Friday, 12 July 2013

THE BRIDGE


Tahun lalu, Critic’s Choice Television Awards kasih anugerah ke (salah satunya) ‘The Following’, sebagai salah satu serial baru yang wajib ditonton. Sampai kelarnya itu serial akhir April kemarin, memang nggak mengecewakan. Jelas saya berharap pada ‘The Bridge’, dapat anugerah yang sama tahun ini (bareng-bareng dua serial Showtime yang saya tunggu banget, ‘Master of Sex’ dan ‘Ray Donovan’).
10 Juli 2013, ‘The Bridge’ tayang kali pertama di FX Network. Jelas lah saya baru nonton besoknya setelah taut unduhan di PirateBay muncul. Ekspektasi saya nggak hancur. ‘The Bridges’ memang menjanjikan. Banyak kemiripan dengan ‘The Following’ memang, sama-sama mengangkat cerita tentang pembunuh berseri, tokoh utamanya detektif yang punya masalah pribadi nan pelik.
Meski skala ceritanya lebih kecil (Ryan Hardy di The Following, agen FBI), Sonya Cross (diperankan oleh Diane Kruger, cantik banget) ‘cuma’ detektif di kota perbatasan El Paso, Amerika Serikat. Tapi plotnya nggak kalah rumit, bahkan mungkin bakal jauh lebih politis ketimbang ‘The Following’ yang menurut saya terlalu meneror.
El Paso ini merupakan kota perbatasan dengan wilayah Mexico. Nggak tanggung-tanggung, kota yang membatasinya adalah Ciudad Juarez, salah satu kota paling tak aman di dunia. Perbandingannya begini, satu orang wanita mati di El Paso bisa bikin geger, tapi ratusan wanita menghilang di Juarez seolah bukan masalah. Di kota itu kabarnya iblis bertahta.
Belum lima menit, penonton udah dibikin geger. Seorang wanita ditemukan tewas tepat di sebuah jembatan yang memisahkan dua negara itu. Bagian perut ke atas tergeletak di El Paso, sisanya di Juarez. Saat itulah kali pertama Sonya bertemu Marco Ruiz yang kharismatik. Marco adalah detektif kota Juarez di Meksiko.
“Ini orang Amerika, kami ambil kasusnya,” ujar Sonya kala berdebat dengan Marco. Nggak debat juga sih, hehe, soalnya Marco tak melawan. “Silakan saja ambil, kami masih punya banyak mayat yang harus diselesaikan di Juarez.” Haha, dan Marco pun minta izin pulang untuk tidur, sementara itu Sonya antusias mengusut kasus ini. Dia pikir, “Nanti aja aku boboknya ama Btok.”


Bahkan iblis pun tak mengizinkan Marco untuk tidur nyenyak malam itu. Ketika diangkat, rupanya mayat itu terpotong dua. Perut ke atas memang orang Amerika, teridentifikasi sebagai Hakim Lorraine Gates. Perut ke bawah adalah Cristina Fuentes, gadis Mexico yang hilang setahun lalu. Ia hanya satu dari ratusan gadis yang menghilang dalam kurun waktu setahun di kota kelam itu. Mau tak mau, Marco harus kerja sama dengan Sonya yang dianggap banyak orang menyebalkan itu (tapi cantik sih, mau gimana lagi).
Padet banget pilot ‘The Bridge’. Pilot itu ibarat gunung es bro’, kalau pucuknya memikat, banyak hal yang masih bisa mengundang penasaran di episode-episode selanjutnya. Kejutan-kejutan macam itu sukses dihadirkan ‘The Following’ hingga episode akhir tahun pertamanya (SPOILER: Claire Matthews nggak mati, ia baru teken kontrak buat season dua). Tentu saya berharap ‘The Bridges’ bakal seperti itu.
Bonusnya, ada Matthew ‘Shaggy’ Lilliard di akhir film. Ia merupakan salah satu saksi kunci/terduga pelaku di kasus pembunuhan hakim Lorraine. Tapi hidupnya justru terancam, gimana dong. Ah peduli amat sih ya Matthew Liliard, buat saya sih yang penting Diane Krueger tetap hidup, tetap tegar, jangan mewek muluk kayak Claire Danes di ‘Homeland’. Hehe.
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta (12/7). Episode pertamanya bisa diunduh di sini >> The Bridge.

Wednesday, 26 June 2013

NAKED AND AFRAID

via NY Daily Times
Bakal gila nih, reality show terbaru keluaran Discovery Channel, ‘Naked and Afraid’ (premiere, 23 Juni 2013, atau dalam Bahasa Sunda, B2B, ‘Bulucun dan Borangan’). Semacam ‘Survivor’, tapi tiap edisi hanya menampilkan dua manusia yang harus bertahan di alam selama tiga minggu, tanpa makanan, minuman, tempat berteduh, dan ...baju. Mereka akan telanjang di alam, seperti manusia purba konon pernah menjalaninya, dan bertahan demi kelangsungan kita.
Denise Contis, produser eksekutif program ini menyebut ketelanjangan adalah cara bertahan hidup yang otentik. Para peserta disebutnya tak canggung untuk bertelanjang demi suguhan survival yang murni. Lagipula menurutnya apa artinya ketelanjangan, jika yang terpikir pertama kali ketika terjun ke lokasi survival adalah bertahan hidup; mencari makan, minum, dan tempat berteduh. Tanpa busana, manusia tak akan jadi fana.
Bagi saya sih pelajaran moralnya, tak perlu malu untuk telanjang, xp (apalagi buat lelaki yang rajin ke Mak Erot, dan perempuan yang rajin ke Haji Jeje). Tapi malulah ketika kita tak bisa menghidupi diri sendiri. Mati kelaparan karena tak mampu beli makan, mati kehausan karena tak bisa beli minum, mati kedinginan karena tak punya tempat tinggal. Karena pada dasarnya, tak perlu di alam liar, dalam dunia modern pun kita sedang bertahan hidup. Di alam liar sana, sandang menjadi tersier, pangan adalah primer, dan papan menjadi sekunder. Di kota, bisa jadi sandang adalah kebutuhan primer, maka tak aneh, penjualan mie instan melonjak tiap akhir bulan.
OOT sih, tapi 'Naked and Afraid' mengingatkan saya pada industri film porno di Jepang. Ini malah membuat saya jadi lebih menghargai Miku Ohashi, Shou Nishino, Manami Suzuki, dan artis JAV lain, haha. Tak banyak yang berani mengambil keputusan ini, "bertelanjang untuk bertahan hidup". Di rekam kamera, di kasur-kasur empuk dalam kamar yang vivid, mereka mengajak kembali ke alam, ...alam nafsu, xp.
Entah kenapa saya jadi mendefinisikan ‘alam’ sebagai, tempat di mana kita berani ‘menelanjangi’ diri. Dimensinya lain dengan rutinitas modern yang kini saya jalani. Beribadah misal, adalah ‘alam’, karena kita tahu di depan Tuhan, semua manusia telanjang seperti ia pertama kali mengirimkan kita ke bumi. Atau misal yang lain, cinta (ahsik!) adalah ‘alam’. ‘Ketelanjangan’ dan ketelanjangan adalah bukti kau memasuki ‘alam’ itu lebih dalam. Jika masih saling menyelubungi diri, mungkin yang dijalani kemudian hari hanya rutinitas modern semata; melamar, menikah, punya anak, punya cucu, mati deh. Tapi saya pikir, tanpa ‘ketelanjangan’ di sisa hidupnya, manusia akan selalu merasa takut.   
Maka inilah menariknya ‘Naked and Afraid’, mengingatkan saya bahwa bertahan hidup bukan hanya soal strategi, melainkan juga intuisi. Episode pertamanya sudah bisa diunduh di Piratebay. Silakan.

BERDAMAI DENGAN BAYANG-BAYANG

via Kumi Yamashita
Setiap orang, pasti punya masalahnya masing-masing. Bahkan mungkin, bagi orang yang paling riang sekalipun. Saya kadang membayangkan, mereka akan menganggap, “Kenapa sih kok saya nggak sedih-sedih?” sebagai masalah. Lucu setiap kali membayangkannya, karena saya dulu begitu.
Bagi saya kini, masalah datang seperti bayang-bayang yang muncul setiap terang, memanjang setiap petang. Dan kita tahu ketika malam tiba, seolah masalah hilang, tapi esok akan muncul lagi dengan hal-hal lebih baru yang harus dipecahkan. Itu mungkin ya mengapa Tuhan membuat bumi berotasi, ...agar manusia punya masalah setiap hari. (INTERMEZZO. Bro, ‘bro’ apa yang bikin muter-muter terus? ...brotasi. *kurang banget, emang, xp*)
(LANJUT) Dan setiap orang, pasti punya caranya sendiri untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Seperti tadi saya bilang, masalah kadang seperti bayang-bayang. Ada orang yang memilih untuk bersembunyi saja di ruangan gelap untuk menghindarinya. Tapi masalah akan terus menungguinya di luar sana. Suatu saat ia juga pasti akan menyerah, lalu keluar rumah, dan terperangah karena bayangan yang itu-itu saja masih setia menungguinya. Sementara itu bagi mereka yang tak bersembunyi, bayang-bayang baru mengikuti mereka setiap hari.
Beberapa lain mungkin menanggapi datangnya masalah dengan marah-marah. “NGAPAIN SIH KAMU NGIKUTIN SAYA TIAP HARI?!?” Jelas bayang-bayang tak akan menjawab. Ia, justru butuh jawaban dari pertanyaan, “Kenapa aku harus selalu mengikutimu?”. Itu takdir bayang-bayang. Ia tak akan pernah lari, ia temanmu paling setia setiap tiba cahaya. Dan malam gelap hanyalah ruang baginya untuk beristirahat. Jelas bagimu juga.
Untuk saya, dengan apa yang telah dipelajari belakangan ini, bayangan tak bisa dilawan. Pernah satu petang saya menginjaknya yang sedang asyik memanjang di tanah yang berbatu. Saking kesalnya waktu itu. Walhasil, kaki saya yang terkilir. Tak berapa lama setelah itu saya mengerti, mengutip orang-orang bijak yang datang lewat mimpi, “Jadikan teman, apa yang tak bisa kau lawan.”
Sejak saat itu saya ‘berdamai dengan bayang-bayang’. Tapi sejak saya menganalogikan masalah dengan bayang-bayang, sulit mengharfiahkannya sebagai, ‘berdamai dengan masalah’. Kurang lebih padanannya yang lebih pas, “saya harus berpikir damai, tenang untuk menyelesaikan masalah.” Karena sesungguhnya, saya menyadari ini kemudian hari, tak ada gunanya marah-marah, tak ada gunanya keluh kesah.
Lalu akhirnya, pada setiap orang hanya bermuara dua cara untuk menyelesaikan masalah. Dengan cara yang menyedihkan, atau cara yang menyenangkan. Saya memilih cara yang kedua. Karena saya tahu seperti bayang-bayang, setiap satu masalah usai tiap harinya, akan berganti masalah baru kala esok mentari terbit. Saya tak mau saja menghabiskan sisa waktu saya secara menyedihkan, toh masalah hanya terselesaikan, tapi tak akan pernah pergi. Juga alasan lainnya sih saya tidak mau lagi terkilir kaki, hanya karena melawan apa yang tak bisa dilawan.
Maka itu saya percaya kutipan yang saya bikin sendiri terinspirasi dari Peter Parker ini, haha, “Semakin tegas cahaya, semakin kuat bayang-bayang kita.” Lalu mengapa harus sembunyi dari kilau, bila kita bisa jauh lebih kuat daripada bayang-bayang. Karena di bawah naung cahaya, selalu jadi hal yang paling menenangkan, x).
- - -
Ditulis oleh Btok di Jakarta Selatan (26/6). 

Monday, 10 June 2013

HE HEHE HEHEHE

Sebelumnya saya tak merasa sesepi dan semencekam ini di kota orang. Jakarta menjadi sebuah kota yang sudut-sudutnya saya pandang dengan penuh curiga. Malam kemarin saya ingat, pulang dari kantor lepas tengah malam, naik angkot ke Pondok Indah, lalu jalan kaki ke Radio Dalam. Tak sedetikpun saya merasa tenang, rasanya, malam begitu memburu orang-orang yang sedang ketakutan seperti saya.
Sebabnya, Si Legendaris, motor butut kesayangan saya tiba-tiba dicuri orang tiga hari sebelumnya. Sedih bercampur sedikit heran. Buat yang sudah mengenal dan menumpang motor saya, mereka berduka, tapi pasti ujungnya tertawa.
"Kok bisa motor kayak gitu dicuri," ujar mereka sambil tertawa. "Mabok kali tuh yang nyuri," ujar yang lain. "Dimarahin tuh pasti sama bosnya pas lapor hasil malingan," ujar seorang lain sambil tertawa. Saya hanya ikut senyum saja, mengiyakan, tapi sulit membikin tawa semengembang apa yang mereka maksud untuk menghibur saya. Yang bisa menarik ceria ujung dua bibir ini juga pergi, mungkin ikut dimaling orang malam itu.
Motor itu sudah menemani saya ke mana-mana. Ke selatan, paling cuma sampai Pantai Pangumbahan waktu Kuliah Kerja Nyata, 2008 lalu. Timur dan Utara, ya paling jauh ke Jakarta ini, keliling-keliling berguna sekali untuk meringankan beban kerja saya. Nah, paling jauh ke barat, saya boleh bangga, meski sayapnya cuma sebelah, motor itu bisa mengantarkan saya hingga Pulau Dewata, medio 2008-2009.
Banyak kenangan manis, tak jarang juga kenangan pahit terjadi di atas joknya yang sudah terasa begitu keras. Seingat saya, dengan motor ini saya cuma jatuh dua kali. Pertama kali, waktu mau potong rambut di Buah Batu, Bandung, dua bulan setelah beli motor. Terakhir di Jakarta, 2013, pas mau masukin cucian ke laundry. Dua-duanya tak pernah memberi luka parah, hanya bocel-bocel sedikit saja. 
Luka paling parah dan laten paling hanya efek pantat tepos. Sebabnya, jok motor ini yang sudah tak diganti  bertahun-tahun. Busanya entah mengendap jadi apa, tentu saja jadi keras, itu motor jarang saya urus. Jadinya merasa bersalah sekarang. Kalau si Legendaris manusia, ia tak sempat saya bahagiakan, selalu ia melulu buat saya bahagia.
Ia jarang mogok meski jarang diservis, dan dipacu tanpa sempat dipanaskan. Buat motor Suzuki Smash, yang orang bilang karya gagal, motor ini termasuk yang bandelnya. Paling-paling masalah yang kerap menghambat adalah rantai yang terlalu cepat kendor, atau ban yang terlalu cepat bocor.
Nggak nyangka, Tuhan kasih saya kesempatan delapan tahun untuk memiliki motor ini. Delapan tahun sedikit, karena saya ingat persis, beli motor ini di dealer Suzuki, Jalan Kiaracondong, Bandung, yang kini kalau tak salah sudah berubah jadi dealer Proton.
Tanggal 2 Juni 2005, waktu itu beli pakai uang warisan almarhumah nenek, kata Mama. Tanpa banyak basa-basi, nggak sampai dua jam itu motor sudah ada di garasi rumah. Itu motor nantinya menemani saya dari sekadar jalan-jalan, main ke kosan teman, pacaran, nyambi kerja, kuliah sampai lulusnya enam setengah tahun kemudian.
Habis itu sempat bimbang, Mama menawarkan, "Kamu mau ganti motor saja nggak?" Waktu saya diterima kerja di sebuah perusahaan media di Jakarta. Kondisi si motor sudah jauh dari fit, diservis sedemikian rupa pun, sulit untuk bisa melaju di atas 80 km per jam. Tapi saya bilang, "Andi bawa aja dulu ke Jakarta ya, Mah?"
"Yakin kuat dibawa ke sana?" Kata Mama. Saya mengangguk, percaya bahwa si Legendaris selalu bisa diandalkan.
Saya pikir, saya akan pakai motor ini sampai ia nggak bisa jalan lagi. Atau mungkin bila tiba-tiba sahabat saya 'kecelakaan', dan menikah dalam waktu dekat di Padang Sidempuan. Saya punya niat untuk menyetor dan memuseumkan motor saya di sana, setelah sebelumnya dibawa lewat jalur darat. Seburuk apapun kondisi fisik dan mesinnya, motor ini pernah dan selalu sangat berguna buat saya. Saya pikir kebutuhan akan motor baru memang mendesak, tapi ya mau gimana lagi, si Legendaris tak rusak-rusak, dan si kawan tak nikah-nikah.
Saya pikir ini komitmen atas apa yang sudah saya pilih. Daripada membeli yang baru, lebih bagus, kencang, dan muda, saya ingin mempertahankan yang lama. Hanya saja yang saya sesali, kadang upaya itu sebatas wacana. Yang paling saya sesali adalah, "Kenapa saya biarkan motor saya, diparkir di luar kosan tiga bulan berturut-turut? Kenapa saya tidan beli gembok biar lebih aman? Kenapa ketika sempat dibobol, kewaspadaan saya tidak bertambah? Kenapa ya mau cuci motor aja sampai harus disindir dulu? Kenapa motor dibiarkan tanpa rem depan dan belakang?" Intinya, saya sayang, tapi tak ada upaya untuk mengapik-apik.
Dan semakin menyadari itu, kehilangan menjadi penyesalan yang tak tahu di mana akan berujung. Meski kini sudah mencicil gantinya, (alhamdulillah), tapi tak akan sama rasanya. Lebih muda, lebih kencang, lebih bagus memang, tapi dalam beberapa hal, tak semua yang lebih menjadi semua yang kita inginkan. Momen ketika kamu menemukan yang tepat: ketika yang diberikan, tak lebih dari yang kuinginkan. Ketika pas takarannya semacam sebuah kesempurnaan. Itulah gambaran hubungan saya dengan si Legendaris, berlebihan memang. Tapi buat yang pernah punya riwayat panjang dengan sebuah barang, pasti pernah merasakan hal yang sama.
Dan ketika hilang, dada terasa amat sesak, langkah terasa limbung, pikiran melanglangbuana entah ke mana. Setiap orang yang berkata, "Sabar ya," malah membuat linang air mata. Ketika sudah begitu saya suka mencegah bahu saya dipegang atau ditepuk-tepuk. Biar tidak terlihat cengeng saja, meski tak salah untuk menangisi kehilangan sesuatu yang kita sayangi.
Dan perasaan kehilangan itu entah sampai kapan akan berlanjut. Sunyinya mencekam. Di dalam keramaian, seperti dalam lagu Dewa 19, terasa kesenduan. Pikiran yang masih trauma ini hanya berpikir, "Kok tega ya, :(." dan seketika dalam bayangan saya, porsi orang jahat di Jakarta melesat jauh lebih banyak dibanding orang baik.
Itu yang membuat saya setelah kejadian itu bersikap lebih tertutup, mungkin. Saya tak ingin menyinggung orang lain dengan rasa curiga saya yang menggunung. Atau membuat orang lain merasa kesal dengan kesedihan saya yang berlarut. Saya hanya ingin setelah menjalankan kewajiban sehari-hari, pulang saja ke kosan secepatnya, berbaring, dan berusaha tidur. Saya cuma ingin memejamkan mata dan meredakan apa yang berdegub-degub dalam dada. Saya ingin tidur saja agar tak perlu memikirkan apa-apa, dan bangun lagi setelahnya, tapi bukan untuk esok hari, ...
...,melainkan untuk kemarin, lusa, kemarin lusa, dan waktu-waktu yang terasa indah dan ramai sebelumnya, sebelum banyak hal-hal yang saya sayangi satu per satu hilang.
- - -

Ditulis oleh Btok, di Jakarta Selatan, (10/6). Selamat tidur, sampai jumpa kemarin hari. 

Sunday, 19 May 2013

SEMBILAS


KAREUMBI


Inisiasi Kareumbi. Sebagian peserta, WAP, RP, MAP, AP, ATW, AB, MT, ADC, S, GM, DIB, Mas W alias Mas A, AS, MRK, IG, IW, SGM, AB, MY (searah jarum jam). photo: Istman MP

1.
Kantorku dan organisasi pecinta alam Wanadri adalah saudara perse'Yusril'an. Paling tidak begitu kata Direktur Utam, BHM saat mengunjungi kami yang tengah diinisiasi di hutan Kareumbi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Yusril yang dimaksud adalah Yusril Djalinus, ia adalah pendiri 'T', sekaligus pelopor (angkatan kedua) Wanadri yang didirikan pada 1964. Sebagai hubungan kekerabatan dua organisasi ini, di Kareumbi ada bukit yang dinamai Yusril Djalinus, dijaga oleh Wanadri, dan diserah tanami pada 'T'. Sudah 999 pohon ditanam 'T' di bukit itu.
"Kami diminta menanam 1.000 pohon, tapi Yusril menyukai angka sembilan," ujar BHM di depan api unggun kepada peserta inisiasi, Jumat, 17 Mei 2013. Banyak cerita menarik yang dilontarkannya mengenai Yusril malam itu. Rupanya kegemaran terhadap angka sembilan itu juga pernah disakralkan oleh 'T'.
Misal, kantor 'T' di Pegangsaan, Jakarta Pusat dulu benomor alamat 72. "Kalau digabung jadi sembilan," ujarnya. Peserta terkekeh dengan upayanya mengait-ngaitkan itu. Intinya tentang Djalinus, ia berpesan pada para calon pengikutnya agar bisa menjadikannya sebagai panutan. Atau yang mengutip sejawat medianya, JO, "Jadilah seperti wartawan 'T' yang militan," ujar ia. Meski kami sendiri mengartikan militan sebagai 'milih-milih liputan', xp.
BHM datang hampir larut malam. Ia datang saat energi kami hampir terkuras habis seharian. Paginya kami diantar dari Jakarta dengan truk TNI-AL, menghabiskan 4-5 jam perjalanan, termasuk satu jam perjalanan di jalan berbatu. Menjelang sore kami disuruh mendirikan tenda darurat pengungsi untuk simulasi. Tenda yang besar sekali, seperti yang sering saya lihat di area perang-perang klasik di serial 'Game of Thrones'. Tingginya bisa sampai lima meter, luasnya mungkin 70 meter persegi.
10 orang terpilih (baca: sial) yang punya kesempatan mendirikannya. Beres juga akhirnya dalam waktu kurang lebih satu jam. Pembimbing kami dari Wanadri tanpa ditanya mengatakan tim terlatih seperti dirinya hanya butuh waktu 10 menit untuk mendirikan tenda macam ini. Beberapa peserta kaget dan kagum, beberapa lainnya yang bersikap skeptis tak tahan untuk berkomentar, "Ya terus?"
Biarlah untuk masalah itu kami terbagi. Yang pasti kami sore itu dipersatukan dalam lelah. Yang dimaksud kami dalam acara ini adalah 19 orang reporter, terdiri dari dua angkatan yang masuk pada 2011. Lima orang redaktur. Termasuk sebagian panitia yang memilih untuk menggandakan beban kerjanya karena merangkap sebagai peserta.
Ada sedikit cerita lucu, ada satu tim yang diminta pembina Wanadri untuk mencarikan data mengenai kampung tempat wilayah Kareumbi berdiri, seakurat, dan selengkap mungkin. Ini melengkapi dua tim lain yang ketiban sial mendirikan tenda darurat. Dalam tim pencari data itu, selain terdapat beberapa redaktur yang pengalamannya sudah teruji, juga ada beberapa reporter yang kini jadi andalan 'T' untuk menguak kasus di beberapa pos vital seperti KPK dan Mabes Polri.
Ketika mereka pulang merepresentasikan 'hasil belanjaannya', pemberi tugas tampak kagum dengan pencapaiannya yang akurat dan 'terlalu' lengkap. Ya kami di tim tenda sudah tak aneh. "Ya jangankan data lengkap soal demografi kampung, data korupsi di sini pun bisa kami ungkap," ujar salah seorang kawan. Asu, x)).
Pada malam harinya, penderitaan kami belum berakhir. Peserta dibariskan untuk ikut 'jurit malam'. Tiap orangnya diberi 'kesempatan' untuk menjelajahi hutan gelap selama satu jam, sendirian. Total peserta malam itu, 28 orang, karena sebagian lupa membawa senter sehingga tak diizinikan untuk ikut jurit malam.
Satu orang kesasar. Kesasar yang unik karena dari total tiga jam perjalanan malam itu (dua jam lagi dilakukan secara berkelompok), ia hanya menempuh waktu 20 menit. "Saya nyasar (waktu jalan sendiri), nggak nemu yang lain, baru nyadar kalau nyasar. Tiba-tiba ada lampu, saya jalan ke sana, tahu-tahu udah di basecamp lagi aja," ujar sang kawan, MT, memberi klarifkasi.
Hal tersebut jadi bahan perbincangan hingga BHM datang dan tahu pada malam harinya. Seorang teman menyampaikan padanya, "Mungkin memang jumlah rombongan tadi harus berkurang (nyasar) satu orang, jadi total hanya 27 orang, karena kan Yusril Djalinus menyukai angka sembilan."
Kami semua hampir tertawa mengelilingi api unggun yang tak mati meski hujan cukup deras. Betapa alam lewat Yusril, mempersatukan kami lewat caranya yang lucu.
2.
Dalam forum yang sama, BHM memberikan informasi lain yang tak kalah pentingnya. Tentang rencana bonus, tentang rencana konvergensi media (termasuk kemungkinan merangkap sebagai reporter TempoTV), tentang kondisi perusahaan terkini, tentang rekam jejak inisiasi-inisiasi di masa lampau yang tak kalah gilanya. Soal yang terakhir, yang saya baca di buku tentang 'T" ketika kuliah dulu, selalu diakhiri dengan menceburkan diri di kolam renang Wisma 'T' di Sirnagalih, Bogor. Setelah itu, barulah bisa  dengan bangga menyebut diri sebagai wartawan 'T'. Sah.
Saya berpikir ritual seperti itu akan berakhir. Apalagi di Kareumbi tidak ada kolam. Tapi saya lupa, di sini banyak sungai yang mengalir jernih.
Maka datanglah waktu yang ditunggu. Setelah dua jam belajar navigasi dan membuka jalur esok paginya, waktunya 'main air' tiba. Inisiasi lengkap, karena akhirnya kami nyebur dan 'membasahi diri'. Bukan di kolam Wisma 'T', melainkan sungai jernih di wilayah konservasi alam Kareumbi. Tradisi memang tak berlanjut, tapi mungkin saja kelak kami bisa menambah halaman baru jika buku Seandainya Saya Wartawan 'T' dicetak ulang dan diperbarui, hehe.
3.
Pada akhirnya saya berterima kasih pada alam, pada Wanadri yang mempersilakan kami mencicipi 1/32 porsi pelatihan dasar yang biasa mereka berikan dua tahun sekali pada calon anggota. Untuk SDM 'T' pun, saya bilang saya senang. Tapi tetap nggak mau bilang terima kasih secara utuh, ahaha. Masa iya, kami harus berterima kasih pada orang-orang yang membiarkan kami untuk disiksa.
Tapi ya, sebagian terima kasih tetap terucap pada SDM ‘T’ yang membiarkan kami untuk belajar tentang kerja sama di alam. Pada para redaktur yang tak gengsi 'diperintah' reporter di hutan. Pada mereka juga yang tak mengeluh (justru semangat) mengikuti kegiatan. Pada kakak angkatan yang memberi banyak pelajaran tentang liputan kala senggang di depan api unggun. Pada teman-teman seangkatan yang lebih membuka diri untuk dikenal. Dan pada saya sendiri, haha, yang menyadari bahwa ada beberapa hal yang tak bisa selalu dilakukan sendiri.
Karena pada akhirnya kita hanyalah makhluk sosial. Maka jangan sungkan kala membutuhkan, dan jangan menahan bila dibutuhkan. Sebab akhirnya kata The Beatles pun, the love we take, is equal to the love we make.
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (19/3). Cuma dua hari di hutan, tapi rindunya menggunung pada 'rumah' tempatnya melepas lelah, tempatnya merasa membutuhkan dan dibutuhkan, x).

LAYU

1.
Yang kutakutkan bukan apa.
aku akan kembali terjaga nanti pagi,
Tapi siapa,
yang akan membangunkanku esok hari.
Karena bisa saja ia kawan
yang tak terlalu kukenal.
Bisa saja ia sopir atau kernet truk
yang memberiku tumpangan
Bisa saja ia mandor kuli angkut pelabuhan
yang memberiku sepiring makan.
Atau bisa saja itu popor senjata,
dalam genggaman tuannya yang menatapku nyalang.
Andai saja itu kau tiap pagi,
dan senyummu yang berisi seperti runduk
padi.
Kepadamu selalu rindu tersimpan,
walau terlampiaskan
hanya pada pengandaian.
Dalam pelarian.

- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (19/3) setelah membaca kisah Wiji Thukul. Mewakili perasaan rindunya pada 'rumah'. Begitu pula sebaliknya.