Wednesday, 17 April 2013

DO IT AGAIN


1.
“You were insatiable
I was more than capable
And you fought in my corner
Would you do it again?
I said one more time
Let’s do it again...”

Bukan, bukan. Ini bukan masalah duit lagi (percayalah ini bukan sekuel dari >>ini<<). Hehe. Ini jelas masalah imateril. Camera Obscura merilis single terbarunya, 'Do it Again'. Rasanya, tak bisa terbayarkan oleh apapun.
Rasa yang sama kala pertama kali mendengar 'Lloyd, I'm Ready to Be Heartbroken'. Irama riangnya yang kinetis. Genjreng gitar yang renyah, talu-talu drum yang bikin berjingkat. Ah, apa lagi coba alasan untuk tidak goyang bersama ala pasangan retro di video klip 'Lloyd'.
Bagian favorit saya di lagu baru ini, 'Said call my number, 26 and 3/4'. Lekuk vokalnya mengajak lidah ikut bergoyang (ya, kayak bakso, xp). Tak sabar menunggu 'Desire Lines' keluar albumnya, Juni mendatang, >.<.
- - -
Ditulis oleh Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (17/4) sambil denger lagunya >>di sini<<.

Tuesday, 16 April 2013

CELAKA


1.
DUARR! 

Bom meledak di sebuah ajang maraton. Jauh sekali dentumannya dari sini. Tapi ada yang ikut bergetar, mungkin sepasang kuncup hati. Melihat orang-orang yang berlari tiba-tiba berhenti. Orang-orang yang diam, tiba-tiba terbirit-birit. Dalam raut muka yang gelisah.
Resonansi simpati. Atau mungkin pula getar ketakutan. Karena setelah tragedi di Boston, Senin, 15 April 2013 waktu setempat, saya percaya bahwa 'celaka' bisa datang kapan saja.
"Aku bisa membakarmu, hari ini," bunyi sepenggal lirik band folk asal Bali, Dialog Dini Hari. Judul lagu itu, 'Oksigen'. Ada satu sisi yang sama antaranya dengan 'celaka'. Ia ada di mana-mana, tak kasat mata, dan bila tiba saatnya bisa amat berbahaya.
Hanya saja 'celaka' lebih gila. Ia tak hanya bisa membakarmu. Bisa mengoyakmu, menghantammu, membekukanmu, mencacahmu jadi tak terhingga. Hanya saja celaka, tak pernah ada untungnya. Kita tak bisa menebak kapan datangnya.
Beberapa orang memilih mengantisipasi dan menghindari 'celaka'. Tanya saja pada mereka yang menghimpit rapat kantongnya di kendaraan umum, pada mereka yang enggan berjalan di gang-gang sempit, gelap, dan kumuh, pada mereka yang diam-diam lari kala sekumpulan orang-orang berjanggut memakai sorban bersamuh.
"So when you spot violence, or bigotry, or intolerance or fear or just garden-variety misogyni, hatred or ignorance, just look it in the eye and think, "The good outnumber you, and we always will"," ujar komedian Patton Oswalt bersimpati atas tragedi Boston. Itu yang terpikir bila nasib, hanya saya yang menjalani. Tapi belakangan saya justru terlalu khawatir dengan takdir orang lain.
Ibu saya gemar pamer punya banyak musuh, karena ia selalu tegas pada apa yang dipikirnya benar (keras kepala). Banyak teman saya pun mengadu nasib di tempat berisiko kerja lumayan tinggi. Tapi saya tak selalu ada untuk mereka. Minimal untuk berkata jangan takut ketika mereka cemas. Lalu melanjutkan kalimat Patton Oswalt yang sudah saya kutip di atas. Intinya, "Masih banyak orang karimah, tak elok terlalu gundah..."
"...Setidaknya kini satu, yang terdekat darimu, berusaha menjadi orang-orang yang tak perlu kau risaukan." Hanya ingin membuat mereka percaya dan sedikit lebih tenang. Meski kekhawatiran pada ‘celaka’, tak pernah ada habisnya. Rasanya sering terpikir untuk selalu bersama. Paling tidak untuk meredam kegelisahan.
Hanya saja kita tak bisa selalu dekat, apalagi selalu bersama. Maka tak ada lagi Dialog, tak ada lagi Oswalt. Akhirnya cuma doa, untuk kalian selalu sentosa dan bahagia. Semoga orang-orang baik selalu berada di sekeliling kalian. Amin, :).
- - -
Ditulis Btok di Bulungan, Jakarta Selatan (16/4) beberapa jam setelah bom meledak di Boston Marathon, Amerika Serikat. Dua tewas, seratus lebih terluka. Doa boleh luput, tapi amunisinya tak pernah habis.

Friday, 5 April 2013

KATH DAN LILU

via Andy Prokh


1.
Akhir pekan ini, mari kita berkenalan dengan Lilu. kucing british shorthair gembil piaraan fotografer Rusia, Andy Prokh. Kucing ini menemani dan menjaga si kecil Katherine tumbuh, keduanya bak sepasang sahabat.
Andy merekam persahabatan ini dalam foto-foto hitam putih yang magis nan mengagumkan. Bakal jadi kenangan yang tak terlupakan kelak Katherine dewasa. Buat saya, dua makhluk itu sama-sama bikin gemes, meski sebenarnya saya takut kucing. Apalagi kucing yang suka liatin saya lagi enak makan. Hrr.
Andy terpesona akan keduanya. Maka tak ada jalan lain untuk mengabadikan pesona itu. Lagipula menurutnya, "Saya mencintai keduanya, dan selalu percaya, seorang fotografer harus mencintai apa yang ia potret."
- - -
Ditulis Wichita di Bulungan, Jakarta Selatan (5/3) sambil bertanya apa binatang peliharaan favoritmu? Seri foto Andy Prokh tentang Katherine dan Lilu bisa dilihat di sini.

Wednesday, 3 April 2013

THE BLUE ROSE


1.
Sedikit banyak saya tahu, salah satu penyanyi yang gemar bunga mawar adalah Morrissey. Terutama mawar biru. Makanya nggak heran, kalau ada serial berjudul 'The Blue Rose' yang tiap episodenya menggunakan judul-judul lagunya.
Episode pertamanya saja berjudul 'There is a Light That Never Goes Out'. Ngehits banget emang. Meski ya, jarang saya dengar film seri dari negeri buah kiwi itu. Mau coba maraton nonton ah mulai malam ini, terlebih karena aktris utamanya, Antonia Prebble, bak perpaduan Shannen Doherty (Charmed) + Martine McCutcheon (Love Actually), hehe. Sinopsisnya baca di sini saja ya.

Tapi sebelum nonton serinya yang baru pilot 4 Februari lalu (1 April kemarin, meluncur episode 9, 'Suffer Little Children'), saya malah penasaran ingin tahu lebih banyak tentang: hubungan Morrissey dan mawar biru.
Usut punya usut (googling doang sih), ternyata sekumpulan fans misterius sudah bikin Blue Rose Society. Misinya sederhana saja, tiap Morrissey konser, mereka membawa setangkai bunga mawar. Gerakan yang digagas di dunia maya ini mulai bergulir pada Agustus 2011 lewat akun maya MorrisseysWorld. Musababnya, mereka tahu si paman gemar Oscar Wilde, novelis klasik ini terkenal mengagungkan bunga, terutama mawar dalam tiap karya-karyanya.
Pada 28 November 2011, untuk kali pertama Morrissey menerima mawar (merah) kala manggung di Pomona, Los Angeles. Sejak itu, hampir tiap konser, Morrissey selalu kebanjiran mawar. Dan yang bikin seru (katanya), Morrissey menolak menerima bunga lain, selain mawar. Apalagi mawar biru yang konon merefleksikan simbol cinta tak berbalas (ciyan). Mawar biru ini, baru pertama kali diterima Morrissey di atas panggung pada October 2012 dalam konser di New York.
Sejak 2012 bahkan boleh disebut, blue rose ini jadi semacam cult bagi yang mendewakan Morrissey. Kelompok ini dibanding-bandingkan dengan Green Carnation Society, sekumpulan fans misterius yang menyematkan anyelir hijau di bajunya untuk menghormati Oscar Wilde. Eh ternyata, sang fans penggagas itu tak lain adalah Oscar Wilde sendiri.

Makin sini, banyak penggemar mulai curiga jangan-jangan Morrissey pula yang berada di balik Blue Rose Society. Udah jadi 'dewa' kayak dia sih, selalu ada banyak cara untuk mengagumi diri sendiri.
Tapi biarlah misteri jadi misteri, yang pasti penggemarnya di seluruh dunia jadi tahu apa yang harus dilakukan ketika ia bertandang manggung.
- - -
Ditulis oleh Rasuna Adikara di Bulungan, Jakarta Selatan (3/4) sambil berharap Morrissey muncul jadi cameo di serial 'The Blue Rose'.
- - -

Thursday, 28 March 2013

TELEPON DAN MASTHEAD



1.
Hari ini, dua anggota Gank Pentul dapat kebahagiaannya masing-masing. Teman saya, Pragut dapat kebahagiaan yang luar biasa. Sore tadi ia ditelepon, lamarannya untuk menjadi wartawan yang enak dibaca dan perlu, diterima. Kata pacarnya, ini merupakan pekerjaan impiannya sejak lama. Selamat ya. SAH!
Sementara saya juga bahagia. Tapi ya memang tak luar biasa kadarnya. Akhirnya nama saya sudah masuk di masthead koran dan majalah. Lumayan buat pamer nanti ke anak cucu. Hihi, waktu kuliah dulu cuma membayangkan, apa mungkin nama saya suatu saat tercetak di sana. Eh tiba juga di hari itu, hari yang dulu mah rasanya, jauh dari angan-angan, x).

Semoga kelak lebih banyak kabar bahagia yang datang menghampiri. Untuk saya, kamu, dan kalian semua. Amin.
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (28/3) sambil berdoa.
- - -

Wednesday, 27 March 2013

HORRRMON



1.
"It must be the hormones."

Itu jawaban yang akhirnya saya temukan ketika Dian Sastrowardoyo tak lagi menarik paska 'Ada Apa dengan Cinta'. Ia terlalu banyak tampil di mana-mana. Sampul majalah, iklan, serial televisi, hingga papan-papan iklan raksasa di sudut kota.
Itu juga jawaban untuk pertanyaan mengapa puisi-puisi Joko Pinurbo tak lagi memikat untuk dibaca. Setelah ia rajin berkicau dan membikin buku dari cuitannya.
Saya tereksploitasi oleh kehadiran mereka yang jadi begitu sering. Bosan? Tidak, hanya saja tak bisa lagi menikmati rindu.
Bukan berarti kala itu Dian Sastro jadi tak cantik. Bukan juga puisi-puisi baru Joko Pinurbo tak layak dibaca. Hanya saja saya tak ingin 'bertemu' dulu dengan mereka.
Tak ada jawaban lain. Bukan bosan, bukan berpaling, bukan juga benci. Kata teman, mungkin itu pengaruh hormon. Kurang cantik apa Dian Sastro, kurang menarik apa coba buku-buku Joko Pinurbo.
Kata teman, bisa jadi apa yang pernah dan saya alami adalah pengaruh hormon. Namanya endorfin. Suatu malam ia membeberkan begitu jelas pada saya. Analoginya begini, "Apa hal yang paling membikinmu ketagihan? Masturbasi misalnya."
"Kamu melakukannya tiap hari dan merasa senang. Itu candu yang ada dalam tubuhmu. Tapi ya namanya candu, harus ada takarannya, agar tak berlebihan dan merusak" ujarnya. Maksud Dian dan Joko jelas baik, tapi dosis yang mereka beri, sudah lebih dari cukup. Saya tak mau berlebihan dan merusak. Saya butuh sekadarnya saja.
Endorfin itu candu. Lihat saja etimologinya dari Bahasa Yunani Kuno, endo (berada di dalam) dan morphine. Banyak pakar berkata inilah hormon kebahagiaan. Tapi jangan lupa, ada morphine di sana. Dan saya harus sadar, bahwa kebahagiaan pun bisa mengenal kata ketergantugan.
Karena itu, saya hanya ingin membuktikan bahwa, kebahagiaan saya tak hanya didapat dari melihat Dian Sastro di 'AADC'. Atau membaca antologi puisi 'Celana' Joko Pinurbo. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa bahagia dengan banyak cara lain. Meski tetap percaya bahwa suatu hari saya akan rindu, betapa cantiknya Cinta, dan betapa menggelitiknya puisi 'Celana Ibu'. Karena saya selalu menyimpan itu.
Lagipula, tak ada salahnya kan menyimpan yang terbaik, untuk sebuah akhir yang romantik, :).
- - -
Ditulis Btok di Radio Dalam, Jakarta Selatan (27/3). Tabik.

Tuesday, 26 March 2013

SILVER LININGS PLAYBOOK



1.
'Badai Pasti Berlalu', itu mungkin jadi padanan yang pas terhadap istilah 'silver lining'. Sementara itu 'playbook', dikenal dalam istilah American Football semacam buku strategi yang tebal dan rumitnya minta ampun.
Kata itu menjadi istilah umum, yang artinya kurang lebih seperti tutorial panjang lebar. Barney Stinson dalam serial 'How I Met Your Mother' misalnya, punya buku The Playbook: Suit Up, Score Chicks, Be Awesome, kurang lebih berisi tata cara yang baik dan benar untuk menjadi playboy (Halah, playboy kok baik dan benar, :p).
Dalam film terbaru David O. Russell, 'Silver Linings Playbook' kita tidak diajak ke lapangan hijau. Melainkan ke lantai dansa yang mempertemukan Pat Solitano (Bradley Cooper) dan Tiffany Maxwell (Jennifer Lawrence). Ini drama komedi tentang orang-orang gila.
Pat gila sejak lahir. Ia menderita bipolar disorder. Delapan bulan terakhir ia harus mendekam di panti rehabilitasi. Sebelumnya, ia menghajar habis pria yang menyelingkuhi istrinya. Di rumahnya sendiri. Di bathub tempat ia biasa mandi. Penyelewengan yang diiringi lagu 'My Cherie Amour' milik Stevie Wonder. Lagu pernikahan mereka.
Tiffany gila sejak suaminya meninggal. Ia depresi, karirnya hancur, kehidupan sosialnya lebur. Ia kini lebih dikenal sebagai janda muda, cantik, menggairahkan, yang haus seks.

2.
Keduanya bertemu kali pertama di rumah sahabat Pat, Ronnie dan Veronica Maxwell (John Ortiz dan Julia Stiles). Mereka memang berencana menjodohkan dua orang yang sarat masalah itu. Tapi manusia berencana, Tuhan tetap yang menentukan. Siapa sangka, delapan bulan sejak kejadian yang amat menyakitkan hatinya, Pat masih berupaya mendapatkan kembali sang istri, Nikki (Brea Bree).
"If you stay positive, you have a shot at a silver lining," ujar Pat. Dalam film ini, tipis bedanya definisi optimistik dan pathetic.
Namun inilah jalan awal bagi pemirsa untuk menikmati hubungan keduanya. Tiffany sudah putus urat malunya. Ia menganggap Pat yang tak kalah gila adalah jodoh baginya. Dua-duanya dalam kondisi saling ingin memperbaiki diri. Pertanyaannya, berapa lama keduanya bisa bertahan terjebak dalam hujan yang tak kunjung reda?
Maka Tuhan pun merentangkan tali silaturahmi melalui dansa dan American Football. Pat punya ketergantungan yang unik pada Tiffany. Ia satu-satunya wanita yang sudi membantu kirimkan surat pada istrinya. Ia tak bisa mengirim sendiri karena dilarang mendekati sang istri oleh pengadilan. Syarat yang diberi Tiffany susah-susah mudah, Pat harus menemaninya dalam komptenesi dansa.
Pat setuju, namun belum usai meniti langkah, datang lain masalah yang lebih maskulin. Tiba dari orang-orang terdekat Pat, keluarga yang amat fanatik tim Philadelphia Eagles. Terutama bapaknya, terlebih karena ia gemar bertaruh, dan menganggap Pat sebagai lucky charm.

3.
Sejak 'The Fighter' saya merasa Russell punya ciri khas piawai mengelola drama. Dalam 'Silver Linings Playbook', intensitas gairah konfliknya ditata dalam dosis yang teratur. Dari mulai dialog-dialog sensitif antar kedua tokoh utamanya, syarat pamrih dansa, hingga keluarga Pat yang posesif.
Jejak 'The Fighter' dalam film terbarunya ini kentara. Situasi yang kompetitif dicampur dengan bumbu dialog yang cerkas dan jujur. Russell pun punya banyak cara untuk mengelabui penonton yang sok tahu menerka akhir filmnya. Satu lagi, ia begitu paham bahwa Amerika (juga dunia yang mengiblatinya) sedang candu pada masalah keluarga.
Film ini menemukan dua karakter 'gila'. Pat yang bipolar sejak lahir dan Tiffany yang karena gila, jadi liar. Karena dua gila tak bisa menghasilkan satu normal, maka hadirlah kegilaan yang riang, emosional, namun juga dramatis.
Bradley Cooper memerankan Pat secara mengejutkan. Ia keluar dari stereotip perannya yang kadung terkenal lewat calon trilogi 'The Hangover'. Jennifer Lawrence? Ah dia mah selalu memberi yang terbaik sejak Winter's Bone. (dengan catatan, saya belum nonton The Burning Plain, hiks).
Akting mereka berkawin di film ini (kabarnya hubungan ini berlanjut dari satu festival ke festival lain). Jika nanti Oscar jatuh ke genggaman Jennifer, ia berutang satu ciuman panjang pada Bradley yang membantunya menghayati perannya dalam film sarat prestasi itu. “Saya tak bisa membayangkan orang lain memerankan Tiffany,” ujar Bradley menyanjung.
Saya setuju pada penilaian Peter Travers dari Rolling Stone ini terhadap peran yang dimainkan Jennifer, "She's rude, dirty, funny, foulmouthed, sloppy, sexy, vibrant and vulnerable, sometimes all in the same scene, even in the same breath." Itu pencapaian gila, dari aktris yang berperan sebagai orang setengah gila.
Di pilar pendukung, dua tokoh membuat film ini terasa lebih baik. Keduanya adalah Patrizio Solitano, diperankan oleh Robert de Niro, dan Danny, sahabat Pat di rehab, ditokohkan oleh Chris Tucker. Keduanya mencampur-adukkan definisi 'keluarga' dan 'teman' jadi istilah yang sama. Mereka tak bisa ditentangkan, karena kamu membutuhkan keduanya untuk melengkapi hidup.
Love interest, keluarga, teman jadi unsur yang membikin konflik dalam upaya Pat menggapai kembali cinta istrinya. Pertanyaannya, apakah Pat bisa melalui konflik-konflik itu, atau justru hidup bersama konflik-konflik tersebut?



4.
Dan akhirnya, dari film ini saya belajar pada kata-kata seperti yang sudah dikutipkan di atas. Selalu ada 'silver lining' dalam setiap masalah, dan kita hanya perlu terus mencoba berpikir positif. Tapi sayangnya, Tuhan tak selalu menjanjikan Jennifer Lawrence turun dari balik awan untuk memecahkan masalah bersama. Hehe.
- - -
Silver Lining Playbook (2012). Directed by David O. Russell. Starring: Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert de Niro, and Chris Tucker. The Weinstein Company, Mirage Enterprises. (122 minutes) Rating: 4/5, Lejatt!