi di
sana.
“You can take that money, or keep the
company!” Selesai sudah ‘Silicon Valley’ bila Richard memilih opsi yang
pertama. Ia akan berakhir seperti Erlich (TJ Miller) yang pernah menyesal menjual
mentah-mentah proyek Aviator dan kini hidup ‘luntang-lantung’ di SIlicon Valley,
‘hanya punya’ sebuah rumah ‘agak’ mewah dan mempekerjakan empat orang (salah
satunya Richard) programmer/web developer di tempat yang ia sebut sebagai
‘inkubator’.
Dan akhirnya
Richard tak memilih jadi budak. Alasan utamanya, jelas ia ingin melihat Pied
Piper berkembang dan ia menjadi kepala keluarga dari ‘bayi’ yang dilahirkannya
itu. Alasan lain, ia ingin membuat revolusi kecil-kecilan, bahwa Silicon Valley
bukanlah Stepford, yang serba mewah, namun ada yang tak genah dalam tiap
tingkahnya. Ia ingin membuat populasi kecil di Silicon Valley, yang lebih
humanis, bukan robot-robot bertopeng tulang dan kulit yang tak jelas apa yang mereka
cari dalam hidup.
Sebab tujuan
Richard jelas. Ia ingin sukses, mungkin jadi kaya, mungkin jadi tenar. Tapi ia
ingin tetap hidup sukses secara normal. Tak perlu lagi ada rutinitas nge-gym
seperti yang dilakukan para brogrammer
di kantornya, atau ritual-ritual aneh yang diwajibkan oleh kantornya yang bak
menjadi sebuah kultus, tak ada lagi generalisasi grup para programer (seorang
Asia Tengah, seorang Asia Timur, seorang pria gendut berambut kucir, dan seorang
lain dengan bentuk janggut yang aneh). Ia ingin sukses, dan tetap jadi manusia.
2.
Selain Richard dkk, sebetulnya ada ‘manusia’ lain yang tampil singkat di detik-detik pertama pilot ‘Silicon Valley’ - ‘Minimum Viable Products’. Ia adalah Kid Rock (haha!), yang diundang untuk manggung dalam syukuran Goolybib. “He’s the poorest person here,” ujar Elrich pada Richard di pesta yang dihadiri orang-orang dengan kekayaan hampir US$ 20 juta itu. Dan tak ada yang memperhatikannya, selagi orang-orang kaya itu sibuk memikirkan kultus dalam teknologi masa depan di sebuah pesta. “Fuck these people!” ujar Kid Rock seusai menyanyikan ‘Cucci Galore’.
Selain Richard dkk, sebetulnya ada ‘manusia’ lain yang tampil singkat di detik-detik pertama pilot ‘Silicon Valley’ - ‘Minimum Viable Products’. Ia adalah Kid Rock (haha!), yang diundang untuk manggung dalam syukuran Goolybib. “He’s the poorest person here,” ujar Elrich pada Richard di pesta yang dihadiri orang-orang dengan kekayaan hampir US$ 20 juta itu. Dan tak ada yang memperhatikannya, selagi orang-orang kaya itu sibuk memikirkan kultus dalam teknologi masa depan di sebuah pesta. “Fuck these people!” ujar Kid Rock seusai menyanyikan ‘Cucci Galore’.
Tak perlu
mengerti dunia pemograman untuk bertanya, “Ini orang-orang kenapa sih?” Karena
mereka bisa ditemukan di mana saja. Sebuah dunia yang tampak sederhana, tapi
selalu punya geliat mahal dan istimewa. Bila tiap lingkungan punya kelasnya
sendiri, ‘Silicon Valley’ akan menyibir tentang tech-elite dan kelas menengah ngehe di sana. Banyak aturan yang tak
bisa kita pahami logikanya. Sebuah dunia yang aneh bentuk habluminannasnya.
Mike Judge
(kreator Beavis and Butthead) menampilkan pesona unik itu secara satirikal
dalam ‘Silicon Valley’. Karena sama-sama diproduksi HBO, dan tiap musimnya
hanya diisi delapan episode, skema ini mengingatkan saya akan ‘Hello Ladies’.
Hanya saja di kisah satir lain itu, karakter utama Stuart Pritchard ada di
pihak yang terbawa arus. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Richard punya mimpi, hanya menjunjung langit dari bumi yang dipilihnya untuk
berpijak. Lebih jauh, lewat karakternya, kreator Mike Judge ingin memberi batas
pada para tech elite di Silicon Valley, bahwa semakin tinggi mereka ingin terbang,
semakin keras kita ingin tertawa.
Karena
‘Silicon Valley’ hadir dengan cara seringan itu (ya, namanya juga komedi satir,
bro). Saya pernah baca lupa di mana, beberapa tech-elite, kini memang dikultuskan oleh banyak bawahannya dan
partnernya yang demen menjilat. Hal tersebut dihadirkan dan mudah dicerna di
pilot serial ini (dan membuat kita geleng-geleng karena tetap tak paham dengan
yang mereka lakukan). Misal ketika Richard pertama kali dipanggil big bossnya
yang agendanya super-sibuk. “Hardly to describe, he's not humiliating, he's elevating you,” ujar salah satu bawahannya
yang hanya pernah bertemu bosnya itu selama 10 menit. Nyatanya, sang bos malah sedang
sibuk memperhatikan pola grup bawahannya, mengapa selalu terdiri dari orang
Asia Tengah, pria gendut berambut poni, dan pria lain dengan mode janggut yang
aneh. Dan penasihat spiritualnya malah berkata, “You have great understanding in humanity.” WTF.
Yang seperti
ini nih, yang menjadi akar kuluts dari banyak perusahaan teknologi mutakhir di
‘Silicon Valley’, dan membuatnya lambat laun jadi seperti Stepford tanpa harus
menghadirkan gadis-gadis berkaki jenjang. Para programer berbakat ini cukup
beruntung, bekerja di perusahaan besar dengan gaji dan fasilitas nyaman. Tapi
banyak yang takut untuk berpikir seperti Richard, “I don’t wanna be a lifer here (at Hooli).” Karena jelas, Richard
tak mau jadi bagian kultus tersebut.
3.
Semua karakter di inkubator milik Erlich, termasuk ia sendiri, punya potensi jadi geng baru yang siap diperbincangkan selama delapan pekan ke depan. Karakter Elrich, memang paling ngehe sih. Misal, kengototannya untuk mendapat 10 persen bagian dari penjualan Pied Piper, yang sebelumnya ia anggap sampah. Highlight lain, ada Martin Starr (Bill Haverchuck di ‘Freaks and Geeks’) di sini sebagai karakter satanis, “Hail to The Dark Lord!” yang punya tato salib terbalik di lengannya. Senang rasanya melihat satu per satu alumnus Freaks and Geeks dapat porsi lagi di kancah pertelevisian Amerika yang kini jaya lagi. Karakter Big Head juga mengundang simpatim, justru karena kerendah diriannya, juga tentunya aplikasi Nipple Alert yang sedang digarapnya.
Semua karakter di inkubator milik Erlich, termasuk ia sendiri, punya potensi jadi geng baru yang siap diperbincangkan selama delapan pekan ke depan. Karakter Elrich, memang paling ngehe sih. Misal, kengototannya untuk mendapat 10 persen bagian dari penjualan Pied Piper, yang sebelumnya ia anggap sampah. Highlight lain, ada Martin Starr (Bill Haverchuck di ‘Freaks and Geeks’) di sini sebagai karakter satanis, “Hail to The Dark Lord!” yang punya tato salib terbalik di lengannya. Senang rasanya melihat satu per satu alumnus Freaks and Geeks dapat porsi lagi di kancah pertelevisian Amerika yang kini jaya lagi. Karakter Big Head juga mengundang simpatim, justru karena kerendah diriannya, juga tentunya aplikasi Nipple Alert yang sedang digarapnya.
Salut juga
untuk Kid Rock, yang mau-maunya dibayar untuk jadi orang paling miskin di Silicon
Valley. Manggung setengah lagu, tapi siapa yang mau peduli. Sudah kurang apa
lagi, itu hanya lima menit di episode perdana, dan saya sudah cekikikan. Di
tengah episode, malah muncul Andy Dale (yang belakangan saya simak di ‘Review’,
Comedy Central), jadi dokter yang menangani Richard pas kena panik akut. Muncul
sebentar, tapi bikin ketawa KO karena sudah hampir jadi penasihat terburuk dalam
karir Richard.
Karakter
Richard sendiri diperankan Thomas Middleditch secara apik. Takaran kerendah-diriannya
pas untuk kita sebut sebagai geek yang bermartabat. Gaya kikuknya pun juga
membuatnya mudah disukai. Kadang saya melihat ada karisma Seth Cohen (The OC)
dalam perannya.
Semoga di
tujuh episode sisa, penampilannya prima dan banyak cameo lain yang tetap membumikan serial ini. ‘Silicon Valley’
membutuhkan itu karena topik yang diangkat, sangat tersegmentasi, tak semua
mudah dimengerti. ‘Silicon Valley’ perlu dibuat tetap waras dan wajar, karena
ironis nanti, jika komedi satir ini malah menjadi ‘cult’ untuk para programer sakit hati yang seolah ingin berteriak,
“Occupy, Silicon Valley!”
/
‘Silicon
Valley’, HBO, 30 minutes (8
episode, per April 6th, 2014). Created by: Mike Judge. Starring:
Thomas Middleditch, TJ Milller, Josh Brener, Martin Starr, Kumail Nanjiani.
IMDb Ratings: 8,5/10 from 920 users. The Moderntramp Rating: 8,4/10, X).
Ah, keduluan.
ReplyDelete