1.
“Drupadi ingin terbang sendiri. Jangan jadi sangkar, jadilah langit yang lebar.
Jangan jadi sayap, jadilah angin yang senyap,” kata Mas Hujan.
Semalam ia mendalang. Kisahnya, ‘Drupadi Kebelet Boker’.
Suatu hari ceritanya di Hastinapura, Yudhistira merasakan ada sesuatu yang aneh
dalam diri istrinya. “Apa gerangan yang kau rasakan, Dinda?” Drupadi
menggeleng, matanya sayu. Yudhistira mengulang pertanyaannya.
“Tak apa-apa Kanda, aku hanya kebelet
boker,” ujar Drupadi. Kalau begitu, kata Yudhistira, “Bokerlah!” Drupadi
kembali menggeleng, “Aku ingin buang air di angkasa, seperti burung yang luas
kamar kecilnya.”
“Tapi Adinda bukan burung,” ujar
Yudhistira heran dengan permintaan sang istri. “Tapi aku merasa dalam sangkar,”
ujarnya membalas. Yang tak pernah Yudhistira dan adik-adiknya tahu, semenjak mereka
miliki, Drupadi merasa terpenjara.
“Kalau begitu pergilah, ambil kembali
kebebasanmu,” ujar Yudhistira setengah rela, bersedih seperti rasanya kalah
berjudi dadu. “Tapi aku bukan burung, Kanda.” Drupadi kembali bersedih, agar
tak menjadi beban, berhari-hari ia memilih menjaga jarak dengan suaminya.
Kepada dewa-dewa Yudhistira
berkonsultasi. Mereka berjanji memberi Drupadi sepasang sayap. Dengan syarat,
Yudhistira harus membelah dirinya menjadi dua dengan tombak Kalimahusada. “Selalu
ada pengorbanan dalam tiap pembebasan,” itu kalimat terakhir sebelum Yudhistira
bertemu ajal.
Yudhistira mati dan sirna, tubuhnya
terbelah dua menjelma dalam bentuk lain. Separuh tubuhnya ke atas menjadi angin.
Separuh tubuhnya ke bawah menjadi langit. Di saat yang bersamaan, dua pucuk
sayap tumbuh dari pundak Drupadi. Angin mengepakkan sayapnya, langit rela
dipijakknya. Yudhistira tak lagi memiliki, tapi dimiliki Durpadi.
Drupadi hendak pamit pada Yudhistira,
tapi ia sudah tak di ‘sana’. Drupadi yang sudah bebas, tak lagi menunggu. Ia
melesat bebas, terbang tanpa arah. Ia melihat lansekap alam dari ketinggian,
melihat betapa sepinya puncak dunia, melihat matahari yang tak pernah terbenam,
dan menggapai bulan. Drupadi meraih kebebasannya.
Satu hal yang belum dilakukannya justru
buang air di angkasa. Berjam-jam ia terbang konstan dalam posisi jongkok di
langit. Raut muka senangnya tiba-tiba hilang, “Aku tak lagi kebelet boker.”
Padahal kepada suaminya ia berkata itu obsesinya.
Dengan sepasang sayap, Drupadi telah
mendapat jauh yang lebih menyenangkan daripada itu. Tapi ia suatu saat
menyadari, percuma bebas jika tak punya tujuan.
“A-a-aku ingin boker :(,” ujarnya
menangis di langit dan seketika hujan jatuh ke bumi. Yudhistira tersenyum saja
di balik awan. Tangannya menjelma angin yang mengusap air mata kemudian mendekapnya.
- - -
Ditulis oleh Btok berdasarkan naskah 'wayangaco' Mas Hujan di Radio Dalam, Jakarta Selatan (12/2).
No comments:
Post a Comment