Tuesday, 26 March 2013

SILVER LININGS PLAYBOOK



1.
'Badai Pasti Berlalu', itu mungkin jadi padanan yang pas terhadap istilah 'silver lining'. Sementara itu 'playbook', dikenal dalam istilah American Football semacam buku strategi yang tebal dan rumitnya minta ampun.
Kata itu menjadi istilah umum, yang artinya kurang lebih seperti tutorial panjang lebar. Barney Stinson dalam serial 'How I Met Your Mother' misalnya, punya buku The Playbook: Suit Up, Score Chicks, Be Awesome, kurang lebih berisi tata cara yang baik dan benar untuk menjadi playboy (Halah, playboy kok baik dan benar, :p).
Dalam film terbaru David O. Russell, 'Silver Linings Playbook' kita tidak diajak ke lapangan hijau. Melainkan ke lantai dansa yang mempertemukan Pat Solitano (Bradley Cooper) dan Tiffany Maxwell (Jennifer Lawrence). Ini drama komedi tentang orang-orang gila.
Pat gila sejak lahir. Ia menderita bipolar disorder. Delapan bulan terakhir ia harus mendekam di panti rehabilitasi. Sebelumnya, ia menghajar habis pria yang menyelingkuhi istrinya. Di rumahnya sendiri. Di bathub tempat ia biasa mandi. Penyelewengan yang diiringi lagu 'My Cherie Amour' milik Stevie Wonder. Lagu pernikahan mereka.
Tiffany gila sejak suaminya meninggal. Ia depresi, karirnya hancur, kehidupan sosialnya lebur. Ia kini lebih dikenal sebagai janda muda, cantik, menggairahkan, yang haus seks.

2.
Keduanya bertemu kali pertama di rumah sahabat Pat, Ronnie dan Veronica Maxwell (John Ortiz dan Julia Stiles). Mereka memang berencana menjodohkan dua orang yang sarat masalah itu. Tapi manusia berencana, Tuhan tetap yang menentukan. Siapa sangka, delapan bulan sejak kejadian yang amat menyakitkan hatinya, Pat masih berupaya mendapatkan kembali sang istri, Nikki (Brea Bree).
"If you stay positive, you have a shot at a silver lining," ujar Pat. Dalam film ini, tipis bedanya definisi optimistik dan pathetic.
Namun inilah jalan awal bagi pemirsa untuk menikmati hubungan keduanya. Tiffany sudah putus urat malunya. Ia menganggap Pat yang tak kalah gila adalah jodoh baginya. Dua-duanya dalam kondisi saling ingin memperbaiki diri. Pertanyaannya, berapa lama keduanya bisa bertahan terjebak dalam hujan yang tak kunjung reda?
Maka Tuhan pun merentangkan tali silaturahmi melalui dansa dan American Football. Pat punya ketergantungan yang unik pada Tiffany. Ia satu-satunya wanita yang sudi membantu kirimkan surat pada istrinya. Ia tak bisa mengirim sendiri karena dilarang mendekati sang istri oleh pengadilan. Syarat yang diberi Tiffany susah-susah mudah, Pat harus menemaninya dalam komptenesi dansa.
Pat setuju, namun belum usai meniti langkah, datang lain masalah yang lebih maskulin. Tiba dari orang-orang terdekat Pat, keluarga yang amat fanatik tim Philadelphia Eagles. Terutama bapaknya, terlebih karena ia gemar bertaruh, dan menganggap Pat sebagai lucky charm.

3.
Sejak 'The Fighter' saya merasa Russell punya ciri khas piawai mengelola drama. Dalam 'Silver Linings Playbook', intensitas gairah konfliknya ditata dalam dosis yang teratur. Dari mulai dialog-dialog sensitif antar kedua tokoh utamanya, syarat pamrih dansa, hingga keluarga Pat yang posesif.
Jejak 'The Fighter' dalam film terbarunya ini kentara. Situasi yang kompetitif dicampur dengan bumbu dialog yang cerkas dan jujur. Russell pun punya banyak cara untuk mengelabui penonton yang sok tahu menerka akhir filmnya. Satu lagi, ia begitu paham bahwa Amerika (juga dunia yang mengiblatinya) sedang candu pada masalah keluarga.
Film ini menemukan dua karakter 'gila'. Pat yang bipolar sejak lahir dan Tiffany yang karena gila, jadi liar. Karena dua gila tak bisa menghasilkan satu normal, maka hadirlah kegilaan yang riang, emosional, namun juga dramatis.
Bradley Cooper memerankan Pat secara mengejutkan. Ia keluar dari stereotip perannya yang kadung terkenal lewat calon trilogi 'The Hangover'. Jennifer Lawrence? Ah dia mah selalu memberi yang terbaik sejak Winter's Bone. (dengan catatan, saya belum nonton The Burning Plain, hiks).
Akting mereka berkawin di film ini (kabarnya hubungan ini berlanjut dari satu festival ke festival lain). Jika nanti Oscar jatuh ke genggaman Jennifer, ia berutang satu ciuman panjang pada Bradley yang membantunya menghayati perannya dalam film sarat prestasi itu. “Saya tak bisa membayangkan orang lain memerankan Tiffany,” ujar Bradley menyanjung.
Saya setuju pada penilaian Peter Travers dari Rolling Stone ini terhadap peran yang dimainkan Jennifer, "She's rude, dirty, funny, foulmouthed, sloppy, sexy, vibrant and vulnerable, sometimes all in the same scene, even in the same breath." Itu pencapaian gila, dari aktris yang berperan sebagai orang setengah gila.
Di pilar pendukung, dua tokoh membuat film ini terasa lebih baik. Keduanya adalah Patrizio Solitano, diperankan oleh Robert de Niro, dan Danny, sahabat Pat di rehab, ditokohkan oleh Chris Tucker. Keduanya mencampur-adukkan definisi 'keluarga' dan 'teman' jadi istilah yang sama. Mereka tak bisa ditentangkan, karena kamu membutuhkan keduanya untuk melengkapi hidup.
Love interest, keluarga, teman jadi unsur yang membikin konflik dalam upaya Pat menggapai kembali cinta istrinya. Pertanyaannya, apakah Pat bisa melalui konflik-konflik itu, atau justru hidup bersama konflik-konflik tersebut?



4.
Dan akhirnya, dari film ini saya belajar pada kata-kata seperti yang sudah dikutipkan di atas. Selalu ada 'silver lining' dalam setiap masalah, dan kita hanya perlu terus mencoba berpikir positif. Tapi sayangnya, Tuhan tak selalu menjanjikan Jennifer Lawrence turun dari balik awan untuk memecahkan masalah bersama. Hehe.
- - -
Silver Lining Playbook (2012). Directed by David O. Russell. Starring: Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert de Niro, and Chris Tucker. The Weinstein Company, Mirage Enterprises. (122 minutes) Rating: 4/5, Lejatt!

Monday, 25 March 2013

BERTUALANG



1.
Salah satu momen paling menyenangkan dalam film pertama 'The Hobbit' ketika Bilbo Baggins berlari tergesa meninggalkan Shire. Ia menyusul rombongan dwarves plus Gandalf bertualang, dengan misi yang sama sekali tak menguntungkan dirinya. Memulangkan para manusia kerdil itu ke tanah airnya, Erebor.
Seorang tetangganya bertanya, mengapa ia berlari begitu terburu. "I'm going on an adventure!" ujarnya riang, meski tahu risiko perjalanan itu amat berbahaya.
Film itu (juga pendahulunya, trilogi 'The Lord of The Rings') selalu bikin saya rindu bertualang. Tentu bukan petualangan seberat Frodo Baggins, yang diembani misi meleburkan the precious ring ke Gunung Mordor, atau seperti petualangan sepuhnya, Bilbo. Petualangan ringan saja, semata jalan-jalan. Meninggalkan rumah, shire, zona nyaman saya untuk sejenak.
Paling tidak, ada tiga petualangan ringan yang sempat saya ingat. Pertama, pergi ke Bali bersama seorang kawan naik sepeda motor bersayap sebelah. Kedua, melanjutkan perjalanan tersebut hingga ke Pulau Sumbawa, dua tahun kemudian. Ketiga, naik gunung kali pertama di Argopuro, Jawa Timur. Mengingatnya saja menyenangkan, apalagi jika punya waktu untuk melakukannya kembali.

Tak lupa gaya begitu menjejak di Tanah Dewata, 2008. Foto oleh: Anak Buah

Mengejar Matahari di Pucuk Sembalun, 2010. Foto oleh: Tripod.

Bersama anak asuh di Gunung Argopuro, 2011. Foto oleh: Kalau nggak Montir, Tukang Nasi Padang

Tapi petualangan tak selalu tentang apa yang bisa kita pilah untuk dilakukan. Karena hidup saja sudah merupakan sebuah petualangan. Setiap fase yang dilalui adalah bagian dari petualangan itu. Dan itu adalah petualangan yang tak bisa kita pilah untuk dijalani. Petualangan yang 'mgm', mau nggak mau harus dikelanai, xp.
Petualangan itu mencakup banyak hal. Bagi saya, ketika menangis saat lahir saja sudah bagian dari petualangan (makanya, kalau punya anak, tangisan pertamanya harus diabadikan, hehe). Kenakalan masa kecil dan remaja, dan kelak nanti di paruh baya, juga sebuah petualangan.
Kali pertama jatuh cinta, kali pertama punya pacar, itu adalah petualangan merah jambu yang memesona. Masa-masa kuliah yang bikin betah, sampai mau lulus saja harus menunggu sampai enam tahun, itu fase petualangan hidup yang amat berat. Lulus sedih, tapi tak lulus pastinya jauh lebih sedih.
Dan terakhir (saya alami), meninggalkan rumah untuk bekerja di luar kota. Meski untung tak terlalu jauh dari rumah, tapi tetap rasanya be-uuu-rat. Tapi itulah petualangan hidup, yang mau nggak mau harus dijalani, karena waktu selalu memaksa kita menjadi lebih tua, menyeret kita dalam petualangan demi petualangan yang tak bisa kita hindari. Beruntunglah bila punya banyak teman sebaya, jadi kamu tak perlu menjalaninya sendiri.
Terakhir, tahukah apa yang paling menyenangkan dari sebuah petualangan? Ya, ...pulang. Mungkin sekadar untuk merebahkan badan, bersyukur masih bisa kembali ke sana, plus menceritakan segala yang terjadi selama di perjalanan pada orang-orang yang kita rindukan.
Pulang tak hanya harus ke rumah. Ke keluarga, teman, dan kekasih juga bisa kita berpulang, meski mereka tak sedang berada di rumah. Dan saya merasa hidup saya lebih lengkap bila kelak jadi tujuan pulang bagi orang lain. Di satu sisi saya siap bertualang, di sisi lain saya harus jadi 'rumah' yan kokoh. Karena cuma tempat aman dan nyaman, yang kelak dirindukan mereka untuk pulang, :).
- - -
Ditulis Btok di Bulungan, Jakarta Selatan (25/3) sambil berteriak a la Bilbo Baggins, "I'm going on an adventure!".
- - -

JATUH BIASA



1.
Terlalu jatuh cinta pada satu hal yang mati, akan membuatmu fanatik. Terlalu jatuh cinta pada satu hal yang hidup, akan membuatmu frik.
Maka, sering-seringlah jatuh cinta. Agar jatuh cinta itu bisa seperti apa yang pernah Efek Rumah Kaca utarakan, biasa saja. Agar kamu tak jadi fanatik dan frik.
Karena ya namanya juga jatuh. Dalam cinta kita tak selalu bisa mengharap bahagia, pasti juga ada sakitnya. Terlalu jatuh cinta, akan membuat sakitnya terasa luar biasa.
Jadi belajarlah untuk banyak-banyak suka, pada benda mati misal: lagu, klub bola, film, buku, dan lain-lain. Pada benda hidup misal: pekerjaan, lingkungan pertemanan, keluarga, gebetan, dan jika kamu beruntung, kekasih.
Kamu tak akan dan tak perlu jadi fanatik. Contoh misalnya, kamu jatuh cinta pada Manchester United, tapi di sisi lain, kamu menggemari Oasis. Hihi, seperti memelihara Romeo dan Juliet dalam dirimu sendiri. Fanatisme hanya memperparah konflik batin.
Kamu tak akan dan tak perlu jadi frik. Contoh misalnya, teman-teman selalu sulit diajak bertemu, selalu ada kekasih yang menunggu, atau kebahagiaan lain bisa dicari dari target kerja yang masih perlu diburu. Dengan sering-sering jatuh cinta, kamu tak hilang bahagia karena satu kecewa.
Seorang teman pernah bilang dan mendoakan, "Carilah banyak kebahagiaan." Itu jadi momen yang membuat saya berpikir bahwa mencari kebahagiaan lain, hanya menunda kebahagiaan yang kita dapat sebelumnya. Itu jadi semacam mantra, bagi saya yang sempat merasa, hilang satu bahagia, tak tahu lagi harus melakukan apa. Dan orang, bisa menjadi begitu menyebalkan ketika tak tahu apa lagi yang harus dilakukan.
Lagipula apa salahnya, banyak-banyak bahagia. Hanya saja tetap ada aturannya misal, kamu tak bisa menggemari United dan Liverpool dalam satu waktu, seperti kamu, tak bisa mencintai dua kekasih dalam watu waktu.
Itulah untungnya berteman, kamu bisa mencintai mereka sebanyak mungkin. Mereka itu seperti film, buku, dan lagu, yang tak pernah menuntut kamu untuk selalu suka. Mereka hanya menginspirasi, kita balas mengekspresi.
Pada akhirnya, kebahagiaan adalah sumber daya yang tak pernah ada habisnya. Dan jika kamu memang hanya bisa jatuh cinta pada satu hal, ...jatuh cintalah pada kebahagiaan.
- - -
Ditulis oleh Btok di Bulungan, Jakarta Selatan (25/3) sambil berpikir apakah kebahagiaan itu benda mati, atau benda hidup, xp.

Thursday, 21 March 2013

MIMPI


1.
Beberapa minggu terakhir, mimpi menjadi hal yang menyenangkan, tapi sekaligus bikin ngeri. Seolah apa yang terjadi di dalamnya begitu nyata. Senang memang bila indah mimpinya. Tak sedih juga bila mimpinya buruk, toh namanya juga cuma mimpi. Yang bikin ngeri, beberapa hal di yang terjadi di dalamnya, merefleksikan apa yang akan terjadi di dunia nyata.
Seperti misal, ini mimpi lama: kira-kira sebulan lalu, mendiang Uyut (ibunya nenek) datang dalam mimpi. Ia bertanya singkat saja, "Kapan jadinya atuh joget di tipi (televisi) teh?" Bangun pagi-paginya tiba-tiba Ibu di rumah kirim pesan singkat. "Jangan lupa berdoa buat Mak Uyut, hari ini tiga tahun meninggalnya." DEG!
Atau mimpi ini: kurang lebih tiga minggu lalu pas AC Milan menjamu Barcelona. Ingin sekali nonton, tapi ngantuk kadang tega, merampas banyak hal yang kita inginkan, *ihik*. Sampai akhirnya, kuat nggak kuat juga tau-tau tidur aja. Lalu mimpi, Barcelona kalah, 2-0, dalam mimpi saya nonton langsung di San Siro dan tiba-tiba lancar berbahasa Italia. Sedih karena Barcelona kalah, senang karena berasa jadi mafia. Tapi kan namanya juga cuma mimpi.
Bangun-bangun lesu, karena dimensi mendeportasikan saya kembali ke kamar kos sempit di Jakarta Selatan. Tapi masih punya harap, Barcelona bisa saja menang dalam partai semalam di dunia nyata. Setelah dicek, kaget cyin, Barcelona benar kalah 2-0. DEG!
Rangkaian mimpi berbuah nyata itu masih berlanjut hingga dua hari kemarin. Tiba-tiba saja dalam mimpi saya datang ke lahiran anak pertama seorang adik kelas di kampus. Lah, kenal dekat aja enggak padahal, sebatas tau. Heran saya juga kenapa bisa mimpi begitu. Eh taunya, bangun-bangun cek linimasa, kawan si teman yang saya mimpikan berkicau kurang lebih begini, "Selamat ya!" Dan pas saya cek, memang lahiran bocahnya. D'oh, tahu kawin dan hamil aja saya enggak, tau-tau lahiran. Kurang ajar emang kadang-kadang mimpi saya. DEG!
Itu adalah beberapa mimpi yang saya ingat, tiba-tiba jadi nyata. Beberapa lainnya dibiarkan mengendap dan otomatis lupa. Tapi ada beberapa yang saya ingat, tapi tak berharap jadi nyata. Dari sekian banyak, ini yang paling penting, tentang mimpi indah yang buruk (bukan oksimoron kalau kamu kenal orangnya, xp). Seorang kawan tiba-tiba menyiram air raksa pada gebetannya, adik kelas di bawah saya dua angkatan saat di kampus. Alasannya cuma karena sakit hati gara-gara sudah mempermainkannya, :)). Gara-gara orangnya masih waras (masih kan ya?), saya yakin itu bukan satu dari sekian banyak mimpi yang bakal jadi nyata. Nggak lucu juga punya teman yang jadi kriminil gara-gara cuma masalah hati, :)).
Tentang mimpi yang ingin jadi nyata ini pun ternyata dialami oleh seorang kawan. "Urang ngimpi, manggih (nemu) jodoh di nikahan maneh, nu nyanyina (wedding singer-nya)," ujar teman yang kadar gantengnya naik 14,7 persen setelah beli Vespa baru. Dia detilkan ciri-ciri wanita yang kelak jodohnya, saya bilang bisa jadi itu keponakan saya. Manis memang. Tapi manis bukan jadi kriteria utama wanita yang ia cari. Semakin dewasa, pikirannya jadi logis dan lebih bijak. Ia tak cari wanita yang cantik, manis, kaya, keren, wangi, tinggi, putih, atau seksi. Ia cuma cari wanita yang, ...MAU!!! :)).
Makanya, nggak aneh kalau akhir-akhir ini dia rajin sekali ngajak main ke Garut, kampung halaman saya, domisili sang ponakan. Ya, apa salahnya bantu teman untuk wujudkan mimpinya, nanti bisa diatur waktunya. Saya selalu menghargai usahanya untuk 'duduluran' dengan saya, :)). Meski masih tak habis pikir dengan pick-up line yang hendak diutarakan nanti bila bertemu sang ponakan, "Neng, Aa gaduh (punya) laptop, Neng!”
Yaudahlah ya. Tiap orang punya caranya sendiri untuk coba tampil memikat. Tapi hal lain, semua orang juga punya seragam cara untuk memaknai setiap bunga tidur indah yang mampir di lelah malamnya. Memang hanya ada satu cara, "Petik dan wujudkan!"
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (21/3) sambil membayangkan nanti malam mimpi apa lagi. DEG!
- - -

Wednesday, 20 March 2013

SSSST... ADA YANG GILA



1.
Tak ada hari yang lebih baik daripada hari ini. Bangun dengan kabar bahagia, lewat tautan yang dikirim seorang teman. Tentang Sore dan single barunya berjudul 'Sssst...'.
Anj*ng! emang. Baru saja kecele, sampai minggu lalu saya masih mengira band ini bubar. Gara-garanya, waktu mereka manggung di Kuningan, saya seolah dengar, "Ini panggung terakhir kami." Ternyata setelah dicek lagi, "Ini panggung terakhir kami dengan Mondo (Ramondo Gascaro, keyboard). Hehe.
Entah kali ya, dunia kerja udah bikin saya luput banyak hal penting yang saya suka. Bisa-bisanya menganggap demikian dan putus asa tanpa lebih lanjut memverifikasi. Atau mungkin dalam beberapa hal, saya tak pernah lagi berharap banyak. Album terakhir mereka dirilis hampir lima tahun lalu. Personil-personilnya sibuk dengan proyek sampingan, dari mengisi original soundtrack banyak film keren hingga Molly May yang tak kalah kerennya. Terlalu lama rasanya untuk tetap berharap.
Alih-alih saya pikir sempat tak apa kehilangan satu 'sore', tapi toh, lima elemen senjanya masih tetap saya nikmati karya-karya terbarunya. Hingga sadar suatu waktu, satu senja megah yang utuh, tak akan pernah bisa kamu nikmati terpisah.
Tentang Sore, saya sempat, masih dan akan terus selalu suka. Kalau tak salah, sampai tak pernah absen jika mereka manggung di Bandung. Tak ada lagi rasanya bagi saya, sebuah band yang lebih dari separuh lirik di seluruh albumnya hafal di luar kepala. Atau dalam skala 'lebih'nya, tak ada lagi rasanya, lagu-lagu yang ketika terdengar secara random di sebuah tempat, membuatmu bergeming, berhenti melakukan kegiatan apapun, kecuali Sore. Bagi saya, mendengar 'Sore', ibarat sebuah ibadah yang bisa dilakukan kapan saja.
Meski tak pernah bosan (ah, andai ibadah semudah ini). Ada kalanya, saya ingin mendengar lantunan ayat-ayat baru dari mereka. Jelas rindu, tapi di satu sisi juga penasaran, bagaimana musiknya kini setelah ditinggal Mondo. Dan seorang teman beberapa hari lalu mengirim tautan berita, kalau tak salah judulnya 'Sore Garap Album Baru'. Sekaligus memverifikasi bahwa keputusasaan saya salah.
Dan kini, 'Ssst...' mengiang di telinga. Saya tak terkejut dan mungkin tak ikut-ikut berkata 'Gila!'. Karena tiap mendengar pertama kali, musik mereka selalu tak pernah berhasrat memuaskan. Tapi mengajak berpikir, lewat lirik, nada, dan bagaimana mereka melantunkannya. Sore adalah sebuah band, yang membikin penggemarnya puas dengan pikiran mereka sendiri. Maka tak aneh, bila sekarang saya merasa baru bisa menikmati 'Setengah Lima', single pertama di album 'Ports of Lima'. Sekian lama..., entah saya sulit merasa puas, atau begitu lambat otak ini mencerna, xp.
Dalam 'Sssst...', jelas dahaga kampiun mulai tercicil. Ibarat sebuah oase di kemarau karya mereka selama lima tahun terakhir. Seolah saya bisa berkata, “Mata air sudekat!” ketika mendengarnya.
Tapi tanpa Mondo, jelas ada yang kurang. Entah apa istilah teknisnya, tapi saya tak lagi mendengar peluit sendu dari tuts-tuts piano di bawah jemari Mondo. Bukan berarti lagunya nggak bagus, tapi ya seperti ini misal: senja kemarin dan hari ini tak akan pernah lagi sama, walau setara takjubnya. Dan barangkali ke depannya memang Sore bakal begini konsepnya. Harapan saya di albumnya kelak, nomor megah seperti 'Bebas' di album pertama dan '400 Elegi' di kedua masih membentang. Walau pasti, tak bakal lagi ada semacam 'No Fruits for Today'.
Saya suka artwork lagu ini. Begitu depresif, sesuai pesan lagu yang hendak disampaikan. Kurang gila apalagi coba orang yang hendak menyedot (bukan menenggak!) sebotol obat nyamuk cair. Seolah pesannya: Jangan gila, nanti cepat mampus. Haha!

2.
Sebuah lagu yang bagus selalu membikin saya membayangkan ilustrasinya. Dalam 'Ssst...' saya membayangkan seorang yang jadi gila, karena malu untuk marah, karena mememdam begitu lama ternyata lelah. Kurang lebih begini ceritanya:
- - - Seseorang masuk ke sebuah ruangan kedap suara dan cahaya. Penuh barang-barang yang memang sudah siap dirusak, menunggu dibanting dan dipiting. Dan tunggu apalagi gelas-gelas kristal pecah, piranti kayu patah. Tembok retak, keramik-keramik berserak. Ruangan ini mempersilakan orang-orang waras menjadi gila. Dan nantinya kembali waras ketika tak ada lagi barang yang bisa dirusak kecuali dirinya sendiri. Setelah tenang, ia keluar dari ruangan itu, seorang gadis kecil yang menunggunya di luar. Gadis kecil itu ketakutan melihat ia yang penuh peluh, matanya nyalang.
"Ssst..." ujarnya sambil tersenyum. Satu telunjuknya disilangkan di garis bibir. Mata yang nyalang itu seketika lembut. "Apakah orang 'gila' tak boleh punya harapan? Atau harapan telah membuat orang-orang menjadi gila?" ujar gadis itu kelak ketika dewasa. Membayangkan lelaki yang dulu bilang akan menunggunya dewasa, untuk mempersuntingnya. Lelaki yang sekarang nyawanya sudah hilang entah ke mana, karena gila, ia terlalu letih untuk berharap. - - -

3.
Lagu ini memang terdengar sedikit psycho (seperti ‘In 1997 The Bullet Was Shy’), tapi amat menyenangkan. Setidaknya bagi kampiun karena telah mengobati rindu. Dan pula menyenangkan bagi para orang-orang 'gila', untuk tak pernah kehilangan harapan.
Dan akhirnya menyenangkan bagi saya, karena tak ada yang lebih baik dari hari ini. Ketika satu lagu datang seolah membaca situasi yang sedang terjadi. Lagu itu mengiang di telinga untuk dinikmati sekaligus mencoba memperingatkan, "Ku bisa gila tak berharap."
Tak ada yang lebih baik dari hari ketika kamu diingatkan untuk tak letih ber-asa, meski risikonya, kamu bisa (dibilang) gila. Tapi dalam setiap waras yang terpendam, kita sudah punya 'gila'-nya sendiri. Jadi jangan pernah membuang ke'gila'an, karena 'gila' punya jiwa. Maka tetaplah 'gila', tapi jangan pernah hilang harapan, agar kelak tak jadi gila.
- - -
Ditulis Btok di Duren Sawit, Jakarta Timur, Rabu (20/3) dengan penuh harap.

Sunday, 3 March 2013

NENDEN



1.
Beberapa orang malam ini bereuni dengan guru SMAnya. Teman saya, ENNS misal baru saja bercerita bahwa kakaknya bertemu dengan guru zaman ia sekolah di Sibolga di Riau. Eh, tak lama telepon genggamnya bergetar. “Halo Pak, selamat malam, apa kabar?” ujar ia dengan raut muka sumringah. Si guru tiba-tiba menelepon. Komunikasi pertama mereka sejak 2004.
Saya dan seorang teman lain, sambil menerka isi perbincangan ENNS (antara lain, “Sudah punya istri?” Dijawab, “Belum, Pak, belum, minta doanya aja,” ujar ia cengengesan), kami mencoba mengingat tentang pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa zaman SMA.
Si teman satu lagi, DN mengklaim hampir ingat seluruh gurunya. Cuma satu yang ia lupa, guru biologi zaman SMA. Sementara saya, justru cuma ingat satu guru zaman SMA, guru biologi. Saya ingat karena si guru, cantik dan seksi, hehe.
Teman saya si DN, mulai rewel. Aneh memang rewelnya, cuma gara-gara gagal mengingat nama satu guru, yang meskipun ia ingat, tak bakal mendapat apa-apa yang menurut saya berguna buat hidupnya. “Nggak, cuma penasaran aja,” ujar ia. Di situ saya sadar, betapa penasaran bisa bikin orang sebegitu tersiksanya.
ENNS beres menelepon, dan langsung flashback tentang masa lalunya di SMA. Kami seperti biasanya hanya mendengar cerita anak asrama yang lika-likunya begitu kaya. Tapi DN, masih sibuk dengan rasa kepenasarannya, yang mulai mengganggu saya.
“Siapa sih namanya?” ujarnya dengan suara melengkingnya yang mengganggu, (ahaha, xp). Ya sudah, saya bantu jawab, asal saja memang, terlintas di benak saya ada guru wanita (entah zaman SD, SMP, atau SMA) yang bernama Nendah. Entah kenapa saya plesetkan jadi Nenden, dan saya ubah kelaminnya jadi lelaki. “Pak Nenden!” kata saya tak begitu peduli, dan kembali mendengar cerita ENNS tentang masa remajanya di Sibolga.
“Nah, iya bener, Nenden, Bu Nenden,” ujarnya. Awalnya saya tak begitu tertarik. Mungkin si teman hanya berupaya bikin saya senang setelah merasa bersalah karena tidak bertanya, “Kenapa Tok?” pas saya jatoh saat membawa minuman di sebuah restoran cepat saji di Bulungan, Jakarta Selatan. Ahaha. Tapi kemudian ia mengecek, dan membuktikan pada saya, bahwa memang benar guru biologinya bernama Nenden. Buktinya adalah salah satu blog adik kelasnya yang bercerita tentang guru yang berusaha ia ingat itu.
Saya melongo saja. Si DN berhenti rewelnya karena puas. Si ENNS masih sibuk dengan cerita zaman SMA-nya meski sudah tak ada lagi yang mendengar, xp. Saya melongo, jelas karena bengong, mungkin lebih tepat disebut takjub. Dengan lontaran jawaban yang muncul sepersekian detik lewat notasi warna yang melintas di otak, merah-hijau-biru. Keren. Sudah lama saya tak takjub pada diri saya sendiri, ahaha.
Tapi saya tak bisa melanjutkan kemenakjuban saya, untuk menjadikan itu sebagai pintu masuk untuk menggoda teman saya si DN. Kan bisa saja saya bilang padanya, “Tuh kan, aku bisa jawab rasa penasaranmu dan bikin puas.” Ahaha.  Saya tak lagi bisa, setelah ia jadi milik teman baik saya. Godaan paling maut pun bakal mental, jadi lebih baik kita gantungkan saja senjatanya. Karena saya tahu, mereka bakal jadi pasangan yang hebat, menyenangkan, dan bisa saya jadikan panutan. Dalam otak saya, notasi warna berkelebat dan mengatakan prediksi itu. Langgeng dan bahagia selalu ya, Mas dan Mbak, jangan saling menyia-nyiakan, :).
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (4/3) sambil nunggu donlotan JAV dan masih kaget aja denger kabarnya, :)).