Sunday, 6 April 2014

MINIMLOG - 2048 (#001)

1
(GAME) – ‘2048’. Baru donlot kemarin. Mainnya simpel, cuma memamahbiakkan angka 2 dan 4, jadi kelipatannya yang lebih tinggi di kolom seluas 4x4. Tiap angka yang sama bertemu, angkanya akan berlipat, dan tiap jurus yang kita ambil, berkonsekuensi dengan munculnya angka bontot baru. Mainnya sesederhana itu saja kok beneran. Anehnya, meski tampak begitu mudah, dan awalnya tak terlalu menarik, ta, ta, tapikok, ternyata seru juga. Adiktif malah. Sejauh ini raihan skor saya baru 20.400 (target saya sejauh yang kebayang saat ini: 25.000), jadi, silakan unduh/mainkan dan menyalip (kalau bisa, hihi).

Ohya, saya juga sudah membuat game 2048 versi saya sendiri, edisi 'Emma Watson'. Seperti game girl zaman dulu, saya ganti angka-angka 2,4,8,...,2048 dengan foto Emma Watson. Makin besar angkanya, makin syur gambarnya, haha. Silakan mencoba, semoga beruntung sampai kawin ke angka 2048, foto Emma Watson terseksi yang belum pernah kamu lihat sebelumnya, haha. (82/100) - BTOK

Saturday, 5 April 2014

HOW I MET YOUR MOTHER - SERIES FINALE (2014)

1
Tadinya mau bikin rekap dua drama komedi terbaru favorit saya di 2014, ‘Brooklyn Nine-Nine’ dan ‘Broad City’. Keduanya tampil spektakuler di musim perdana, dan berakhir dengan episode final yang ah, entah apa istilahnya, membuat hati nyaman meski harus menyimpan rindu (tsaeilah) hingga nanti musim kedua.
Tapi tiba-tiba, serial gacoan sejak sembilan tahun lalu, yang pada musim terakhirnya ini begitu sangat amat banget-banget membosankan, muncul dengan series finale yang sangat mengejutkan. ‘How I Met Your Mother’ akhirnya beres, tapi pembicaraan tentangnya tak berakhir hari itu. (<<<SPOILER ALERT MULAI DARI SINI>>>)
Bagaimana bisa mulut kita tetap tertutup dan pikiran kita tak berkecamuk, bila akhirnya ‘The Mother’ dibuat modar, tiwas, wafat walafiat, meninggal dunia. Rasanya, kreator Carter Bays dan Craig Thomas sempat bertemu George R.R Martin untuk memutuskan bagaimana serial ini harus diakhiri. Menurut teori sejumlah fans serial ini di Reddit, ‘The Mother’ tiwas karena kanker serviks. Yak, payung kuning itu—ah sial seharusnya saya menyadari dari dulu—adalah lambang penyakit kanker di leher rahim itu.
Sembilan tahun kita digoda untuk mengikuti perjalanan Ted menemukan wanita yang menjadi ibu dari kedua anak-anaknya. Kita dibuat percaya seolah tujuan dari perjalanan sembilan musim ini adalah tentang menemukan sang mama. Siapa nyana, pada akhirnya Ted kembali ke bawah balkon Robin Scherbatsky untuk mengantar terompet biru yang dulu sempat dipersembahkannya dalam kencan pertama. Sembilan tahun pula kita tertipu bahwa serial ini akan berakhir bahagia, Ted akhirnya bertemu dan membina keluarga berencana (ya, dua anak cukup) bersama sang karakter titular, ‘The Mother’, namun mengutip Meggy Z, “Sungguh teganya, teganya, teganya, teganya, teganya,” kreator mengguratkan nasib buruk karakter yang diperankan oleh Cristin Milioti itu (konon dari awal, Josh Radnor sudah tahu akhirnya memang demikian). Nasib buruk untuk mereka yang merasa kecele hampir satu dekade.
Meski berakhir tak bahagia untuk tim Ted-‘The Mother’, saya tak mau buru-buru menyimpulkan series finale ‘HIMYM’ sebagai simpulan yang mengecewakan. Akhir yang mengejutkan ini justru membuat rom-com ini naik kelas. Salah satu indikatornya, hampir sepekan usai penayangan finale, orang-orang masih membicarakan (dan berdebat) tentang hal ini. Beberapa yang kreatif bahkan mengedit video bagaimana seharusnya serial ini berakhir. (UPDATE: dalam rilis DVD-nya kelak, kreator sudah menyiapkan official alternate ending untuk ‘HIMYM’).
Indikator lain, ‘HIMYM’ berhasil keluar dari pakem ‘akhir yang adil’, ‘bahagia selamanya’, ‘terlalu gula-gula’ yang biasa kita temui di akhir serial atau film drama ala Hollywood. Kreator dan penulis naskahnya berani untuk dihujat, ditempatkan antara perdebatan sengit, namun juga dipuji akan keberaniannya ‘membunuh’ The Mother. Tapi akhir kisah ini malah jadi taktik jitu menurut saya yang bisa membuat pemirsanya kembali menonton ‘HIMYM’ dari awal. Sekadar untuk menguji seberapa pantas takdir Ted bagi Robin, vice versa.
2
Jadi tak masalah bagi saya, bukan akhir dari kisah ‘HIMYM’ yang mengecewakan, melainkan dua puluh episode pertamanya di musim kesembilan yang terlalu bertele-tele. Itu yang membuat saya merasa cukup untuk menikmati empat dari 23 episode musim ini: pilot, dan tiga episode akhir. Kata seorang teman, “Tak apa, nggak ketinggalan apa-apa juga kok.”
Namun yang saya pun bingung hingga kini, entah ini mengecewakan atau tidak, adalah keputusan para penulis untuk membikin karakter ‘The Mother’ aka Tracy McConnell (jadi ingat ketika Ted bertemu seorang stripper bernama Tracy, anak-anaknya berteriak kaget! haha!) begitu mudah untuk dicintai dan terlalu sempurna untuk Ted (bahkan bila kita hanya melihat dari inisialnya saja. Adegan payung kuning di Farhampton lebih dari cukup untuk menjabarkan kecocokan mereka).
Mengecewakan karena, karakter ‘The Mother’ dibuat begitu mudah mendapat tempat di hati pemirsa ‘HIMYM’ (bahkan Josh Radnor di musim kesembilan bertanya kembali pada kreator, “Apa benar akhirnya harus seperti ini?”), bahkan mungkin bagi yang bertindak sebagai germo cinta paling sok betul untuk Ted, akan jatuh cinta. Sang arsitek ini selama sembilan tahun rajin gonta-ganti pasangan, namun tak ada satupun yang cocok dijadikan pendamping hidup. Dan ketika di akhir musim ke delapan, sosok Cristin Milioti muncul sebagai ‘The Mother’, fans langsung reaktif. Ada yang tak puas, membandingkan dengan pasangan-pasangan Ted terdahulu, bersumpah tak akan melanjutkan nonton finale seasonnya, dan bla-bla-bla. Tapi tak sedikit juga yang langsung jatuh hati (termasuk saya), apalagi ketika ia menampilkan gigi gingsulnya yang memikat ketika memesan tiket ke Farhampton, sambil menenteng bass.
Belakangan (seperti yang sudah saya prediksi), penolakan fans terhadap sosok ‘The Mother’ mencair, beberapa bahkan menilai sosok ini jauh lebih tepat untuk Ted, dibanding Robin yang makin sini makin oportumis dan ambisius. Seperti Ted, saya hanya butuh satu hujan di sebuah stasiun kereta untuk mencintai karakternya. Dan ketika adegan itu muncul di episode akhir, beberapa menit kemudian, *BAM*, kita harus menerima kenyataan bahwa akhir dari musim panjang ‘HIMYM’ terjawab. Jangan menilai sebuah serial dari judulnya, ini pelajaran yang amat penting paska-‘HIMYM’.
Ted sudah bertemu ‘The Mother’, lalu penasaran apa lagi yang kita simpan dalam hati? Semua pertanyaan tentang ‘bagaimana’ dalam judul serial ini sudah terjawab. Namun durasi masih tersisa kira-kira sepuluh menit. Dari sana, kita tahu jika pada menit-menit krusial ‘HIMYM’, judul dengan sendirinya berubah menjadi ‘How I Moved On From Your Mother’.
Dan kembali ke kebingungan saya di atas, pengenalan sosok ‘The Mother’ yang terlalu mudah dicintai ini sebagai bentuk kekecewaan atau tidak? Ya, di satu sisi kecewa mungkin karena tak rela saja, ia harus muncul satu per sembilan bagian umur serial ini, dan ia muncul justru saat umur serial ini sudah tak lagi prima. Ia harusnya punya porsi lebih di antara geng MacLaren’s Pub. Ia lebih dari sekedar unsur dramatis dalam rom-com ini. Ia punya banyak punch line lucu yang harusnya bisa dieksplorasi dalam beberapa episode khusus. Oh ya, dan saya ingin tahu juga hubungannya dengan Rachel Bilson yang pernah jadi teman sekamarnya.
Di sisi lain, dengan ending seperti yang telah ditasbihkan, harusnya saya tak kecewa, karena bila karakter ini dibuat tak sempurna, kita semua tak akan banyak omong bila karakter ‘The Mother’ tiwas. Ted pun bisa melenggang leluasa kembali pada Robin tanpa perlu ada protes di sana-sini. Tapi akibatnya, serial ini akan berakhir seperti 20 episode sebelumnya yang menyebalkan, karena memang tak menarik, dan tak ada yang bisa diperdebatkan lagi. Justru kita bakal ngomel bila karakter ‘The Mother’ tak sempurna, tapi diberi akhir bahagia untuk keduanya.
3
Satu hal yang menarik dari ‘HIMYM’ adalah penyimbolan karakter dalam berbagai bentuk benda dengan warna yang mencolok. Dua kupu-kupu di perut Ted, disimbolkan sebagai ‘payung kuning’ (The Mother) dan terompet biru (Robin Schrebatszky). Dan kalau ingat pun, Ted pun mengidentifikasikan dirinya dengan sepasang boots merah kesayangannya. Haha, intermezzo saja.
Tapi dua simbol di atas sebenarnya sudah memberi petunjuk tentang apa yang tergambar dalam hubungan ketiganya. “With Robin, Ted had to make it rain, while with the mother it was always raining,” begitulah bunyi satu dari sekian banyak komentar di Reddit yang saya setujui. Dan Ted, seperti kita tahu adalah orang yang gemar membuat orang lain bahagia, dengan segala cara. Dengan Tracy, Ted tahu ia tak perlu banyak berupaya, hidupnya sudah bahagia dan seperti seorang petani padi, apa lagi yang perlu ia kejar bila hujan seolah turun setiap saat.
Namun hal seperti itu justru yang membuat Ted bisa ‘melupakan’ kepergian Tracy. Bahwa setidaknya ia tak perlu penasaran lagi, ia sudah melakukan yang terbaik hingga akhir hayat Tracy. Namun selepas enam tahun, ia rindu menghadirkan hujan kembali bagi seseorang yang pernah ada di hatinya. Dan Robin, kini hidup sendiri usai perceraiannya dengan Barney (perkawinan singkat, pertengkaran yang mengecewakan, karena rasanya tak perlu Barney selalu mengikuti kemana pun Robin bekerja)—mungkin selalu menunggu, Ted.
Dan perlu diingat, payung kuning yang pernah berpindah tangan dari Tracy ke Ted, akhirnya tertinggal begitu saja di apartemen karakter Rachel Bilson, lupa nama karakternya. Tapi terompet biru itu, sekian puluh tahun lamanya selalu Ted simpan. Benda ikonik yang menandai sembilan tahun perjalanan serial ini, atau mungkin bisa disebut, perjalanan Ted bersama Robin.
Dan pada akhirnya, ini memang tentang mereka berdua. Mungkin seharusnya begitu, karena memang selama ini, ‘How I Met Your Mother’ selalu memusat tentang Ted, baik itu tentang hubungannya dengan belasan cabe-cabeannya pra-‘The Mother’, dengan dua karibnya Barney dan Marshall, dengan Lily, dengan Tracy, dengan kedua anaknya, dan terutama, dengan Robin sebagai katarsis dari setiap perjalanan hidup Ted.
Jadi selama ini menjadi akhir bahagia untuk Ted, tak ada yang harus merasa terlalu kecewa dengan series finale yang ditayangkan selama hampir 60 menit, pekan lalu itu. Ya, karena memang semua selama ini hanya tentang, “Bagaimana Ted Menemukan Kebahagiannya?”
2014

Thursday, 27 March 2014

DALLAS BUYERS CLUB - JEAN-MARC VALLEE (2013)

1
Pada 2005, seorang mahasiswa di sebuah universitas di Columbia, Amerika Serikat, punya cerita seru tentang Matthew McCounaghey. Dalam sebuah sesi tanya jawab tentang film ‘Sahara’ yang diproduserinya, ia ditanya, “Who is your favourite actor?
Matthew, seperti biasa tatkala itu, muncul dengan mata sedikit teler. Ia menjawab hampir semua pertanyaan yang datang sebelumnya sekena hati. Dan untuk pertanyaan terakhir di sesi itu, ia menjawab, “Me, in ten years, ...cool, ...yeah!” Tak kalah gegabah.

Hampir sepuluh tahun berselang ia muncul lewat film terbarunya, ‘Dallas Buyers Club’, ia berakting sebagai seorang petaruh rodeo yang terdiagnosa penyakit AIDS, Ron Woodroof. Matthew menyabet penghargaan tertinggi, ‘Aktor Terbaik’ dalam Oscars 2014 karena perannya itu.
Penampilan lainnya dalam serial HBO, ‘True Detective’ juga monumental. Sebagai Rustin Cohle, penampilannya begitu dipuja, dan membuat orang-orang rela menghamba. Bagi saya, apa yang ditampilkannya dalam ‘True Detective’ punya kelas yang sama dengan Piala Oscar yang kini digenggamnya. Mungkin, ya, bisa jadi Piala Emmy tahun depan juga mampir ke pelukannya.
Dan hampir sepuluh tahun berselang, kita akan berkata karena kembali ingat, “When he was high, he can see the future.

2
Memerankan koboi Texas ‘berpita merah’ itu, McCounaghey mendapat restu dari adik dan putri Ron Woodroof. “OK yes! He’s got that same swagger as Ron,” ujar sang adik, Sharon Braden. Brad Pitt dan Ryan Gosling yang sebelumnya membidik peran itu, harus gigit jari.
Dalam piala bersapuh emas yang digenggam McCounaghey di malam Oscars, terdapat beban seberat 19 kilogram, bobotnya yang susut demi peran menjadi seorang pecandu narkotika yang terjangkit virus HIV di film ini. Bahkan sebelum ‘Dallas Buyers Club’ dirilis, cerita tentang upaya McCounaghey mengempesi tubuhnya sudah menarik perhatian. Upaya itu yang membuatnya spesial (meski memang tak seekstrem apa yang dilakukan Christian Bale dalam ‘The Machinist’, menyusut 31 kilogram), dan tak hanya olehnya, aksi ‘mogok makan’ ini juga dilakukan oleh Jared Leto, yang kebagian peran sebagai Rayon, seorang transgender yang juga divonis mengidap AIDS.
Keduanya bertemu di sebuah rumah sakit, setelah Woodroof akhirnya percaya kalau ia memang benar-benar terinfeksi HIV. Ia butuh zidovudine (ATZ), obat yang dikembangkan sebuah perusahaan bio farmasi, Avonex untuk memperpanjang nyawanya. Ia diprediksi hanya punya 30 hari ketika pertama kali tiba di rumah sakit itu beberapa hari sebelumnya. Di sana ingat sekali saya ia berteriak dengan gayanya yang eksentrik, “There ain’t nothing out there that can kill Ron Woodroof in 30 days.
Tapi, ini bukan sekuel film terdahulu McCounaghey,  ‘How To Lose a Guy in, umm 30 Days’. Ron sadar, ia harus bertahan hidup, entah demi apa. Ia sempat menyuap seorang pegawai rumah sakit untuk menyelundupkan ATZ untuknya. Dosis habis, Ron tak bisa berbuat banyak. Ia kembali kolaps, dan takdir mempertemukannya dengan Rayon.
I’m sorry sweetie, i can’t split my dose,” ujar transgender itu genit pada pria slengean yang berbaring di samping bangsal tidurnya. Tak semua orang beruntung bisa menyelisipkan ATZ dalam tubuhnya. Obat jenis baru itu masih dalam proses percobaan, dan hanya beberapa orang yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi tikus labnya. Untuk saat itu seakan nasib Rayon jauh lebih baik ketimbang Ron.
Ron yang homophobic pun tak sudi menghamba, meski ia tahu amat membutuhkannya. Di ‘hari-hari terakhir’ hidupnya, ia lebih memilih pergi ke selatan, untuk memastikan informasi yang diterimanya bahwa ada seorang dokter di Mexico bisa menyuplai ATZ untuknya.
Tiba dengan kondisi kurus kering, ia menemukan fakta lain. ATZ sesungguhnya berbahaya bagi pengidap HIV, bahwa ada pihak-pihak yang sengaja menangguk untung dari penjualan vaksin mutakhir pada zamannya itu. Ia melewati ‘hari ketiga puluhnya’ dengan harapan baru di Mexico, ia masih hidup dan mencoba sejumlah eksperimen mengandalkan racikan obat lain. Kini ia bergantung pada vitamin dan peptida. Ia memang tak sembuh, tapi setidaknya ia masih bernyawa setelah satu purnama.

3
‘Dallas Buyers Club’ pernah disebut sebagai film yang ‘haram’ dibuat. Terinspirasi kisah nyata, petinggi-petinggi Holywood tak pernah menganggap sosok Ron Woodroof sebagai tokoh yang menggugah. Selain positif HIV, ia dikenal sebagai pecandu kokain, pelaku seks bebas, pemabuk berat, hingga homophobic. Apa yang pernah ia lakukan bahkan jauh lebih hina ketimbang sekadar dianggap sebelah mata. Ia bukan Andrew Beckett di ‘Philadelphia’, tanpa HIV, Ron adalah sosok yang amat sangat mudah kita benci. Tapi setidaknya, ia punya sedikit ‘Erin Bronkovich’ dalam prinsip hidupnya. Nyawa bukan milik mereka yang berkuasa.
McCounaghey adalah sosok yang piawai menyetir peran. Ia menjadi magnet dalam ‘Dallas Buyers Club’, bersama Jared Leto yang memerankan Rayon, karakter yang begitu berbeda 180 derajat dari Ron. Genit, sensitif, tampak selalu ceria, meski sejatinya begitu rapuh. Begitu dahsyat Leto menjadi Rayon, membuat kita lupa ia juga adalah vokalis band rock, ’30 Seconds from Mars’. Ah, Tuhan, seharusnya dari dulu saya menyadari kalau ia memiliki mata malaikat itu.
Mata malaikat itu hanya yang tersisa dari keajaiban rias seharga US$ 250 inisiasi Adruitha Lee dan Robin Matthews. Sisanya adalah pipi yang merona merah, peurna mata, dan lipstik merah jambu yang mengilap ala Jane Forth di tahun-tahun psikadelika. Sang aktor utama, McCounaghey juga mendapat perlakuan khusus di tiap fase yang dialaminya di film ini. Dari rona muka Ron, kita sudah bisa menerka apa yang terjadi pada tubuhnya. Tak salah bila dalam Oscars, film ini diganjar penghargaan ‘Tata Rias Terbaik’.
Hal ini menjadi salah satu aspek penyokong dua aktor mendalami perannya. Akibatnya, ‘Dallas Buyers Club’ bisa mengulangi prestasi yang sebelumnya ditorehkan ‘Mystic River’ (memecahkan rekor Ben-Hur pada 1959) di Oscars 2013, menyabet penghargaan untuk dua kategori utama pria, ‘Aktor’ dan ‘Aktor Pendukung Terbaik’ untuk Sean Penn dan Tim Robbins. Ketika Jared menggondol piala di awal Oscars, saya langsung menghela nafas untuk Leonardo di Caprio. Alasannya, baik Ron dan Rayon dalam ‘Dallas Buyers Club’ adalah satu kesatuan. “Keduanya, atau tidak sama sekali.”

4
Tanpa ‘Dallas Buyers Club’, McCounaghey tak akan menang Oscar. Sejak 2011 ia membintangi sejumlah film bagus, dari ‘Lincoln’s Lawyer’ hingga ‘Magic Mike’ (atau mungkin saya perlu sebut semua satu per satu, ‘Bernie’, ‘Killer Joe’, ‘The Paperboy’, dan ‘Mud’, semua layak tonton), tapi ‘Dallas Buyers Club’ punya struktur penokohan yang ciamik. Ron dan Rayon adalah sosok yang unik. Kisahnya berputar-putar di keduanya saja bergelut dengan HIV, saya akan tetap menikmati. Yang agak menganggu hanyalah porsi tokoh Eve Saks (Jennifer Garner) yang terlalu besar, namun tak signifikan. Saya berharap peran Eve Saks dipersingkat (atau dihapus sama sekali pun tak masalah). Kehadiran Eve bagi Ron malah membuat film ini beraroma Darren Aronovsky, terutama dalam The Wrestler. Hubungan keduanya mengingatkan saya akan kisah Randy Robinson (Mickey Rourke) dan Pam (Marisa Tomei). Lebih baik sutradara Jean Michael Vallee berkonsentrasi pada perubahan sikap Ron yang semula homophobic, lalu bersimpati pada Rayon. Sehingga ia punya ‘jejak khas’ dalam film ini.
Meski begitu, juri Oscar punya selera sendiri terhadap ‘Dallas Buyers Club’ terutama di kompartemen naskahnya yang: tak berlapis, namun begitu sederhana dan subtil. Pesannya jelas, ada yang salah dengan sistem penanganan kesehatan bagi penderita AIDS kala itu, ada yang salah dengan orang-orang yang bereksperimen untuk keselamatan banyak jiwa, orang-orang yang terbuang, dan dipandang sebelah mata.
Pemerintah (melalui Food and Drugs Association, kala itu) tak bisa mengesampingkan lagi kaum ‘haram’ itu. Perlawanan yang digalakkan Ron dianggap membahayakan. Rumah-rumah sakit kehilangan pasien, perusahaan farmasi terancam bangkrut, mereka tunggang langgang. Tikus-tikus lari dari lab-lab milik pemerintah, ke dua kamar motel yang disulap jadi ruang terapi Ron. Tak lagi bertaruh di arena banteng menjungkirkan manusia, Ron kini bertaruh di kancah yang lebih serius, manusia menunggangkan manusia.
Jelas ada yang berubah, pemerintah merasa dilecehkan karena cara mereka menangani pengidap HIV tak lagi dihiraukan, yang tak berubah adalah penghargaan pemerintah atas nyawa mereka. Seolah, “Kami tak peduli apa yang baik untuk mereka. Yang kami pedulikan adalah apa yang terbaik bagi kami.” Seolah kaum termarjinalkan itu hanya boleh mendapat sisa-sisa kebaikan dari apa yang mereka coba entaskan.
Itu membuat tensi dalam ‘Dallas Buyers Club’ membuih. Dan Ron berulang kali ditekan, Ron berulang kali tumbang, tumbuh lagi, Ron berulang kali layu, mekar lagi, dan Ron berulang kali hampir gugur, tapi selalu bersemi kembali. Sampai-sampai karena semangat itu, kita lupa, Ron adalah orang yang hidup dengan penyakit AIDS. Jika dalam satu adegan tak diperlihatkan betapa tubuhnya kembali menyusut, dan tulang-tulang di pipinya kembali menyembul usai pemerintah menganggap metode pengobatannya ilegal, kita akan menganggap ini pertarungan yang adil.
Peptide D is the online line i have to staying alive. When i stop it, i start dragging myself. I urinate on myself,” ujar Ron asli dalam sebuah wawancara kepada penulis naskah film ini Craig Borten. Naskah ini ditentengnya ke begitu banyak produser sejak 1995. Pernyataan Ron di atas menggugah Borten agar pemirsa bisa terinspirasi dengan apa yang diperjuangkan oleh koboi slengean itu di layar lebar. Awalnya film ini akan digarap Dennis Hooper dan dibintangi oleh sahabat baik McCounaghey, Woody Harrelson. Tak kunjung mendapat dana, Borten terus bergerilya dan tetap mengontak sejumlah bintang. Namun nama besar Brad Pitt dan bintang baru Ryan Gosling tak cukup meyakinkan produser untuk mengangkat cerita ini ke bioskop.  
Tapi Borten tak mau mati dalam tiga puluh hari seperti vonis dokter pada Ron. Ia berjuang, setidaknya pada mulanya, untuk dirinya sendiri, untuk Ron, untuk penderita AIDS di seluruh dunia. Setelah menunggu hampir 20 tahun, ‘Dallas Buyers Club’ akhirnya difilmkan, 22 tahun setelah Ron wafat di umurnya yang lebih panjang 2.257 hari dari vonis dokter.
Dari proses pewujudan film jelas sudah memberi banyak inspirasi. Dan memang intinya adalah itu, setidaknya bagi Ron, hidup itu perlu paling tidak sekali saja punya arti, baru setelah itu boleh mati. Karena mungkin jawabannya di sana, untuk siapapun yang masih bertanya, “Untuk apa kita (masih) hidup?”

/
DALLAS BUYERS CLUB (2013), directed by: Jean-Marc Vallee. Starring: Matthew McCounaghey, Jared Leto, Jennifer Garner. Release date: 7 September, 2013 (Toronto International Film Festival). Duration: 116 minutes. Rating: 80 (IMDb), 84 (Metacritic), 94 (Rotten Tomatoes), 82 (The Moderntramp, xp).

/
GOLDEN MINUTES
Introduksi yang memikat di 15 menit pertama ‘Dallas Buyers Club’. Film dibuka dengan amat brengsek di menit (01:00) saat Ron berkencan dengan dua wanita di tepi gelap arena rodeo. Pada menit (04:09), ia kabur dari kejaran petaruh lain, usai membawa kabur duit judi rode. Ia memukul seorang polisi, dengan tujuan agar ia ditangkap, dan selamatlah dari kejaran orang-orang murka di lapangan banteng itu.
Butuh waktu lama untuk mendapat ‘kejutan’ di pembuka film hingga menit (08:00) atau yang saya sebut dengan menit paling emas dalam film ini. “Dhuar!” sistem listrik yang sedang diperbaiki Ron tiba-tiba meledak, ia pingsan dan segera dibawa ke rumah sakit.
Di sini, pada menit (09:30), kita baru tahu apa tujuan film ini, si bajingan itu rupanya terinfeksi HIV. Pertanyaan yang menarik adalah bagaimana membuat karakter menyebalkan itu bisa meraih simpati penonton. Apalagi setelah ia pada menit (11:17) divonis hanya berumur paling lama 30 hari, dan berteriak congkak. “There ain’t nothing out there that can kill Ron Woodroof in 30 days.”
Dari ‘pilot’ tersebut, 80 persen saya akan lanjut menonton ‘Dallas Buyers Club’. Selain untuk menjawab pertanyaan dalam alinea selanjutnya, juga setidaknya menjawab, “Apakah Ron akan benar-benar mati dalam tiga puluh hari?” (2014)

/
Ditulis oleh Mohammad Andi Perdana untuk rubrik #Seninema di ‘The Moderntramp pada 27 Maret 2014. (#GoldenMinutes adalah mini rubrik yang berisi tentang 15 menit pertama sebuah film. Seperti sebuah pilot dalam tiap serial, golden minutes adalah indikator apakah kami akan melanjutkan menonton film tersebut, dibuat tergesa (alias dicepet-cepetin) atau tidak menontonnya sama sekali).
“Jadi, apa hal paling berarti yang pernah kalian lakukan untuk orang banyak dalam hidup?” 

Friday, 7 March 2014

THAT'S WHAT'S UP - THE STELLAS

1
Setelah hampir setahun (teman asal Batak akan berkata, "Kamana hungkul atuh?"---maksudnya, “Kamana wae?”), The Stellas balik lagi. Terakhir kali lihat mereka setahun lalu bikin lagu khusus untuk idola mereka (meh lah bro, :|), Harry Styles.
Lennon pangling jadi cantik banget (mungkin efek lepas kaca mata ya. greget nerdnya berkurang, tapi entah kenapa jadi mirip Elizabeth Olsen versi kurus, < 3). Sang adik, Maisy (jumpa lagi!) makin lucuk, gemes, pengen nyubit terus-terusan bawaannya.
Yang tak berubah, nyanyinya tetap bikin merinding. Plus, di video terbaru mereka yang diunggah Kamis, 5 Maret 2014, 'That's What's Up' - Lennon and Maisy Stella (Edward Sharpe and The Magnetic Zeros cover), chemistry keduanya bikin bulu kuduk nggak duduk-duduk. Lirik lagunya yekaaan~ (aneh malah kalau Edward Sharpe yang nyanyi), merepresentasikan keduanya banget. Dan di lagu ini, mereka tak hanya menyanyi, tapi saling mengagumi. Bagus banget broh! Falset Maisy di reffrain bikin narik nafas. Iwan Fals aja sampai bilang, "Anaaaak sekecil ituuuu~"
Silakan deh langsung disimak penampilan mereka, dan video-video sebelumnya di kanal Lennonandmaisy. Akan membuatmu bertanya sendiri deh, (lebay memang), "Ini ibu mereka, melahirkan keduanya lewat pita suara kali ya?"
They've made my day!
/
Ditulis oleh Mohammad Andi Perdana untuk Rubrik #Coverabu di The Moderntramp. "Jadi, Lennon atau Maisy?"

Tuesday, 4 March 2014

OSCARS

1
Tak banyak kejutan atau tangis bahagia tahun ini. Leonardo di Caprio haruskembali menyimpan kotretan ucapan kemenangan untuk tahun-tahun berikutnya. Jennifer Lawrence tak perlu lagi jatuh di tangga (dan kalaupun ia menang, Ellen DeGenerees akan mengantarkan ke tempat duduknya) seperti tahun lalu.
Tahun ini milik Cate Blancheet dan Rustin Cohle, maksud saya Matthew McCounaghey (atau John Travolta akan menyebutnya, Maddow Mohogany). Keduanya tampil tergelang-gelang dalam film yang dibintanginya. Untuk itu pula mungkin mereka sepakat tampil bercahaya, Blanchett dengan gaun rona kulit rancangan Armani dan McCounaghey dengan tuxedo putihnya (untungnya masih memakai celana panjang, tidak memakai 'shux' ala Pharrel).
Namun di podium, justru penyabet gelar Aktris Pendukung terbaik 'tampil' lebih subtil dan emosionil. Jared Leto dan Lupita 'Eike Bo' Nyong'o membuat kita percaya bahwa mimpi adalah hak setiap orang: bagi orang-orang yang sedang 'berperang' di Venezuela dan Ukraina, mereka yang terinfeksi AIDS, hingga perempuan-perempuan di kota kecil di Kenya (atau dalam bahasa keturunan Bojongkenyot disebut, Ngke Nya alias nanti dulu). Yak, "No matter where you're come from, your dreams are valid." (Kecuali lagi-lagi, untuk orang Bojongkenyot, valid, bukan palid alias hanyut). 
Keempatnya menang, dan tak mengejutkan. Termasuk ganjaran Sutradara Terbaik untuk Alfonso Cuaron (yang begitu canggih dalam 'Gravity') dan Film Terbaik untuk '12 Years A Slave' (gimana kalau seabad, 12 tahun aja bisa menang Oscar, :o).
Tak mengejutkan bukan berarti tak membikin sejarah. '12 Years A Slave' menjadi film pertama yang menang Oscar, disutradarai sineas kulit legam. Memang pantas menang, Ellen sudah memprediksinya lewat banyolan di awal acara. "Prediksi pertama, '12 Years a Slave menang. Prediksi kedua, ...kalian rasis!"
Kategori lain, Dokumenter Terbaik membuat sebagian banyak orang Indonesia patah hati. Film besutan Joshua Oppenheimer, 'The Acts of Killing' gagal menang. Meski sang sutradara tak patah arang. "Kami sudah menang, kami membuat perubahan di Indonesia," ujarnya tentang film kontroversial itu.
Yang 'patah hati' lain di Oscars mungkin Kerry Washington (gagal dapat pizza yang dia idamkan) dan Lizza Minnelli (gagal masuk di selfie terpopuler tahun ini), atau mungkin juga orang-orang seperti saya yang bertanya, "Kenapa harus Pink yang membawakan 'Somehere Over the Rainbow'? kala mengenang 'The Wizard of Oz' " Dan yang paling patah hati, kembali lagi ke bahasan di atas, adalah Leonardo di Caprio yang lagi-lagi harus gigit jari. Eh, ada deng yang lebih parah, segenap produser 'American Hustle' dan 'The Wolf of Wall Street' yang pasti padamencak-mencak, "Anjis, teu bebeunangan broh!" sambil pulang dengan tangan hamva.
Tapi gelaran ke-86 Oscars tak memberi banyak ruang untuk orang-orang bersedih. Ellen bilang, "Ini bukan kompetisi, ini perayaan." Dan semua harus setuju dan berhenti mengejek lagu 'Happy'- Pharrel (tak ada hubungan dengan Kiki FarrelMamamia). Lagu ceria itu memang tak menggondol piala, tapi membuat semua orang berselebrasi, dari Lupita hingga Merryl Streep.
Pra dan paska gelaran Oscar aura hepi sudah terpancar meski cuaca sudah seminggu mendung di sana. Kevin Spacey masih berusaha cool saat Buzzfeed iseng memberinya pertanyaan-pertanyaan remeh yang biasa diajukan pada selebrita wanita. Seleb-seleb wece dengan gaun sipu memudarnya di karpet merah (Naomi Waaaatttttts! Kalau aku sih, yes!). Bennedict Cumberbatch meloncat tinggi demi bisa photobombing di belakang personil U2. John Tromolto dengan kegugupannya yang bikin perut sakit saat memperkenalkan, uhm, Adele Dazeem, :)). Mama Jared Leto yang inspiratif dan masih cling aja, berdebar aku melihatmu, Ma. Hingga terakhir, Amy Poehler diguling-guling di pesta Vanity Fair, sinjing!
Seru sih melihat sebuah acara bergengsi, dikemas dengan sangat rendah hati. Para bintang menumpulkan rasa kompetitifnya dan berupaya sekuat tenaga mengapresiasi kemenangan orang lain. Pesta seusainya menjadi ajang silaturahim para selebrita, termasuk untuk Jennifer Lawrence yang bercanda ingin merebut pialadari tangan Lupita. Bagi yang kalah, mereka mungkin tak lupa, tapi kadang untuk apa, berdebat di kala dan usai pesta. Toh piala, hanya simbol belaka.

PS: Tiga kalimat terakhir ditulis sambil menonton monolog Najwa di akhir, Mata Najwa. Maaf, jadi kebawa-bawa. Berima. Aaa, aa, a.
/
Ditulis oleh Mohammad Andi Perdana untuk rubrik #Seninema di The Moderntramp. "Apa momen favoritmu di Oscars tahun ini?"
.

Thursday, 13 February 2014

HER - SPIKE JONZE (2013)


1
Sebelum bercerita tentang film ini, mari sedikit bahas soal 'Lost in Translation', dan sedikit banyak Sofia Coppola mempengaruhi 'Her'. Dalam 'Lost in Translation' kita bertemu dengan Catherine (Scarlett Johannson). Ia 'tersasar' di Tokyo, diajak ke sana, namun kemudian ditinggalkan suaminya yang gila kerja. Dulu, banyak kritikus bilang, 'Lost...' adalah tentang Sofia, paska perceraiannya dengan, ya, Spike Jonze!
Dan ketika Jonze mengumumkan akan merilis 'Her', kritikus yang sempat tertidur sepuluh tahun lamanya, bangun kembali. "Tuh kan, tuh kan," kira-kira begitu lah desas-desus yang muaranya berkesimpulan 'Her' adalah respon dari 'Lost...' Sofia Coppola.
Setidaknya ada beberapa hal yang menguatkan asumsi itu. Di 'Lost...', Sofia lebih jujur. Catherine jelas meninggalkan suaminya dengan alasan kira-kira begini, "Ah, si John (Giovanni Ribisi) mah, gawe muluk! Nyebelin!" Meski hal itu tak terungkapkan dan membuat Catherine teralienasi, hingga nantinya ia bertemu Bo Harris (Bill Murray). Dan membuat kita selalu penasaran dengan apa yang dibisikannya pada Catherine di ujung film.
Jonze memilih untuk lebih tertutup mengapa karakter Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) harus berpisah dengan Catherine (Rooney Mara, cantik banget bikin migren di sini, di Side Effect juga, < 3). Klunya disempilkan singkat dalam perbincangan mereka ketika akan menandatangani surat cerai. Catherine hilang kendali, intinya ia bilang, "It makes me sad. You can’t handle real emotions, Theodore."
Eh sebentar, Catherine kan benar. Rooney Mara di 'Her'? Scarlett Johannson di 'Lost...'? Tuh kan, ah, kalian berdua, Spike, Sopia, ..., :s.
Tapi Jonze lebih jujur ketika mengatakan 'Her' adalah produk semi-otobiografisnya. Tentu kita bisa menerka cerita tentang OS1 yang dimajikani Theodore adalah metafora, bagian ‘semi’ dari semi-otobiografinya. Dan sisanya mengenai Catherine, bisa jadi benar dialami. ya, BISA JADEE!
Karena saya tipe orang yang menganggap "art never comes from happines," saya yakin sih Jonze amat sangat curcol lewat 'Her'. Film ini adalah seni, dan itu mungkin berarti, Jonze masih tak bahagia. Ini jawaban bagi Coppola (yang kini sudah menikah lagi, 2011 silam), sepuluh tahun setelah anak kedua Francis Ford Coppola itu 'tersasar'. Sebuah respon, pernyataan tegas tentang kondisinya saat ini.
Dalam 'Her', Jonze menyelimuti kegelisahannya dengan macam hal menakjubkan. Latar masa depan yang tak berselang lama (syuting di Shanghai, 2013), di sebuah kota yang siangpun gemerlap karena gedung-gedungnya tak hanya mencakar langit, tapi juga memantulkan sinar matari. Ia menciptakan sebuah kondisi psikologi di mana orang-orang nyaman dengan kesunyiannya masing-masing. Ditemani teknologi, menghibur orang-orang yang selalu tak puas dengan apa yang cukup baginya. Dan bagi beberapa dari mereka, termasuk Theodore, teknologi menyempurnakan hidup.
Hingga akhirnya Theodore bertemu Samantha (Scarlet Johannson, suaranya doang), operating system nan jenius, seperti Siri punya Apple, tapi punya simpati dan empati. Lebih dari itu, OS ini selalu berkembang tiap harinya, lebih dari sekadar asisten digital pribadi, melainkan teman ngobrol, penghibur, hingga, ...kekasih, ya, hingga kekasih dalam defiinisi teman tidur di kasur.
Ini jadi jualan 'Her', jujur bila premisnya seperti ini, saya sangat tertarik. Setelah 'Where The Wild Things Are' (yang saya cuma suka soundtracknya, Karen O, dan ia ngisi lagu lagi di 'Her'), saya tak berpikir untuk menonton karya Spike Jonze lagi. Juga Scarlett, sebelumnya suara Samantha akan disampaikan oleh Samantha Morton, namun di tengah film perannya dicabut (meski tetap masuk kredit). Alasannya, suaranya kurang punya afeksi. Saya sih curiga bukan itu alasannya. Pertama karena ini Hollywood, ketika curhatan seorang sutradara difilmkan, tetap harus menjual. Siapapun pasti lebih setuju mendengar (dan membayangkan) ditemani Scarlett selama film ini diputar. Apalagi mendengar ia mendesah di tengah-tengah film ketika mencoba memuaskan Theodore.
Kedua, karena Scarlet adalah sentral dalam 'Lost...', ia adalah Catherine. Sudah saya bilang kan ini adalah repson untuk Coppola. Jonze ingin menyampaikan itu lebih tegas.
Untungnya, Scarlet tampil ciamik. Bukan saya saja yang ngomong. Buktinya, ia hampir bikin rekor, hampir masuk nominasi Oscar untuk kategori aktris terbaik, hanya untuk suaranya saja. Ide ini ditolak, ia tetap digdaya meski tanpa piala.
Eh tapi sebentar, ada yang ngeh gak kalau tak cuma Scarlet yang tampil tanpa raga di 'Her'. Ini bakal jadi trivia seru, silakan cari Kirsten Wiig di film ini. Dan kalau saya jadi Theodore, saya akan lebih jatuh cinta pada Wiig ketimbang Scarlet bila keduanya menjadi OS.
Tak hanya Scarlet, semua pemeran wanita dalam 'Her' tampil bagus. Rooney Mara mah saya nggak mau komen, gak bisa subjektif tentang ia setelah 'Side Effects', < 3. Amy Adams juga tampil tanpa beban, senang lihatnya keluar dari stigma perannya yang kerap tampil terlalu rapi (eh tau-tau bocahnya menang aja di 'American Hustle'). Terakhir, Olivia Wilde, meski cuma tampil sebentar, tapi bikin saya amat menyesal melewatkan 'Drinking Buddies' sebelum menonton 'Her'.
Dan muaranya, Joaquin Phoenix mau tak mau harus tampil kuat, kata kritikus luar ini penampilannya yang meditatif, gentle, dan cerebral. Setuju, pas, tak se'berlebihan' di 'The Master, meski bagus juga ia main di sana. Ia membuktikan itu dengan membuat yakin kalau orang bisa berkomitmen dengan teknologi.  meski beberapa gesturnya mengingatkan saya pada Leonard Hoftstader di 'The Big Bang Theory (series)'. Versi lebih tinggi dan lebih ganteng mungkin. Tapi ya kalau boleh saya terka, referensi karakter Theodore adalah Leonard, dan kumisnya yang tertinggal sepulang ekspedisi dari Antartika. Ohya, dan soal komitmen, ini bukan hal pertama, dalam 'Big Bang...', Raj juga pernah hampir jatuh cinta pada Siri. Beberapa sub-plotnya juga mengingatkan salah satu episode dalam serial science fiction asal Inggris, ‘Black Mirror’. Jadi ya, yang orisinal di sini bukan idenya, tapi keberanian sutradara untuk bertunangan dengan masa lalunya, menjadikan ini konsumsi publik, untuk direnungkan.
2.
Tapi di atas (mungkin sudah pada lupa, karena baru sadar kok panjang banget ya tulisannya), saya sudah bilang kalau cerita Theodore dangan OS1 adalah metafora. Beberapa kritikus menyebutnya ini sisi gila kerja Jonze. OS1 merepresentasikan film, video, semua karya visual yang diciptakannya. Dan Jonze jatuh cinta kepadanya. Jatuh cinta pada hal yang tak perlu punya raga, tak perlu punya nafas. Jonze menawarkan dan sempat kalut dalam konsep itu, mencintai yang fana. Hingga ia harus kehilangan status sebagai menantu Francis Ford Coppola.
Dan dalam 'Her' ia ingin kita menerka, "Apakah itu sebuah dosa?" Dan "Apakah kita, perlu didera karena melakukannya?"
/
HER (2013), directed by: Spike Jonze. Starring: Joaquin Phoenix, Scarlett Johannson, Amy McAdams. Release date: 13 October, 2013 (New York Film Festival). Duration: 126 minutes. Rating - 84 (IMDB), 91 (Metacritic), 94 (Rotten Tomatoes), 86 (The Moderntramp, xp).
/
Ditulis Mohammad Andi Perdana untuk ‘The Moderntramp’, Februari 2014. “Apakah kalian berani untuk jatuh cinta dengan hal-hal yang tak hidup juga?”

Tuesday, 11 February 2014

'IN A PERFECT WORLD' - KODALINE


#001
Saya akan buat daftar singkat kenapa kalian perlu mendengarkan debut album Kodaline, ‘In A Perfect World’. Satu, saya suka sampul albumnya, baru liat itu aja udah hilang penat rasanya, hehe. Dua, ya tentu, lagu-lagunya. Beberapa favorit saya ‘’All I Want’, ‘High Hopes’, ‘Brand New Day’, ‘Talk, ‘Love Like This’ dan ‘One Day’, mengingatkan akan Aqualung era ‘Strange and Beautiful’ (2005). Tiga, ada Ser Davos (Game ofThrones) di video klip ‘High Hopes’. Empat, konsep beauty and the beast di rangkaian video ‘All I Want’ bagus, ceweknya juga cantik, meski saya belum tahu namanya (but i will find you!). Lima, di kanal Youtubenya, album mereka bisa didengar lewat video stop-motion bekerja sama dengan ilustrator Shiloh Smith (mana favoritmu? Favorit saya ‘One Day’). Enam, mereka banyak mencover lagu orang lain, dan menghembuskan nafas yang berbeda, *HAH*,  Kodaline punya dan kentara. Antara lain ‘SameLove’ – Macklemore & Ryan Lewis di BBC; ‘Digital Love’ – Daft Punk dimedley ‘1901’ – Phoenix di Taratata; serta ‘We Are Never Ever Getting Back Together’ di GI:EL. Suka! Kalau kata Titi DJ di Indonesian Idol, “Merinding, merinding, merinding!”
Terus, apalagi ya? Ohya, tujuh, Suara sang vokalis Steve Garrigan terdengar rintih-genik, makin meraung makin bagus, kata orang-orang sih ini versi kasar dari pita suaranya si Tom Chaplin, vokalis Keane. Delapan, fans menyanyikan lagu Kodaline, dan masih tetap terdengar enak. Antara lain di kanalnya Kina Granis ini menyanyikan ‘All I Want’ (duh, saya suka sekali cewek cantik main gitar pake baju kutung); Orla Gartlan dan Gavin James membawakan ‘Love Like This’ (duo ginger favorit saya di Youtube); Paddy Leishman menyanyikan ‘All I Want’ di pemakaman sang paman; dan terakhir, Jemma Johnson menyanyikan ‘High Hopes’, nyanyinya biasa aja, tapi cantik, gimana dong (reminds me of Lauren Mayberry from CHVRCHES, bitter version). Ohya, hampir ketinggalan, sembilan, mereka masuk daftar BBC: Sound of 2013, setara sama ‘Savages’,’ The Weeknd’, dan ‘Little Green Car’. Di atasnya ada 'Haim', 'Laura Mvula', dan ya, lagi, ...‘CHVRCHES’.
Last but not least, sepuluh. Hal lain yang saya suka dari Kodaline adalah liriknya. Memories / they seem to show up so quick but they leave you far too soon / di ‘High Hopes’. You were a moment in life / that comes and goes / A riddle, a rhyme / that no one knows / di ‘Talk’, dua bagian lirik ini pas banget diresapi di satu pagi yang berkabut sambil ninyuh kopi. Terus ada I’ll be flicking stones / at your window / I’ll be waiting outside / 'til you’re ready to go di ‘Brand New Day’, bawaannya jadi kepingin jalan-jalan dan pacaran, uuk, :3. Jadi kalau lagi sedih, cocok banget dengerin Kodaline, resapin liriknya sampai cirambay, sampai satu momen kamu terlalu lama sedih dan tiba-tiba ngeh, “Eh musiknya enak juga ya ternyata.” Dan akhirnya kamu pun bingung mau senang atau sedih.
Nah, itu alasan saya menggemari Kodaline. Semoga kalian pun jadi suka, tapi ya, saya tidak memaksa, x).
/
Ditulis Rasuna Adikara untuk ‘The Moderntramp’, Januari 2014. “Jadi, apa pendapatmu tentang ‘Kodaline’?”