Thursday, 5 June 2014

SILICON VALLEY - FINALE (2014)

SPOILER ALERT, PAKE BANGET

Minggu ini adalah episode terakhir ‘Silicon Valley’ di musim debutnya yang brilian. Delapan episode yang lebih solid ketinbang serial yang mengisi plot sama di musim tayang sebelumnya, ‘Hello Ladies’. Terlebih karena ‘Silicon Valley’ punya akhir yang klimaks sekaligus menyisakan banyak penasaran untuk musim depan yang baru akan tayang, ...8-10 bulan lagi. Ah. Berikut delapan momen terbaik dari finale ‘Silicon Valley’ yang bikin saya nggak bisa berhenti tertawa, apalagi karena ditonton setelah episode ‘Game of Thrones’ yang begitu depresif.

1) Middle Out. Akhirnya, beres juga era Richard Hendricks yang menyebalkan. Apa-apa panik, apa-apa mual, apa-apa gugup. Akhirnya ia bisa menemukan solusi perumusan efektif kode ‘Pied Piper’ agar bisa melampaui torehan saingannya, ‘Nucleus’. Setelah ini, Richard kembali brilian dan jadi jaminan mutu banyak wanita akan gemas dan akan dengan mudah jatuh cinta padanya.


2) The Dick Joke Scene. Momen ‘middle out’ Richard muncul malah ketika teman-temannya, saking stresnya, bercanda bagaimana mereka harus mempresentasikan Pied Piper (yang amat tak siap) esok hari. Solusinya, Erlich will jerking off all the audience selama presentasi. Dari sini, selama lima menit ke depan, kita akan disuguhkan dick joke paling komperhensif dan lucu dalam layar kaca.


3) Let’s Pivoting. Sementara itu, Jared yang selain frustasi, juga kurang tidur, berharap agar Pied Piper berganti halauan, tak lagi menjadi aplikasi peredam kapasitas. “Bagaimana bila aplikasi ini bisa membuat kalian tahu apakah akan masuk surga atau neraka?” ujarnya. Dengan mata yang lelah, ia akan bertanya pada setiap orang >


4) Satanist sejak Dalam Pikiran. Bicara soal neraka, Gilfoyle kembali pada identitasnya (ia punya tato salib terbalik). Untuk mengungkapkan rasa bahagianya, ia bilang>


5) TechCrunch Disrupt Final. Di depan 800 penonton, Richard mengambil alih presentasi keesokan harinya. Timnya tak tahu apa hasil 'coli otak' yang ia lakukan sehari sebelumnya. Ia hanya mengklaim berhasil menaikan Weismann Score Pied Piper menjadi 3,8. Dan, ---drum roll--- dengan ragu-ragu, ia bisa membuktikan bahwa aplikasinya itu bisa mengkompres file dengan tingkat keefektifan, di luar dugaan 5,2 (lebih dari separuh besar file). Orang-orang kagum, karena skor tertinggi dalam sejarah peredaman kapasitas hanya 2,9. So, akhirnya Pied Piper tak jadi dibantai dan dipermalukan di depan publik. Dan saya tepuk tangan sendirian di kamar kosan.


6) Monica for Playboy Bunnies! Dan karena itu, Richard, berhasil menarik hati Monica. Blunder sih ini showrunner, karena pertama saya pikir terlalu cepat untuk Monica yang punya profesionalisme tinggi (mungkin) jatuh hati pada Richard. Kedua, karena Monica—yang gigi kelincinya membuktikan kalau makhluk pemakan rumput itu tak hanya seksi bila dipajang di majalah Playboy—belum rela untuk saya bagi-bagi, < 3.


7) That Bro/Gay Moment. Semua bersorak, termasuk Jared yang datang terlambat karena puas bobo. Dan jeritannya sebelum memeluk Richard, menjadi salah satu hal yang akan saya kenang dari finale serial ini. (Juga tentunya pertanyaan-pertanyaannya sebelum kontes, “Which one, which one, which one?”). Gay moment nomor tiga di serial ini, setelah 'gay code' antara Dinesh dan Gilfoyle dan kecemburuan Jared pada rekan satu timnya terhadap Richard karena merasa useless di episode silam.


8) RIP Christoper Evan Welch. Dan akhirnya usai kemenangan itu, Pied Piper menarik banyak investor. Untuk kedua kalinya Monica membuat Richard amat panik dan lagi-lagi, muntah. Tapi setidaknya ia sudah membuktikan bahwa ia sanggup menerima tantangan yang diberikan oleh Peter Gregory. Namun sayangnya, karakter terakhir pasti akan direcast pada musim keduanya, dan kalian yang sudah nyantol dengan Peter sejak awal episode, akan sedih melihat apa yang muncul di akhir kredit.



Sekian dan terima kasih, sampai jumpa di musim kedua ‘Silicon Valley’, tentunya dengan besar harapan, seperti ‘Entourage’, bahwa delapan episode sangat singkat untuk serial sebagus ini. Tabik.

Wednesday, 28 May 2014

HALT AND CATCH FIRE (2014)


1
Lee Pace sebagai Thranduil dalam ‘The Hobbit’ membuat orientasi seksual saya, pernah sedikit goyah (dikit banget, haha). Maka ketika namanya muncul sebagai salah satu cast dalam serial terbaru AMC, ‘Halt and Catch Fire’ saya tergoda untuk kembali mengetes orientasi seksual saya. Dan kesannya sama, tanpa rambut pirang panjang yang terurai dan mahkota tanduk rusa, dia tetap memesona.

Sampai tiba-tiba muncul Mackenzie Davies sebagai Cameron Howe, mahasiswi drop-out yang punya ketertarikan tinggi di bidang rakit-merakit personal computer (PC). Saya berkata sambil mesem-mesem, “Ini nih.” sebagai alasan awal mengapa saya akan terus menonton serial ini (dan udah, lupa aja sama Lee Pace, haha). Hobi dan obsesi yang aneh kala itu untuk ‘nak mudo’ di pertengahan tahun 1980’an. Masa personal computer semata milik IBM, dan lainnya mencoba mengekor, tanpa bertendensi untuk melampaui.

Lee Pace sebagai Joe MacMillan merekrut Cameron dalam timnya. Berupaya untuk membuat revolusi di industri komputer. “Computers aren’t the thing. They’re the thing that gets us to the thing,” ujarnya mengutip salah satu artikel Gordon Clark yang diperankan oleh Scoot McNairy. Ia menjadi orang terakhir untuk melengkapi timnya. Bertiga, berniat mengubah dunia karena menganggap banyak hal yang bisa dieksplorasi dari sebuah personal computer, tanpa harus dibatasi monopoli perusahaan besar macam IBM.

Porsi Cameron dalam pilot ini cukup irit. Dalam episode pertama yang rencananya baru akan diputar 1 Juni mendatang, ‘Halt...’ lebih berfokus pada awal mula kerja sama Joe dan Gordon. Dua-duanya punya karakter yang unik. Joe adalah seorang ambisius, pernah bekerja di IBM sebelum akhirnya diterima di Cardiff Electric, sebuah perusahaan kuda hitam yang mencoba mengekor IBM. Joe menjadikannya sebagai tameng legalitas sekaligus batu loncatan untuk obsesinya.

Gordon Clark adalah pekerja biasa di Cardiff, namun sebagai seorang perakit komputer, ia seorang jenius. Bersama istrinya ia pernah merakit The Symphony, proyek gagal personal computer yang menghantui Gordon hingga saat ini. Setelah membaca artikel Gordon yang menggugah dalam majalah ‘Byte’, Joe menawarkannya sebuah kerja sama. Gordon tak ingin masuk dua kali di lubang yang sama, terutama banyak hal yang dipertaruhkan di proyek yang tak murah itu, terutama keluarganya. Belakangan, istri tercinta yang selalu khawatir itu, Donna Clark (Kerry Bishe, keduanya juga berperan sebagai suami istri di ‘Argo’) menyetujui. Sang istri tak ingin bakat luar biasa si suami sia-sia.

Di akhir pekan yang tak kenal waktu, dua orang itu mengotak-atik kode dasar chip IBM. Joe punya visi, dan Gordon punya kemampuan untuk mengeksekusi. Hanya berdua, mereka mampu menjabarkan apa yang berada di balik kode chip yang mengontrol pasar personal computer saat itu. Kesuksesan ini yang membuahkan konflik dalam ‘Halt...’, IBM menggugat Cardiff karena proyek personal Joe itu bocor. Dan belasan pengacara IBM mendatangi Cardiff siap untuk membangkrutkan perusahaan itu.

John Bosworth (Toby Huss), pejabat Cardiff kaget, ia tak tahu apa-apa, tahu-tahu perusahaannya mau dipailitkan saja. Hanya karena ia menerima seorang revolusioner obsesif macam Joe MacMillan di dalam perusahaannya. Joe, kepada John berkata, “Kami siap bertanggung jawab.” Dan Gordon plus Cameron mau tak mau harus menerima konsekuensi dari ‘kelancangan visi’ Joe.

2
Tak seperti Bosworth, Juan Jose Campanella (sang sutradara) tahu apa yang ia dan timnya kerjakan. Sebuah drama berbasis perkembangan teknologi berlatar tahun 1980’an. Visinya, ia benar ingin menciptakan kondisi saat ini dengan akurasi yang berkelas. Tata suara dan musik latar ‘Halt...’, saya suka banget. Salut pun untuk penata busana serial ini yang bisa menampilkan Joe dan Cameron sebagai sosok cool pada masanya, seperti Don Drapper dan wanita-wanitanya dalam ‘Mad Men’ di tahun 1960-an.

Namun yang paling mumpuni adalah karakter-karakter di dalam serial ini. Menyenangkan melihat Joe yang baru saja sedikit frustasi bersikap destruktif dengan tongkat dan bola baseball di kamar apartemennya. Menarik melihat Gordon kembali punya ‘darah segar’ ketika merakit komputer di garasi rumahnya. Dan Cameron, ah, apa-apa juga dia mah menarik.

AMC punya tradisi bagus untuk merekonstruksi masa silam. ‘Mad Men’ di New York era 1960 masih terus berkibar. ‘Breaking Bad’ yang mengambil latar waktu pertengahan 1990-an, bintang lima! Sangat besar harapan saya, ‘Halt...’ punya standar yang sama dengan dua opus magnum itu. Jangan seperti ‘Turn’ yang kembali jauh ke belakang, era perang sipil di Amerika, tapi seleranya serba kurang.

Besar harapan saya karena  ‘Halt...’ punya Lee Pace dan sepasang kekasih alumni Argo. Ketiganya punya karakter kuat, bahkan bila kelak plotnya jadi tiba-tiba membosankan (atau mungkin sulit dimengerti karena terlalu teknis). Plus, Mackenzie Davis bisa menjadi meteor baru yang saya harap beberapa tahun mendatang bisa sering muncul di layar kaca. Mungkin untuk yang belum sadar, ia sebenarnya Robin Scherbatsky yang tak memilih karir di layar kaca, pindah ke New York dan bertemu Ted Mosby dkk. Ia adalah Robin Scherbatsky yang tak punya tujuan hidup, berbakat di dunia komputer, disekolahkan orang tuanya di Texas, dan berpikir, “I’m too cool to school!”

Satu hal dari Cameron tentang serial ini dalam wawancara dengan Crave Online di SXSW 2014, “I feel like the pilot episode is the tamest episode of the season. It’s just so sweet. We are monsters after this.” Potensi itu sudah terlihat dalam sosok Joe, yang merepresentasikan pengusaha muda rakus yang punya kecenderungan sociopath di tahun 1980’an. Bahkan Lee Pace sendiri menyebut karakternya, “Then I looked again and saw someone who looked like Steve Jobs, a little like Donald Trump in the early 1980s,a  little like Gordon Gekko, and a little like the guy with 80s greed. He just wants to make a computer for you. It will serve your life and help you connect the dots." Ah, me-nye-nang-kan!

Dan saya menunggu saat-saat di mana tiga sosok yang di awal menimbulkan simpati itu, menjadi tak terkendali seperti Don Drapper di ‘Mad Men’ dan Heisenberg di ‘Breaking Bad’. Monster yang tak pernah kita takut, karena akuilah, karena kita tak perlu takut dengan apa yang bersemayam dalam diri, dan sesungguhnya, kita membutuhkan itu.

/

‘Halt and Catch Fire’, AMC, 45 minutes (10 episodes, per June 1st, 2014). Directed by: Juan Jose Campanella. Starring: Lee Pace, Mackenzie Davis, Scoot McNairy. IMDb Ratings: TBA, The Moderntramp Ratings: 8,2/10, X)

Saturday, 17 May 2014

REN(T)JANA KYRIE

1
"Depresif ya Kay ternyata. Bukunya sih belum sempet dibaca. Tapi filmnya udah kutonton semalem," ujarku menyambut kedatangan Kyrie yang terlambat setengah jam. Alasannya terjebak hujan. Padahal kan bukannya hujan hanya membasahi? Manusia saja yang ingin terjebak di rintiknya, entah romansa atau trauma. Banyak alasan untuk terjebak dalam hujan.

"Apaan?" ujar Kyrie sambil membuka mantel berwarna cokelat tua yang basah di bagian bahu. Mantel ini hampir dipakainya tiap hari pada musim hujan. Sehingga katanya dengan tameng kain tebalnya itu, ia tak perlu lagi repot membawa payung.

"Norwegian Wood!" Aku menyebut novel karya Murakami yang legendaris itu. Yang malah baru ingin kubaca setelah menonton filmnya. Rinko Kikuchi hampir dibugili di sana, meski aku jauh lebih tertarik pada Reika Kirishima yang memerankan tokoh Reiko.

"Astaga! Belum juga dibaca juga.Udah hampir setahun juga aku pinjemin. Balikin aja ah kalau nggak dibaca-baca. Awas balik-balik novelnya keriting." Ia tak pernah meminjamkan novelnya pada orang lain. Aku adalah pengecualian karena pertama, kami kenal lama, kedua, aku memberi tahu novelnya ada di tanganku dua minggu setelah aku diam-diam ambil dari rak buku di kamarnya. Akhirnya ia ikhlas meminjamkan, itu pun dengan catatan, bukunya tak boleh cedera satu depa pun kala pulang ke raknya.

"Ya nggak lah, aman. Hahaha," ujarku sambil kembali memandangi komputer jinjing yang menemaniku saat menunggu keterlambatannya. Bola mataku bergerak-gerak sambil menaik-turunkan alis, hidungku kembang kempis. Padahal tak ada yang sedang kukerjakan.

"Curiga deh. Ilang ya? Bilang?" Ia menatapku tajam, pandangannya mengiris keningku yang mulai berkerut. Suaranya nyaring kalau sudah mengancam.

"Enggak, ahaha, ahahaha. Iya deng, ilang novelmu iya yang merah. Nanti kuganti deh, janji! ...Eh, atau kudownload aja PDF-nya, mau gak? Ya, ya, ya? Haha, aduh," bola mataku makin bergerak liar. Ingin rasanya bersembunyi ke gelap dan berputar 180 derajat, ke dalam lunar mare. Andai  bisa.

"Aaaah! Enggak mau. Gantiin!" Ia menangkap basah sebelum bola mataku sempat bersembunyi. Ia mendumel karena buku yang hilang terbilang langka. Cetakan pertama Norwegian Wood yang diterbitkan dua seri oleh Kodansha English Library, tahun 1989. "Mati!" ujarku kala menyadari satu dari sepaket novel yang kupinjam darinya hilang. Untung satu lainnya masih selamat. 

"Iya, iya nanti kucari sampai ujung dunia. Rrr, rrr," ujarku merasa bersalah sambil pura-pura mengemeretakan gigi dan memberi pandangan bintang-bintang, meminta iba. Ia melepaskan pandangan tajamnya dariku, mengangguk sedih. Kutahu ia tak bisa lama-lama marah padaku.

“Padahal kan dunia nggak ada ujungnya, Kay,” ujarku berbisik pelan, hihi.

2
"Tapi hubungan Toru (Watanabe) sama Naoko di sana itu seru lho. Kok bisa ya mereka bisa nahan untuk cerita sekian lama tentang Kidzuki?" ujarku mengalihkan pembicaraan. Ia sibuk memesan menu, sambil mendamprat pelayan yang kikuk mendeskripsikan pesanannya. Kasihan.

"Eh sebentar. Kidzuki itu yang mana?" tanyanya.

"Lah, katanya udah khatam, gimana sih?" ujarku mencoba mencairkan suasana. Riskan juga sih takutnya dianggap mengejek.

"Aku bacanya kelas satu SMA, udah lupa. Kidzuki yang mana ya?" tanyanya lagi.
"Temen Naoko dari kecil. Yang mati bunuh diri itu lho,"
"Aaaaah, ya, ya," muka tegangnya mengendur, layu, dan berkabung. "Iya, sedih."
"Eh tapi, kok seru? Apanya?" tanya Kyrie.

"Ya gitu. Tiba-tiba mereka ketemu lagi kan. Setelah sempat kepisah gara-gara tragedi Kidzuki itu. Dua-duanya rindu. Dua-duanya sedih. Eh tapi pas ketemu bisa seru lagi gitu. Bisa berdamai aja gitu dengan masa lalu mereka. Seolah cerita yang dulu bukan lagi hal-hal penting yang perlu dibahas," ujarku memberi alasan.

"Iya, tapi apa serunya?" Ia, lagi-lagi bertanya.

"Ya itu, kemampuan mereka untuk berdamai dengan masa lalu. Depresif banget coba kamu bayangin, temenmu dari kecil, tiba-tiba bunuh diri. Lah aku misal, kamu pasti sedih banget. Nih coba langsung kupraktekkin,” ujarku sambil mencoba menggapai tubuhnya, dan pura-pura nggak kena. “Kay, Kay, kamu denger aku nggak? aku mau ngomong sesuatu,” ujarku pura-pura jadi hantu. “Sedih kan, ngomongnya harus pake perantara kayak di film 'Ghost'," ujarku sambil mencoba menepuk bahunya, tapi lagi-lagi pura-pura gagal, karena dimensinya (ceritanya) beda. Seolah benar kalau aku ini mati, dan yang berbicara dengannya adalah hantuku.

"Shht ah, berisik!" Ia melirik ke meja sebelah, ada seorang wanita duduk sendiri sambil memesan es kopi hitam. Mungkin menunggu temannya yang terjebak hujan sepertiku sejak satu jam lalu. Wanita itu, wajahnya mirip sekali dengan Whoopi Goldberg. Aduh, aku sekuat tenaga menahan tawa. Mungkin ia tak sendiri di sana, bisa jadi ia sedang duduk bersama Patrick Swayze. “Makanya jangan sok-sokan maen-maenin ‘Ghost’!” ujarnya berang tapi sambil menahan tawa. Aku mengangguk.

"Kan Naoko nantinya nggak seberdamai itu sama masa lalunya. Iya nggak sih, aku lupa?" ujarnya mengajakku kembali berbincang tentang novel itu.

"Iya sih, kan di tengah-tengah Toru terus nanya. Penasaran dulu Naoko sama Kidzuki gimana. Sampai ketahuan kalau ya dua-duanya lebih dari sekedar teman. Naoko keinget lagi, depresi lagi, Toru nenangin lagi, keinget lagi, depresi lagi. Gitu aja siklusnya."

"Sekadar! Terus tadi juga praktik, bukan praktek!" ujarnya meralat. Satu hal yang aku sebal darinya, selain keras kepala, adalah kebiasaannya untuk menjadi polisi kata. Sampai-sampai tadi ketika memesan es teh manis, ia sampaikan pada pelayan kikuk yang kena semprotnya, "Gulanya, ala kadarnya aja ya." Aku tahu si pelayan sebenarnya bingung, tapi tak lagi berani bertanya.

"Ya artinya nggak ada yang berdamai dengan masa lalu dong di sana?" ujarnya melanjutkan pembicaraan,  dan lagi-lagi bertanya.

"Iya sih ya. Haha, maksudku awal-awalnya gitu kan. Seru aja tapi tetep. Eh tapi gini lho, maksudku tadi mau nanya gini, penting nggak sih kita berdamai dengan masa lalu?"

"Konteksnya?" Dia malah balik bertanya.
"Ya kayak Toru tadi, kalau dia bertahan buat berdamai dengan masa lalu Naoko, ya aman. Bisa seru terus apa yang mereka jalanin."

"Tapi di satu momen, Toru ngerasa perlu nuntasin segala kepenasarannya dengan minta klarfikasi semua dari Naoko. Dan ya, dia tahu sendiri resikonya... (menahan tawa) Meski ya nanti kita tahu kan yang lebih banyak nanggung bebannya, tetep Naoko," ujarku menjelaskan

"Ya kan katanya beberapa hal yang nggak kita tahu, katanya nggak bakal bikin kita ngilu. ..."
"...Tapi beberapa orang milih buat ngilu, karena mereka sangat ingin tahu, dan mereka nganggap itu penting."
"Jadi buat apa tahu? Apa pentingnya tahu? Apalagi kalau cuma buat bikin ngilu,"

"Ah, kamu kenapa jadi nanya balik muluk," ujarku sedikit kesal, meski ia ada benarnya. Karena aku tak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Buat apa?" ia kembali bertanya, menegaskan.
"Ya, buat apa ya. Ya udah itu, buat ngilu kan, haha. some people can get addicted to a certain kind of sadness. Hahaha, tapi auk ah, ya tanya Toru lah jangan ke saya."

"Ya kamu juga tahu kan gimana akhirnya di sana. Toru akhirnya tahu, penasarannya tuntas. Ia ngilu keras. Tapi toh kan bukan dia yang berakhir tragis di sana?" ia menanyakan satu hal yang kami berdua sudah tahu jawabannya.

"...," aku tak tahu harus bicara apa, mungkin bingung. Tapi mengerti kok, mengerti. Dan aku tahu akan ke mana arah perbincangan ini.

"Kamu tahu kamu ngilu. Tapi bukan berarti orang yang menceritakan semuanya padamu, nggak lebih ngerasa ngilu dari kamu," jawaban Kyrie ini bak pecutan terpedas bagi orang yang terlalu ingin tahu seperti saya. Orang yang sangat ingin tahu, sangat sok tahu, tapi mengakuinya selalu malu.

"Kok aku?" kini giliranku yang bertanya.
"Ini soal Sekar lagi kan?" Ah, nama itu. Terkaan Kyrie. Setelah terdiam beberapa saat, aku tak bisa menahan lebih lama untuk tidak mengangguk.

3
Aku tak berkata-kata. Kembali pura-pura sibuk di depan laptop. Kulirik sedikit, Kyrie tampak sedikit bersalah. Meski tidak, sama sekali ia tak salah. Ia selalu tahu kemana kailku memancing. Apalagi untuk banyak perbincangan  beberapa bulan terakhir. Aku selalu butuh Mori untuk meredakan keresahan yang menggenang entah di bagian mana dalam tubuhku, sehingga kadang sulit rasanya untuk bernafas.

Dan ia selalu berhasil untuk sedikit mengurasnya.  Selalu berhasil untuk menahanku untuk tidak menumpahkan segalanya pada Sekar. Hanya akan membuatnya duka dengan cara yang sudah kuduga, sesuai jawabannya: menorehkan luka.

Bingung menanganiku, ia tanpa pamit pergi ke kamar kecil. Ia berlalu dengan sepatu boots barunya, belum sempat kupuji betapa maskulinnya ia mengenakan itu. Dipadu dengan tas punggung hitam polosnya yang sederhana, membonceng di balik bahunya yang bidang, dalam balutan mantel cokelat yang hangat. Saat itu aku menyadari jangan lagi terlalu banyak bicara. Ia sedang ‘ada tamu’. Selalu saja begitu dari dulu kubilang bawa pouch kecil untuk menyimpan pembalutnya. Jadi tak perlu repot bawa seluruh tas untuk ganti pengaman di tempat umum seperti ini. Ia tak pernah berubah, selalu keras kepala.

Kyrie Amori dan aku seperti Naoko dan Kidzuki, kami mengenal sejak kecil. Tapi kami hanya berteman, tak pernah dan tak berpikir lebih dari teman. Kata orang-orang, "Belum saja." Tapi kami yakin itu. Dan tak ada hal yang salah di luar keyakinan kami berdua.  Ia dan keluarganya pindah ke komplekku pada saat umurku sembilan tahun. Rumahnya selempar bidak kuda catur dari rumahku. Setahun lebih kukira ia lelaki. Karena postur dan potongan rambutnya. Juga karena ia tak pernah menolak ketika kuajak bermain bola.

Aku baru kaget, ketika masuk SMP yang sama, ia memakai rok biru tua ke sekolah. Buah dadanya pun mulai menonjol. Tak hanya kaget, pun takut. Baru pertama kali aku melihat perempuan selaki-laki ini. Baru kutahu belakangan, tomboi istilahnya.

Di SMA, kami mulai dekat karena ia merasa tak nyaman dengan teman-teman wanitanya yang dianggap terlalu ceriwis. Sementara ia tak suka berbasa-basi. Ia mengetuk pintuku setiap pagi dan kadang sarapan di rumah sebelum pergi sekolah. Kami berangkat naik motor. Sekali-kali kuizinkan ia yang mengendarai.

Di sekolah kami saling mengenalkan sebagai sepupu. "Biar orang nggak mikir macem-macem," ujarnya. Meski kadang itu tetap jadi masalah. Beberapa pria urung mendekatinya, karena dipikirnya Kyrie ada apa-apa denganku. Begitu juga sebaliknya kuadrat. Kuadrat karena setiap aku mencoba mendekati teman wanita di SMA, banyak yang beralasan, "Nggak enak sama Kyrie ah," ujar salah satu dari sekian banyak mereka. Kutegaskan kami tak ada apa-apa. Kami cuma sepupu. Atau kadang kalau sedang jahat, kubilang Kyrie tak doyan lelaki. Mereka tetap tak mau mengerti. Belakangan aku menyadari bahwa alasannya bukan karena Kyrie, gadis-gadis itu memang tak mau saja denganku.

Lulus sekolah, kami satu kampus lagi. Satu universitas dan sempat satu kelas selama setahun. Semester ketiga ia mengambil Jurusan Jurnalistik hanya karena jaket almamaternya paling macho. Sementara aku masuk jurusan Manajemen Komunikasi, karena awalnya kupikir di Jurnalistik, ceweknya nggak ada yang ciamik. Aku senang melihatnya tumbuh dewasa, dan menjadi cantik dengan caranya sendiri. Kata seorang temanku di kampus yang naksir padanya, "Cantik yang macho-macho gimana gitu." Aku bingung kadang, berarti kalau begitu ada pula lelaki yang 'ganteng tapi feminim-feminim gimana gitu'. Ah, kenapa juga kupikirkan!

Belajar dari pengalaman masa sekolah. Kami mulai menjaga jarak di kampus. Tak perlu menjaga jarak pun tak masalah baginya. Baru kutahu saat itu, Kyrie bukan tipe wanita yang percaya komitmen dalam berhubungan. “Ya udah temenan aja, nggak harus pacar-pacaran,” ujarnya padaku saat kutanya tentang seorang lelaki yang sedang mendekatinya. Hingga lulus pun, tak ada satupun mahasiswa, bahkan dosen yang nyangkut di hatinya. Sementara aku di tahun ketiga bertemu Sekar. Setelah itu hubungan kami seperti sedia kala, tak lagi perlu menjaga jarak. Tak ada yang perlu dihindari lagi. Sekar pun amat menerima Mori, vice versa. Kadang aku iri, karena Sekar tampak lebih perhatian pada Mori, begitupun sebaliknya. Aku langsung mengingat perkataanku zaman sekolah dulu. "Mori kan nggak suka cowok!" Mengingat itu aku langsung berdoa saban malam agar candaan jahat itu tak dihitung tuhan sebagai harapan.

Kyrie Amori. Namanya diambil dari tiga bahasa asing. 'Kyrie' dalam bahasa Yunani artinya 'tuhan'. Katanya terinspirasi dari lagu Mr. Mister, "Kyrie Eleison" Kami berdua selalu menyanyikannya saat karaoke bersama teman-teman satu geng di kampus. Liriknya kami plesetkan menjadi, "Carry a laser down the road that i must travel." Sambil pura-pura memegang pistol imajiner dan menembaki hadirin-hadirot jemaah karaoke lainnya.

Nama belakangnya pun kusuka. Paduan dari "Amor", dan "Mori". Amor dalam bahasa Spanyol adalah 'cinta', Kyrie menyebutnya dengan istilah ‘hantu’ karena ia percaya hal itu ada tapi tak pernah bisa dilihatnya, dan hal itu selalu membuatnya takut. Sementara itu Mori, diambil dari Bahasa Jepang, artinya 'hutan'. Akan sangat lucu bila pada 1987, tahun kelahirannya, Norwegian Wood tak pernah terbit. "Tadinya aku mau dikasih nama, Kyrie Amor aja. Nggak tahu itu beneran apa becanda. Tapi geli banget, kayak ‘Por Tu Amor’ dong masa. Untung aja diselamatkan Murakami," ujarnya suatu waktu.

‘Norwegian Wood’ yang dikarang Murakami berjudul asli 'Noruwei no Mori'. Ia berutang banyak pada buku ini, namanya jadi cantik dan penuh makna. Kyrie Amori.  "Artinya, dalam hutan, aku menemukan ‘hantu’ dan tuhan. Dalam tuhan, aku menemukan ‘hantu’ dan hutan. Dalam ‘hantu’, aku menemukan tuhan dan hutan."

Ia selalu memberi alegori pada kata-kata dalam namanya itu. 'Hutan' adalah kehidupan, 'tuhan' adalah kematian, dan cinta, atau istilahnya yang lain, ‘renjana’ adalah rencana. "Mori menuju Kyrie, harus dibimbing oleh Amor." Itu yang selalu membuatnya tenang, mampu berdamai dengan situasi apapun. Pun memberikan kedamaian bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. "Dengan mencintai hidup, kamu tak perlu membenci kematian." Ya, setiap orang takut mati, tapi untuk apa membencinya, kata ia. Cintai saja hidup, semoga kematian juga mencintaimu kelak.

Motto yang selalu kudebat, karena menurutku bagaimana orang bisa tak membenci suatu hal yang merebut apa yang dicintainya. "Kalau tiba-tiba kamu dapat lotere, satu miliar misalkan. terus kurampok kamu besoknya, terus kamu aku bikin mati. Apa kamu tak akan membenci kematian?"

"Aku hanya akan membencimu." ujarnya ringan, karena jelas tahu bahwa aku jauh dari serius. Tapi kadang kalau sudah kesal dan terus kutekan kala berdebat tentang hal itu, ia selalu lari ke pertanyaan yang akan ia jawab sendiri ini:

"Kamu punya barang berharga, lalu seseorang mencurinya darimu. Siapa yang akan kau benci? Pencurinya?" tanya Mori yang disambung dengan jawabanny sendiri.

"Kalau aku. Aku hanya akan membenci diriku sendiri karena kelalaianku," ujarnya. Balik kesal, aku langsung mengambil tahu mayo yang masih hangat dari tangannya. Tepat ketika ia hendak menyuapkan itu dalam mulutnya yang sudah menganga besar. Hendak dilahapnya itu mungkin dalam sekali telan.

Dia tertawa pasrah sambil berkata, "Aaah, aku benci kelalaianku. Udah sini balikin aku laper banget," ujarnya sambil memasang muka sedih. Menopang tangannya di dagu, dan gantian memberi pandangan bintang-bintang kepadaku.

“Kamu sadar nggak sih tadi aku ngomong resiko pake 'e' kok tumben nggak rewel?” tanyaku usil. “Aku tahu dari hidungmu yang suka tiba-tiba kembang kempis itu, kapan kamu sengaja ngisengin atau beneran serius salah! Ngapain juga kutanggepin.”

“Ah, udah ah sini balikkin kamu tahu kan kenapa aku suka makan tahu mayo di sini? Karena porsinya pas, jadi kalau kamu ambil satu, mending empat sisanya nggak aku makan daripada ntar kenyangnya nanggung,” ujarnya memohon.

Aku lebih sibuk memerhatikan hidungku dengan ujung mataku. Benar juga ternyata kalau sedang usil, hidungku kembang kempis. Hrr, aku tak suka jika orang lain lebih paham tentangku daripada diriku sendiri. Kyrie masih berisik memohon aku agar mengembalikan cemilannya. Mataku bangkit dan menatapnya tajam. Hidungku sengaja kukembang-kempiskan lebih kuat.

Yyuuummmm! kulahap tahu mayonya dan ia sekuat tenaga mencoba menggigit lenganku.

/

‘Ren(t)jana Kyrie’ ditulis oleh Mohammad Andi Perdana untuk The Moderntramp pada Januari 2014. Merupakan bagian entah ke berapa dari cerita panjang yang berjudul sementara ‘Suar Sekar’. Sebuah fiksi

Tuesday, 13 May 2014

TRA-TRA-TRAILERS

1
Dua minggu terakhir banyak banget ya trailer serial-serial keluar (tjrot!). Ada ‘Gotham’, 'Constantine', ‘Wayward Pines’, ‘Last Man on Earth’, ‘Gracepoint’, ‘A to Z’, sampai ‘Utopia’. Di Gotham, seru banget liat Benjamin McKenzie alias Ryan Tokwood dari The OC tampil lagi di serial yang punya kelas. Di sini, ia berperan sebagai James Gordon brondong, sebagai tokoh utama, menceritakan asal-muasal Gotham sebagai kota kriminal tempat kelahiran Batman. Dari dunia komik ada trailer lain dari 'Constantine', cuma untuk sekarang saya masih belum tertarik.

Wayward Pines’ muncul dengan trailer yang memamerkan trofi aktor-aktor dan artisnya, ada Matt Dillon, Mellisa Leo, dan Terrence Howard, semua pernah jadi nominasi Oscar. Semoga serial yang diproduseri oleh M. Night Shyamalan (duh!) ini punya greget lebih tinggi ketimbang serial sejenis macam ‘Under The Dome, ‘Resurrection’, atau juga mungkin ‘Helix’. Orang-orang sih berharapnya ini bakal jadi ‘Twin Peaks’, saya belum nonton euy.

Last Man on Earth’ juga kayaknya seru. Butuh upaya teknis lumayan lho untuk menghilangkan jutaan orang dalam trailernya yang mencakup sejumlah landmark terkenal di dunia, tanpa manusia. Kecuali Will Forte, satu-satunya tokoh dalam serial ini. Di ‘A to Z’, The Mother hidup lagi menjadi Zelda, menjalin romansa dengan karakter bernama Andrew. Trailer serial yang dibikin oleh Rashida Jones (ex Parks and Recreation) ini banyak banget memanfaatkan momen kemunculan efektif Cristin Milloti di ‘How I Met Your Mother’ lewat-lewat dialog dan skena yang antara lain misal, “Zelda, have you met Andrew?” atau ketika mereka berdua ngobrol di bar dan bercerita bagaimana bila kelak menikah mereka akan menceritakan kisahnya pada anak-anak mereka.

Yang seru adalah, ‘Gracepoint’, versi Amrik untuk salah satu serial favorit saya (dan nggak banyak yang nonton tapi, sedih) ‘Broadchurch’. Dari trailernya ini bener-bener plek-plek ambil banyak referensi dari ‘Broadchurch’. Dari mula nada warna, latar, adegan, sampai tokoh utama. Saya suka bayangkan lucu saja gimana rasanya David Tennat kembali harus memerankan karakternya di dua serial berbeda dengan cerita yang plek-plek sama. Ohya, ada Anna Gun (Skylar di ‘Breaking Bad’) di sini, yakin banget saya ia bisa menyamai akting brilian Olivian Colman di ‘Broadchurch’. Tapi sisanya masih perlu disimak nanti di pilotnya.

Terakhir, ‘Uuuuuuutopia’, serial favorit saya lainnya, mau dibuat ulang oleh David Fincher dan Gillian Flynn (my current crush, aak, < 3). Bingung juga kok udah ada lagi trailernya, hhh~, hh~, h~ tak sabar lihat versi Fincher untuk ‘Utopia’ (meski pernah kecewa gara-gara bikin jelek Rooney Mara di ‘Girl with Dragon Tatoo’, phbt!). Pas disimak trailernya, eh, lho kok, ...ternyata ada ‘Utopia’ lain, fak lah. Makanya aneh banget kok ‘Utopia’ tapi kok kayak ‘Siberia’, faklah, faklah, fak, fak.

Dua serial terakhir, ada baiknya ditonton dulu sebelum versi Amriknya keluar, nggak bakal nyesel dijamin deh. Sisanya, ya disimak aja dulu trailernya dan tunggu kapan tanggal serial-serial itu dirilis secara resmi.

/

Ditulis oleh Btok untuk The Moderntramp di Jakarta, 12 Mei 2014

Thursday, 10 April 2014

SILICON VALLEY - MIKE JUDGE (2014)


1
Pada 1987 (tahun ketika saya lahir, bro), Mike Judge sudah lulus SMA dan mulai bekerja selama tiga bulan di lembah terbesar korporasi teknologi mutakhir, yang kini dikenal dengan Silicon Valley. Hanya tiga bulan, ia sudah tak kerasan. “The people I met were like Stepford Wives. They were true believers in something, and I don't know what it was,” ujarnya.
26 tahun berselang, Mike memetakan kembali kultus itu dalam ‘Silicon Valley’, sebuah sitkom satir terbaru garapannya untuk HBO. Richard Hendrix (Thomas Middleditch) adalah programer yang bekerja di sebuah perusahaan multi-teknologi, Hooli, sekaligus sibuk menggarap  aplikasi Pied Piper, yang ia klaim bak Google untuk blantika musik. Richard tak puas hidup sebagai kuli binary, ia masih ingin mengejar mimpinya sebagai techpreneur muda yang punya nama. Ibarat Steve, ia ingin menjadi Wozniak, ketimbang Jobs, Steve yang dinilainya lebih punya esensi ketimbang piawai bersosialisasi. Sebab menurutnya, golongan kedua, adalah poser, dan Silicon Valley kini penuh dengan orang-orang macam itu. Ia muak dengan tren yang berkembang di sana, rapat marketing di atas sepeda pawai, rutinitas brogrammer (programer yang doyan ngegym) atau ritual aneh lainnya yang tak bisa Richard cerna dengan logikanya. Mike Judge, melalui Richard dan Pied Pipernya, mengajak kita untuk menertawakan hal tersebut.
Pied Piper, rupanya punya alogaritma bagus yang memaksimalkan sistem kompresi dalam pengunggahan file ke dunia maya (impresi yang setara dengan apa yang disajikan David Fincher di ‘The Social Network’). Entah apa resepnya, yang pasti, proyek sampingan pekerja Hooli itu jadi rebutan dua tech-bilyuner, Peter Gregory (Christoper Evan Welch, meninggal akhir tahun lalu, gimana dong, :s) dan bosnya sendiri Gavin Belson (Matt Ross). Embrio proyek itu ditaksir bernilai hingga US$ 4 juta dolar, dan kedua horangkayah itu menawar dengan cara yang berbeda. Gavin ingin membelinya tunai, dan Peter hanya ingin berinvestasi di sana.
You can take that money, or keep the company!” Selesai sudah ‘Silicon Valley’ bila Richard memilih opsi yang pertama. Ia akan berakhir seperti Erlich (TJ Miller) yang pernah menyesal menjual mentah-mentah proyek Aviator dan kini hidup ‘luntang-lantung’ di SIlicon Valley, ‘hanya punya’ sebuah rumah ‘agak’ mewah dan mempekerjakan empat orang (salah satunya Richard) programmer/web developer di tempat yang ia sebut sebagai ‘inkubator’.
Dan akhirnya Richard tak memilih jadi budak. Alasan utamanya, jelas ia ingin melihat Pied Piper berkembang dan ia menjadi kepala keluarga dari ‘bayi’ yang dilahirkannya itu. Alasan lain, ia ingin membuat revolusi kecil-kecilan, bahwa Silicon Valley bukanlah Stepford, yang serba mewah, namun ada yang tak genah dalam tiap tingkahnya. Ia ingin membuat populasi kecil di Silicon Valley, yang lebih humanis, bukan robot-robot bertopeng tulang dan kulit yang tak jelas apa yang mereka cari dalam hidup.
Sebab tujuan Richard jelas. Ia ingin sukses, mungkin jadi kaya, mungkin jadi tenar. Tapi ia ingin tetap hidup sukses secara normal. Tak perlu lagi ada rutinitas nge-gym seperti yang dilakukan para brogrammer di kantornya, atau ritual-ritual aneh yang diwajibkan oleh kantornya yang bak menjadi sebuah kultus, tak ada lagi generalisasi grup para programer (seorang Asia Tengah, seorang Asia Timur, seorang pria gendut berambut kucir, dan seorang lain dengan bentuk janggut yang aneh). Ia ingin sukses, dan tetap jadi manusia.
2.
Selain Richard dkk, sebetulnya ada ‘manusia’ lain yang tampil singkat di detik-detik pertama pilot ‘Silicon Valley’ - ‘Minimum Viable Products’. Ia adalah Kid Rock (haha!), yang diundang untuk manggung dalam syukuran Goolybib. “He’s the poorest person here,” ujar Elrich pada Richard di pesta yang dihadiri orang-orang dengan kekayaan hampir US$ 20 juta itu. Dan tak ada yang memperhatikannya, selagi orang-orang kaya itu sibuk memikirkan kultus dalam teknologi masa depan di sebuah pesta. “Fuck these people!” ujar Kid Rock seusai menyanyikan ‘Cucci Galore’.
Tak perlu mengerti dunia pemograman untuk bertanya, “Ini orang-orang kenapa sih?” Karena mereka bisa ditemukan di mana saja. Sebuah dunia yang tampak sederhana, tapi selalu punya geliat mahal dan istimewa. Bila tiap lingkungan punya kelasnya sendiri, ‘Silicon Valley’ akan menyibir tentang tech-elite dan kelas menengah ngehe di sana. Banyak aturan yang tak bisa kita pahami logikanya. Sebuah dunia yang aneh bentuk habluminannasnya.
Mike Judge (kreator Beavis and Butthead) menampilkan pesona unik itu secara satirikal dalam ‘Silicon Valley’. Karena sama-sama diproduksi HBO, dan tiap musimnya hanya diisi delapan episode, skema ini mengingatkan saya akan ‘Hello Ladies’. Hanya saja di kisah satir lain itu, karakter utama Stuart Pritchard ada di pihak yang terbawa arus. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Richard punya mimpi, hanya menjunjung langit dari bumi yang dipilihnya untuk berpijak. Lebih jauh, lewat karakternya, kreator Mike Judge ingin memberi batas pada para tech elite di Silicon Valley, bahwa semakin tinggi mereka ingin terbang, semakin keras kita ingin tertawa.
Karena ‘Silicon Valley’ hadir dengan cara seringan itu (ya, namanya juga komedi satir, bro). Saya pernah baca lupa di mana, beberapa tech-elite, kini memang dikultuskan oleh banyak bawahannya dan partnernya yang demen menjilat. Hal tersebut dihadirkan dan mudah dicerna di pilot serial ini (dan membuat kita geleng-geleng karena tetap tak paham dengan yang mereka lakukan). Misal ketika Richard pertama kali dipanggil big bossnya yang agendanya super-sibuk. “Hardly to describe, he's not humiliating, he's elevating you,” ujar salah satu bawahannya yang hanya pernah bertemu bosnya itu selama 10 menit. Nyatanya, sang bos malah sedang sibuk memperhatikan pola grup bawahannya, mengapa selalu terdiri dari orang Asia Tengah, pria gendut berambut poni, dan pria lain dengan mode janggut yang aneh. Dan penasihat spiritualnya malah berkata, “You have great understanding in humanity.” WTF.
Yang seperti ini nih, yang menjadi akar kuluts dari banyak perusahaan teknologi mutakhir di ‘Silicon Valley’, dan membuatnya lambat laun jadi seperti Stepford tanpa harus menghadirkan gadis-gadis berkaki jenjang. Para programer berbakat ini cukup beruntung, bekerja di perusahaan besar dengan gaji dan fasilitas nyaman. Tapi banyak yang takut untuk berpikir seperti Richard, “I don’t wanna be a lifer here (at Hooli).” Karena jelas, Richard tak mau jadi bagian kultus tersebut.
3.
Semua karakter di inkubator milik Erlich, termasuk ia sendiri, punya potensi jadi geng baru yang siap diperbincangkan selama delapan pekan ke depan. Karakter Elrich, memang paling ngehe sih. Misal, kengototannya untuk mendapat 10 persen bagian dari penjualan Pied Piper, yang sebelumnya ia anggap sampah. Highlight lain, ada Martin Starr (Bill Haverchuck di ‘Freaks and Geeks’) di sini sebagai karakter satanis, “Hail to The Dark Lord!” yang punya tato salib terbalik di lengannya. Senang rasanya melihat satu per satu alumnus Freaks and Geeks dapat porsi lagi di kancah pertelevisian Amerika yang kini jaya lagi. Karakter Big Head juga mengundang simpatim, justru karena kerendah diriannya, juga tentunya aplikasi Nipple Alert yang sedang digarapnya.
Salut juga untuk Kid Rock, yang mau-maunya dibayar untuk jadi orang paling miskin di Silicon Valley. Manggung setengah lagu, tapi siapa yang mau peduli. Sudah kurang apa lagi, itu hanya lima menit di episode perdana, dan saya sudah cekikikan. Di tengah episode, malah muncul Andy Dale (yang belakangan saya simak di ‘Review’, Comedy Central), jadi dokter yang menangani Richard pas kena panik akut. Muncul sebentar, tapi bikin ketawa KO karena sudah hampir jadi penasihat terburuk dalam karir Richard.
Karakter Richard sendiri diperankan Thomas Middleditch secara apik. Takaran kerendah-diriannya pas untuk kita sebut sebagai geek yang bermartabat. Gaya kikuknya pun juga membuatnya mudah disukai. Kadang saya melihat ada karisma Seth Cohen (The OC) dalam perannya.
Semoga di tujuh episode sisa, penampilannya prima dan banyak cameo lain yang tetap membumikan serial ini. ‘Silicon Valley’ membutuhkan itu karena topik yang diangkat, sangat tersegmentasi, tak semua mudah dimengerti. ‘Silicon Valley’ perlu dibuat tetap waras dan wajar, karena ironis nanti, jika komedi satir ini malah menjadi ‘cult’ untuk para programer sakit hati yang seolah ingin berteriak, “Occupy, Silicon Valley!”
/
‘Silicon Valley’, HBO, 30 minutes (8 episode, per April 6th, 2014). Created by: Mike Judge. Starring: Thomas Middleditch, TJ Milller, Josh Brener, Martin Starr, Kumail Nanjiani. IMDb Ratings: 8,5/10 from 920 users. The Moderntramp Rating: 8,4/10, X).

Sunday, 6 April 2014

MINIMLOG - 2048 (#001)

1
(GAME) – ‘2048’. Baru donlot kemarin. Mainnya simpel, cuma memamahbiakkan angka 2 dan 4, jadi kelipatannya yang lebih tinggi di kolom seluas 4x4. Tiap angka yang sama bertemu, angkanya akan berlipat, dan tiap jurus yang kita ambil, berkonsekuensi dengan munculnya angka bontot baru. Mainnya sesederhana itu saja kok beneran. Anehnya, meski tampak begitu mudah, dan awalnya tak terlalu menarik, ta, ta, tapikok, ternyata seru juga. Adiktif malah. Sejauh ini raihan skor saya baru 20.400 (target saya sejauh yang kebayang saat ini: 25.000), jadi, silakan unduh/mainkan dan menyalip (kalau bisa, hihi).

Ohya, saya juga sudah membuat game 2048 versi saya sendiri, edisi 'Emma Watson'. Seperti game girl zaman dulu, saya ganti angka-angka 2,4,8,...,2048 dengan foto Emma Watson. Makin besar angkanya, makin syur gambarnya, haha. Silakan mencoba, semoga beruntung sampai kawin ke angka 2048, foto Emma Watson terseksi yang belum pernah kamu lihat sebelumnya, haha. (82/100) - BTOK

Saturday, 5 April 2014

HOW I MET YOUR MOTHER - SERIES FINALE (2014)

1
Tadinya mau bikin rekap dua drama komedi terbaru favorit saya di 2014, ‘Brooklyn Nine-Nine’ dan ‘Broad City’. Keduanya tampil spektakuler di musim perdana, dan berakhir dengan episode final yang ah, entah apa istilahnya, membuat hati nyaman meski harus menyimpan rindu (tsaeilah) hingga nanti musim kedua.
Tapi tiba-tiba, serial gacoan sejak sembilan tahun lalu, yang pada musim terakhirnya ini begitu sangat amat banget-banget membosankan, muncul dengan series finale yang sangat mengejutkan. ‘How I Met Your Mother’ akhirnya beres, tapi pembicaraan tentangnya tak berakhir hari itu. (<<<SPOILER ALERT MULAI DARI SINI>>>)
Bagaimana bisa mulut kita tetap tertutup dan pikiran kita tak berkecamuk, bila akhirnya ‘The Mother’ dibuat modar, tiwas, wafat walafiat, meninggal dunia. Rasanya, kreator Carter Bays dan Craig Thomas sempat bertemu George R.R Martin untuk memutuskan bagaimana serial ini harus diakhiri. Menurut teori sejumlah fans serial ini di Reddit, ‘The Mother’ tiwas karena kanker serviks. Yak, payung kuning itu—ah sial seharusnya saya menyadari dari dulu—adalah lambang penyakit kanker di leher rahim itu.
Sembilan tahun kita digoda untuk mengikuti perjalanan Ted menemukan wanita yang menjadi ibu dari kedua anak-anaknya. Kita dibuat percaya seolah tujuan dari perjalanan sembilan musim ini adalah tentang menemukan sang mama. Siapa nyana, pada akhirnya Ted kembali ke bawah balkon Robin Scherbatsky untuk mengantar terompet biru yang dulu sempat dipersembahkannya dalam kencan pertama. Sembilan tahun pula kita tertipu bahwa serial ini akan berakhir bahagia, Ted akhirnya bertemu dan membina keluarga berencana (ya, dua anak cukup) bersama sang karakter titular, ‘The Mother’, namun mengutip Meggy Z, “Sungguh teganya, teganya, teganya, teganya, teganya,” kreator mengguratkan nasib buruk karakter yang diperankan oleh Cristin Milioti itu (konon dari awal, Josh Radnor sudah tahu akhirnya memang demikian). Nasib buruk untuk mereka yang merasa kecele hampir satu dekade.
Meski berakhir tak bahagia untuk tim Ted-‘The Mother’, saya tak mau buru-buru menyimpulkan series finale ‘HIMYM’ sebagai simpulan yang mengecewakan. Akhir yang mengejutkan ini justru membuat rom-com ini naik kelas. Salah satu indikatornya, hampir sepekan usai penayangan finale, orang-orang masih membicarakan (dan berdebat) tentang hal ini. Beberapa yang kreatif bahkan mengedit video bagaimana seharusnya serial ini berakhir. (UPDATE: dalam rilis DVD-nya kelak, kreator sudah menyiapkan official alternate ending untuk ‘HIMYM’).
Indikator lain, ‘HIMYM’ berhasil keluar dari pakem ‘akhir yang adil’, ‘bahagia selamanya’, ‘terlalu gula-gula’ yang biasa kita temui di akhir serial atau film drama ala Hollywood. Kreator dan penulis naskahnya berani untuk dihujat, ditempatkan antara perdebatan sengit, namun juga dipuji akan keberaniannya ‘membunuh’ The Mother. Tapi akhir kisah ini malah jadi taktik jitu menurut saya yang bisa membuat pemirsanya kembali menonton ‘HIMYM’ dari awal. Sekadar untuk menguji seberapa pantas takdir Ted bagi Robin, vice versa.
2
Jadi tak masalah bagi saya, bukan akhir dari kisah ‘HIMYM’ yang mengecewakan, melainkan dua puluh episode pertamanya di musim kesembilan yang terlalu bertele-tele. Itu yang membuat saya merasa cukup untuk menikmati empat dari 23 episode musim ini: pilot, dan tiga episode akhir. Kata seorang teman, “Tak apa, nggak ketinggalan apa-apa juga kok.”
Namun yang saya pun bingung hingga kini, entah ini mengecewakan atau tidak, adalah keputusan para penulis untuk membikin karakter ‘The Mother’ aka Tracy McConnell (jadi ingat ketika Ted bertemu seorang stripper bernama Tracy, anak-anaknya berteriak kaget! haha!) begitu mudah untuk dicintai dan terlalu sempurna untuk Ted (bahkan bila kita hanya melihat dari inisialnya saja. Adegan payung kuning di Farhampton lebih dari cukup untuk menjabarkan kecocokan mereka).
Mengecewakan karena, karakter ‘The Mother’ dibuat begitu mudah mendapat tempat di hati pemirsa ‘HIMYM’ (bahkan Josh Radnor di musim kesembilan bertanya kembali pada kreator, “Apa benar akhirnya harus seperti ini?”), bahkan mungkin bagi yang bertindak sebagai germo cinta paling sok betul untuk Ted, akan jatuh cinta. Sang arsitek ini selama sembilan tahun rajin gonta-ganti pasangan, namun tak ada satupun yang cocok dijadikan pendamping hidup. Dan ketika di akhir musim ke delapan, sosok Cristin Milioti muncul sebagai ‘The Mother’, fans langsung reaktif. Ada yang tak puas, membandingkan dengan pasangan-pasangan Ted terdahulu, bersumpah tak akan melanjutkan nonton finale seasonnya, dan bla-bla-bla. Tapi tak sedikit juga yang langsung jatuh hati (termasuk saya), apalagi ketika ia menampilkan gigi gingsulnya yang memikat ketika memesan tiket ke Farhampton, sambil menenteng bass.
Belakangan (seperti yang sudah saya prediksi), penolakan fans terhadap sosok ‘The Mother’ mencair, beberapa bahkan menilai sosok ini jauh lebih tepat untuk Ted, dibanding Robin yang makin sini makin oportumis dan ambisius. Seperti Ted, saya hanya butuh satu hujan di sebuah stasiun kereta untuk mencintai karakternya. Dan ketika adegan itu muncul di episode akhir, beberapa menit kemudian, *BAM*, kita harus menerima kenyataan bahwa akhir dari musim panjang ‘HIMYM’ terjawab. Jangan menilai sebuah serial dari judulnya, ini pelajaran yang amat penting paska-‘HIMYM’.
Ted sudah bertemu ‘The Mother’, lalu penasaran apa lagi yang kita simpan dalam hati? Semua pertanyaan tentang ‘bagaimana’ dalam judul serial ini sudah terjawab. Namun durasi masih tersisa kira-kira sepuluh menit. Dari sana, kita tahu jika pada menit-menit krusial ‘HIMYM’, judul dengan sendirinya berubah menjadi ‘How I Moved On From Your Mother’.
Dan kembali ke kebingungan saya di atas, pengenalan sosok ‘The Mother’ yang terlalu mudah dicintai ini sebagai bentuk kekecewaan atau tidak? Ya, di satu sisi kecewa mungkin karena tak rela saja, ia harus muncul satu per sembilan bagian umur serial ini, dan ia muncul justru saat umur serial ini sudah tak lagi prima. Ia harusnya punya porsi lebih di antara geng MacLaren’s Pub. Ia lebih dari sekedar unsur dramatis dalam rom-com ini. Ia punya banyak punch line lucu yang harusnya bisa dieksplorasi dalam beberapa episode khusus. Oh ya, dan saya ingin tahu juga hubungannya dengan Rachel Bilson yang pernah jadi teman sekamarnya.
Di sisi lain, dengan ending seperti yang telah ditasbihkan, harusnya saya tak kecewa, karena bila karakter ini dibuat tak sempurna, kita semua tak akan banyak omong bila karakter ‘The Mother’ tiwas. Ted pun bisa melenggang leluasa kembali pada Robin tanpa perlu ada protes di sana-sini. Tapi akibatnya, serial ini akan berakhir seperti 20 episode sebelumnya yang menyebalkan, karena memang tak menarik, dan tak ada yang bisa diperdebatkan lagi. Justru kita bakal ngomel bila karakter ‘The Mother’ tak sempurna, tapi diberi akhir bahagia untuk keduanya.
3
Satu hal yang menarik dari ‘HIMYM’ adalah penyimbolan karakter dalam berbagai bentuk benda dengan warna yang mencolok. Dua kupu-kupu di perut Ted, disimbolkan sebagai ‘payung kuning’ (The Mother) dan terompet biru (Robin Schrebatszky). Dan kalau ingat pun, Ted pun mengidentifikasikan dirinya dengan sepasang boots merah kesayangannya. Haha, intermezzo saja.
Tapi dua simbol di atas sebenarnya sudah memberi petunjuk tentang apa yang tergambar dalam hubungan ketiganya. “With Robin, Ted had to make it rain, while with the mother it was always raining,” begitulah bunyi satu dari sekian banyak komentar di Reddit yang saya setujui. Dan Ted, seperti kita tahu adalah orang yang gemar membuat orang lain bahagia, dengan segala cara. Dengan Tracy, Ted tahu ia tak perlu banyak berupaya, hidupnya sudah bahagia dan seperti seorang petani padi, apa lagi yang perlu ia kejar bila hujan seolah turun setiap saat.
Namun hal seperti itu justru yang membuat Ted bisa ‘melupakan’ kepergian Tracy. Bahwa setidaknya ia tak perlu penasaran lagi, ia sudah melakukan yang terbaik hingga akhir hayat Tracy. Namun selepas enam tahun, ia rindu menghadirkan hujan kembali bagi seseorang yang pernah ada di hatinya. Dan Robin, kini hidup sendiri usai perceraiannya dengan Barney (perkawinan singkat, pertengkaran yang mengecewakan, karena rasanya tak perlu Barney selalu mengikuti kemana pun Robin bekerja)—mungkin selalu menunggu, Ted.
Dan perlu diingat, payung kuning yang pernah berpindah tangan dari Tracy ke Ted, akhirnya tertinggal begitu saja di apartemen karakter Rachel Bilson, lupa nama karakternya. Tapi terompet biru itu, sekian puluh tahun lamanya selalu Ted simpan. Benda ikonik yang menandai sembilan tahun perjalanan serial ini, atau mungkin bisa disebut, perjalanan Ted bersama Robin.
Dan pada akhirnya, ini memang tentang mereka berdua. Mungkin seharusnya begitu, karena memang selama ini, ‘How I Met Your Mother’ selalu memusat tentang Ted, baik itu tentang hubungannya dengan belasan cabe-cabeannya pra-‘The Mother’, dengan dua karibnya Barney dan Marshall, dengan Lily, dengan Tracy, dengan kedua anaknya, dan terutama, dengan Robin sebagai katarsis dari setiap perjalanan hidup Ted.
Jadi selama ini menjadi akhir bahagia untuk Ted, tak ada yang harus merasa terlalu kecewa dengan series finale yang ditayangkan selama hampir 60 menit, pekan lalu itu. Ya, karena memang semua selama ini hanya tentang, “Bagaimana Ted Menemukan Kebahagiannya?”
2014