Monday, 29 December 2014
Tuesday, 23 September 2014
THE FAULT IN OUR STARS
1
#15MENIT - APA SAJA YANG DITAWARKAN 'THE FAULT IN OUR STARS' DALAM 15 MENIT PERTAMANYA? SATU HAL YANG PALING MEREBUT PERHATIAN KAMI ADALAH, "KOK BISA-BISANYA ORANG TUA HAZEL GRACE (PENGIDAP KANKER TIROID) MEMBIARKAN ANAKNYA PERGI BERDUA DENGAN ORANG ASING YANG SEDANG MENGGIGIT ROKOK DI MULUTNYA?" BERIKUT ADALAH BEBERAPA HAL YANG KAMI SIMAK DI PARUH PERTAMA FILM INI >
01:21 – “Late in winter on my seventeenth year, my mother decided that i was depressed,” adalah hal pertama yang ditulis oleh John Green dalam buku ‘The Fault in Our Stars’. Tribut yang menyenangkan rasanya bagi para pembaca bukunya untuk menyaksikan adegan tersebut sebagai pembuka film. Bagi Hazel, jelas jauh dari menyenangkan, rasanya seperti sudah jatuh kanker tertimpa depresi. Pembelaan bagus darinya, “Depresi bukan efek samping kanker, depresi adalah efek samping dari sekarat.”
01.50 – ‘An Imperial Affliction’,
satu-satunya buku yang dibaca Hazel Grace, ditulis oleh Peter van Houten. Kutipan favorit Hazel, “Pain demands to be
felt.” muncul sekilas, menegaskan kekhawatiran ibunya, bahwa ia depresi. “I’m
not depressed!” ujar Hazel setengah berteriak pada ibunya. Acungan jempol untuk
Shailene Woodley yang memerankan Hazel, semakin kencang ia membantah, semakin jelas
di sayu matanya jika ia depresi.
02.38 – St Patrick’s Day. Sayang sekali
ia hanya muncul beberapa menit di awal film. Satu dari dua karakter (selain
Issac ‘Always’) yang membawa unsur komikal dalam film ini. Tepuk tangan meriah
untuk kemampuannya merajut karpet ‘The Heart of Jesus’ dan menciptakan lagu.
Mari kita bernyanyi bersama, “Christ is our friend, and he’ll be there till the
end. Christ, Christ!”
06.30 – Augustus Waters. Remaja
berbibir kiyut yang harus hidup dengan satu kaki karena osteosarcoma.
Salah satu chemistry terbaik di 15
menit pertama film ini ketika ia menatap tajam ke Hazel yang jadi kikuk. Alis Hazel
terangkat sambil balik menatap seolah berkata dalam hati, “Naon maneh, naon?”
12.34 – The Metaphor. Am i the only one here who doesn’t care
about that cigarette metaphor? Karena yang paling penting di menit-menit
ini ketika sang ibu menjemput Hazel, “Hey
sweetheart, is it (American Next) Top Model time?” Meski di awal film Hazel
mengklaim bahwa ia adalah ‘Keith Richards
of cancer kids’, ia tetap seorang remaja yang selalu melakukan apapun yang
ia suka: termasuk menonton acara reality
show yang kadang tak esensial. “Mereka tak perlu punya alasan panjang untuk
melakukan apa yang mereka mau,” ujar John Green ketika diminta mendefinisikan
kata: ‘remaja’.
2
Begitulah, setidaknya kami sudah punya lima alasan dan pertanyaan mengapa harus menyelesaikan ‘The Fault in Our Stars’ yang berdurasi 132 menit ini. Kami penasaran dengan jawaban pertanyaan-pertanyaan: Apakah Hazel nanti mati? Kalau mati apakah karena kanker atau depresi? Apa pentingnya buku ‘An Imperial Affliction’ dalam hidup Hazel?
Lalu penasaran bagaimana Shailene
Woodley dan Ansel Elgort yang sebelumnya bermain sebagai adik-kakak di ‘Divergent’
membangun chemistry sebagai ‘kakak-adek
ketemu gede’ di film ini? Apakah kami masih dapat kesempatan untuk mendengar
lagu lain dari Patrick? Atau malah Augustus Waters yang bernasib buruk.
Soalnya, Hazel sempat berkata, “The only
thing worse than biting it from cancer, is having someone bite it from cancer.”
Merujuk pada kesedihan ibunya mengurusi ia yang pesakitan.
Beberapa orang juga bilang
perhatikan baju yang dipakai Augustus saat pertama kali bertemu Hazel. Ada paan?
Semoga bukan karena pada akhirnya mereka berdua kaya dan bahagia sebagai
pengusaha garmen yang sukses. Soalnya kami sudah beli segepok tisu, siap-siap untuk
kemungkinan terburuk: nangis sesenggukan.
The Moondicator untuk #15Menit 'The Fault in Our Stars' > 4/5.
*
Ditulis Mohammad Andi Perdana
(@btork) untuk The Moderntramp. ‘#15MENIT’ adalah tulisan pendek dalam rubrik
Seninema: Rubrik ini mencoba untuk menilai sebuah film lebih dari
sekadar figur, sampul dan judul. Karena 15 belas menit pembuka dalam sinema
adalah durasi yang tepat untuk memberi kesan pertama. Pilihan setelahnya: lanjut
menonton dan siap-siap terpukau; mempercepat banyak adegan film untuk
mengetahui bagaimana ceritanya berakhir; atau segera mengakhiri dan melakukan
hal lain yang lebih bermanfaat. Tabik.
Friday, 27 June 2014
NAGA MANG
1
DALAM HIDUP, RASA CEMBURU PERTAMA KALI KURASAKAN PADA TEMAN-TEMAN MASA
KECIL DI KAMPUNG HALAMANKU. AKU BINGIT BANGET, KARENA TERNYATA BAPAK JUGA
MENCERITAKAN KISAH YANG SAMA KEPADA MEREKA TENTANG SEBUAH RAHASIA. ITULAH KALI
PERTAMA PULA AKU MERASA, DALAM HIDUP, RASA KESAL YANG BEGITU MEMUNCAK, PADA
BAPAK.
![]() |
( via sandera ) |
Bapak mengaku pernah dua kali
melihatnya. Ia menceritakan dengan rasa takjub. Naga Mang melayang di angkasa
seperti prisma. Tubuhnya yang hijau berpunuk runcing menatapnya tajam. Ia punya
sepasang tanduk mahkota berwarna cokelat mahoni. Matanya merah, di antara
sisiknya terdapat lapisan emas yang mengilap. Dari hidungnya keluar asap dan
api, saking takutnya Bapak tak bisa lari ketika mata Naga Mang menatapnya
lekat-lekat.
Mereka berpandangan begitu lama,
sampai bulan purnama yang sebelumnya tertutup awan tebal kembali mengintip
pelan-pelan. Naga Mang mengambil ancang-ancang, Bapak membaca doa karena ia
pikir akan diterkam. Terdengar suara gemuruh dari langit dan mulut Naga Mang,
Bapak memejamkan mata siap akan nasib terburuk baginya, mati tercabik atau
tewas terpanggang. Tapi tak lama, udara kembali terasa sejuk, ketika ia membuka
mata hanya ada satu lesakkan cahaya bergerak cepat seperti hendak menembak
bulan. Ia terpana, sampai tak lama terdengar suara Kakek memanggilnya.
“Tadi, ada, ...Naga Mang, Pak,”
ujarnya pada Kakek dengan suara terpenggal-penggal. Bukannya khawatir, Kakek
malah tersenyum, “Alhamdulillah, tidak semua orang beruntung bisa bertemu
dengan Naga Mang.” Ia menyatakan ketika kecil dulu juga pernah sekali melihat
Naga Mang, dan berharap suatu saat bisa kembali melihatnya. Ia menatap nanar ke
udara, melihat sisa lesakkan cahaya yang ditinggal Naga Mang menuju purnama.
Hingga akhir hidupnya, Kakek tak
pernah meninggalkan kampung halaman kami. Ia juga tak pernah kembali bertemu Naga
Mang. Sebelum meninggal ia berwasiat, “Kuburkan aku di tempat aku melihat Naga
Mang.” Ayah membawa jenazah Kakek ke salah satu puncak di Gunung Manglayang,
sendirian, sesuai wasiatnya. Ayah menggali kubur di tempat yang pernah
ditunjukkan Kakek, di mana ia melihat Naga Mang. Air matanya menetes seiring
keringat dingin yang membasahi pipinya ketika menggali kubur malam itu. Kakek
terbaring tanpa nyawa di samping tanah gailan seukuran peti mati itu. Cuaca
mendadak hangat, secercah cahaya muncul dari balik barisan pinus yang
mengelilingi tanah lapang itu. Angin berisik, pohon pinus condong ke kiri
diterpa udara, Naga Mang muncul dari balik bukit. Ayah kembali merasakan
sensasi sama ketika pertama kali bertemu Naga Mang. Namun kali ini ia tak
menatap matanya, Naga Mang menatap Kakek yang sudah terbaring tak bernyawa,
mengambil ancang-ancang, dan kembali melesat ke udara. Kali kedua Bapak tak
merasa takut, tapi kagum terpana dengan mulut menganga, ia menggali semacam
rindu pada hal yang sebenarnya mustahil. Bapak tersenyum, sebelum kaget luar
biasa ketika menatap ke samping di alas tanah, mata ayahnya terbuka lebar.
Untungnya, atau setelah lama ia berpikir, memang itu tujuannya, seulas senyum
terpoles di garis bibir Kakek.
Setelah itu Bapak merasa
ditakdirkan untuk tak pernah meninggalkan kampung. Kakek yang merupakan tokoh
agama di kampung seumur hidup baru dua kali bertemu Naga Mang. Bapak belum
separuh abad umurnya, sudah menyamai torehan panutan hidup banyak warga kampung
itu. Bapak memilih menjadi guru mengaji sementara kawan-kawannya yang lain
mencari peruntungan sebagai kuli dan mandor proyek di kota besar. Di sisi lain,
Bapak tak ingin mempersempit kesempatan untuk kembali melihat Naga Mang saat
purnama tiba.
“Lebih baik memenuhi yang cukup
di gelas yang kecil, daripada serba kekurangan mengisi cawan yang besar,”
ujarnya suatu waktu meyakinkan Ibu di saat uang hanya cukup untuk membeli beras
tiga mangkuk dan seperempat kilo tempe yang nanti Ibu masak orek agar terlihat
lebih banyak.
Hingga hari ini, cerita itu masih
tertanam lekang di benakku. Aku selalu berupaya segala cara agar bisa lekas
bertemu Naga Mang. Ayah hanya bilang nanti juga tiba waktunya sambil mengulang
cerita yang sama padaku hampir setiap malam, dan aku tak pernah bosan. Namun ia
menegaskan, “Hanya orang yang beruntung bisa melihat Naga Mang. Dan hanya orang
saleh yang masuk golongan orang beruntung.” Ketika orang lain bercita-cita jadi
dokter, astronot, atau tentara, aku saat itu cukup saja berikhtiar untuk jadi
‘orang saleh’.
Hari pertama masuk sekolah dasar,
tak ada desas-desus tentang Naga Mang yang kudengar dari teman sebayaku. Aku
pikir cerita tentang Naga Mang memang hanya ada di garis keluargaku. Aku
tersenyum dan memilih untuk menyimpan rahasia ini rapat-rapat, agar aku tak
perlu bersaing keras untuk menjadi orang saleh.
“Apakah orang lain tahu tentang
kisah Naga Mang ini?” Aku bertanya pada Ayah pulang dari surau. Ayah menjawab,
kisah tentang Naga Mang hanya boleh diceritakan pada mereka yang pernah
melihat, atau pada keturunannya kelak. Senyumku makin lebar sambil menatap
teman sebayaku yang juga mengaji di surau milik Ayah berjalan ke rumahnya
masing-masing.
Suatu saat, jika tak salah ingat
ketika itu umurku 10 tahun, aku demam tinggi dan meminta izin agar tak ikut
mengaji malam itu. Ayah meminta ibu untuk membuatkan teh manis dicampur madu
sebelum berangkat ke surau. Ia berharap aku cepat sembuh sambil mengusap dan
mengecek suhu badan melalui keningku. Setelah salat Isya, aku langsung tertidur
dan berharap paling tidak bertemu saja sekali dengan Naga Mang, walaupun lewat
mimpi.
Betapa kagetnya aku keesokan
hari, dengan badan sempoyongan sisa demam semalam, aku menemukan fakta di sekolah
bahwa, Asep, Ujang, dan Maman sibuk bergunjing tentang ular raksasa yang bisa
terbang. “Naga Mang!” kudengar salah satu dari mereka yang juga murid mengaji
Bapak mengatakan istilah ‘sakral’ itu. Aku cemburu dan kesal bukan main.
Bisa-bisanya Bapak menceritakan hal ini pada orang lain ketika aku tak ada.
Rahasia yang hanya dimilikki garis keturunanku. Mukaku memerah, demamku rasanya
kembali tinggi.
Maman menghampiri, “Malam minggu
mau ikut nggak? Kita kemping, berburu Naga Mang di Bukit Pendek!” ujarnya
antusias mengajakku. Aku tak mau berbasa-basi, kesal sekali, aku jawab saja,
“Naga Mang? Mang gue pikirin!” ujarku
meniru dialog salah satu karakter ‘anak kota’ dalam sinetron yang selalu
ditonton ibu saban malam.
2 >
/
Ditulis oleh Petang Galajingga (@gala) untuk The Moderntramp. #PAYUNGFANTASI adalah satu bab dalam Selasastra yang
berisi tentang cerita fiktif yang kecil kemungkinannya terjadi, kecuali bagi
mereka yang memercayainya. Cerita ‘Naga Mang’ adalah bagian pertama dari cerita
dua babak berjudul sama, terinspirasi dari cerpen ‘Kuda Emas’ karya Tawakal M.
Iqbal yang dimuat di Kompas, Ahad (23/6).
Tuesday, 24 June 2014
'THE WIND RISES' - HAYAO MIYAZAKI (2013)
#15MENIT - FILM TERBARU, SEKALIGUS PAMUNGKAS DARI MAESTRO ANIMASI DARI JEPANG,
HAYAO MIYAZAKI RILIS DALAM BENTUK DVD PADA SABTU (21/6) PEKAN LALU. APAKAH INI
JADI KARYA YANG HUSNUL KHOTIMAH BAGINYA? JIKA #15MENIT DARI FILM INI BISA MEREPRESENTASIKAN
KESELURUHAN FILM, KAMI PIKIR MALAIKAT JUGA TAK SABAR BIKIN LAYAR TANCAP DI SURGA.
Karena Miyazaki tak pernah absen untuk memberi kebahagiaan. Dalam #15MENIT ‘The Wind Rises’, ia menegaskan hal tersebut. Diawali dengan scene mengagumkan dalam mimpi tokoh Jiro Horikoshi muda. Ketika langit hitam kelam menjadi warna fantasi dalam bunga tidurnya. Ia bertemu Giovanni Batista Caproni, insinyur aeronautical yang menjadi idola masa kecilnya.
“So you think we’re sharing the
same dream?" tanya Caproni pada Jiro (09:00). Saya senyum-senyum sendiri di
bagian ini. Mimpi terindah adalah membayangkan orang lain juga memimpikan kita.
Saya tak tahu apakah kelak Jiro akan bertemu Caproni, tapi yang jelas mimpi ini
adalah modal utama baginya untuk meraih cita-citanya, menjadi seperti Caproni.
“Airplanes are beautiful dreams.
Engineers turn dreams into reality,” ujar Caproni pada Jiro muda (12:07). Ini
sangat menjawab pertanyaan saya mengapa Miyazaki yang dikenal sebagai pakar
fantasi, mengakhiri karirnya dengan membuat sebuah film biografi. Karena pada
periode itu, terbang (atau menerbangkan orang lain) bukanlah hal yang mudah,
bahkan untuk semata dikhayalkan. Saat itu terbang, bisa jadi fantasi terbesar.
Setelah adegan itu, saya tak
membayangkan film berdurasi 126 menit ini akan membosankan. Awalnya terlintas
demikian karena buat apa kita menonton film tentang sejarah yang kita tak
(merasa perlu) tahu. Tapi separuh dari #15MENIT pertama di ‘The Wind Rises’
adalah fantasi dalam mimpi Jiro mengusir pikiran buruk itu. Siapa bisa bosan
dengan fantasi yang dikonstruksi Miyazaki?
Namun yang membuat Miyazaki
ternama bukan sekadar karena piawai membangun mimpi, tapi juga membuat cerita
di lapis atas sadar karakternya dengan kuat. Saya pikir #15MENIT pertama di
film ini akan berakhir ketika Jiro bangun dari tidurnya (13:05). Namun, dua
menit setelahnya tampak menjadi pembuka bab penting dalam film ini. Pertemuan
kali pertama Jiro dengan Naoko Satomi di atas kereta.
Adegan yang manis saat Naoko
menangkap topi bundar Jiro yang tertiup angin. Hampir saja ia jatuh dari
kereta. Jiro berganti gerbong untuk mengucapkan terima kasih. Ia mengucapkan
sesuatu dalam bahasa Prancis, “Le vent
se leve.” Sebuah puisi ‘Le Cimetiere Marin’ dari Paul Valery , “Il faut
tenter de vivre,” ujar Jiro membalas. Keduanya tersenyum
Jiro kembali duduk dan membaca
buku, sementara Naomi kembali masuk ke gerbong keretanya. Ia mengulang puisi
tadi dalam hening di tengah perjalanan kereta yang bingar. “The wind is rising!
We must try to live.” (15:00)
Dan saya akan duduk anteng selama
hampir dua jam ke depan karena #15MENIT pertama yang kuat dari film ini. Paling
tidak ada tiga alasan. Pertama, menunggu keajaiban sinema lain yang bakal
terserak dalam durasi film ini. Kedua, mengulik sejarah tentang Jiro Hiroshiko,
yang nantinya dikenal sebagai pembuat kapal perang Jepang di Perang Dunia II.
Ketiga, menikmati romantismenya dengan Naoko yang begitu manis di awal film,
semoga gulanya tak cepat habis. Semoga bisa segera menulis ulasan panjang
mengenai film ini usai film ini habis dilahap. Saya takut saja, terhisap dalam
fantasi karya terakhir Hayao Miyazaki dan memilih untuk terus bermimpi.
UPDATE: Setelah membaca beberapa artikel, baru tahu kalau 'Ghibli', studio animasi yang didirikan Miyazaki terinspirasi dari pesawat terbang Caproni Ca.09 dengan julukan 'Ghibli'. Kata ini berasal dari Timur Tengah yang punya arti kurang lebih 'Badai dari Tenggara'. "It's one of my most favourite airplanes," kata Miyazaki.
/
/
Ditulis Mohammad Andi Perdana
(@btork) untuk The Moderntramp. ‘#15MENIT’ adalah tulisan pendek dalam rubrik
Seninema: Rubrik ini mencoba untuk menilai
sebuah film lebih dari sekadar figur, sampul dan judul. Karena 15 belas menit
pertama dalam sinema adalah durasi yang tepat untuk memberi kesan pertama.
Pilihannya: lanjut menonton dan siap-siap terpukau; mempercepat banyak adegan film untuk
mengetahui bagaimana ceritanya berakhir; atau segera mengakhiri dan melakukan
hal lain yang lebih bermanfaat. Tabik.
Thursday, 5 June 2014
SILICON VALLEY - FINALE (2014)
SPOILER ALERT, PAKE BANGET
Minggu ini adalah episode terakhir ‘Silicon Valley’ di musim debutnya yang brilian. Delapan episode yang lebih solid ketinbang serial yang mengisi plot sama di musim tayang sebelumnya, ‘Hello Ladies’. Terlebih karena ‘Silicon Valley’ punya akhir yang klimaks sekaligus menyisakan banyak penasaran untuk musim depan yang baru akan tayang, ...8-10 bulan lagi. Ah. Berikut delapan momen terbaik dari finale ‘Silicon Valley’ yang bikin saya nggak bisa berhenti tertawa, apalagi karena ditonton setelah episode ‘Game of Thrones’ yang begitu depresif.
1) Middle Out. Akhirnya, beres juga
era Richard Hendricks yang menyebalkan. Apa-apa panik, apa-apa mual, apa-apa gugup. Akhirnya
ia bisa menemukan solusi perumusan efektif kode ‘Pied Piper’ agar bisa melampaui
torehan saingannya, ‘Nucleus’. Setelah ini, Richard kembali brilian dan jadi
jaminan mutu banyak wanita akan gemas dan akan dengan mudah jatuh cinta
padanya.
2) The Dick Joke Scene. Momen ‘middle out’ Richard muncul malah ketika teman-temannya, saking stresnya, bercanda bagaimana mereka harus mempresentasikan Pied Piper (yang amat tak siap) esok hari. Solusinya, Erlich will jerking off all the audience selama presentasi. Dari sini, selama lima menit ke depan, kita akan disuguhkan dick joke paling komperhensif dan lucu dalam layar kaca.
3) Let’s Pivoting. Sementara itu, Jared yang selain frustasi, juga kurang tidur, berharap agar Pied Piper berganti halauan, tak lagi menjadi aplikasi peredam kapasitas. “Bagaimana bila aplikasi ini bisa membuat kalian tahu apakah akan masuk surga atau neraka?” ujarnya. Dengan mata yang lelah, ia akan bertanya pada setiap orang >
4) Satanist sejak Dalam Pikiran. Bicara soal neraka, Gilfoyle kembali pada identitasnya (ia punya tato salib terbalik). Untuk mengungkapkan rasa bahagianya, ia bilang>
5) TechCrunch Disrupt Final. Di depan 800 penonton, Richard mengambil alih presentasi keesokan harinya. Timnya tak tahu apa hasil 'coli otak' yang ia lakukan sehari sebelumnya. Ia hanya mengklaim berhasil menaikan Weismann Score Pied Piper menjadi 3,8. Dan, ---drum roll--- dengan ragu-ragu, ia bisa membuktikan bahwa aplikasinya itu bisa mengkompres file dengan tingkat keefektifan, di luar dugaan 5,2 (lebih dari separuh besar file). Orang-orang kagum, karena skor tertinggi dalam sejarah peredaman kapasitas hanya 2,9. So, akhirnya Pied Piper tak jadi dibantai dan dipermalukan di depan publik. Dan saya tepuk tangan sendirian di kamar kosan.
6) Monica for Playboy Bunnies! Dan karena itu, Richard, berhasil menarik hati Monica. Blunder sih ini showrunner, karena pertama saya pikir terlalu cepat untuk Monica yang punya profesionalisme tinggi (mungkin) jatuh hati pada Richard. Kedua, karena Monica—yang gigi kelincinya membuktikan kalau makhluk pemakan rumput itu tak hanya seksi bila dipajang di majalah Playboy—belum rela untuk saya bagi-bagi, < 3.
7) That Bro/Gay Moment. Semua bersorak, termasuk Jared yang datang terlambat karena puas bobo. Dan jeritannya sebelum memeluk Richard, menjadi salah satu hal yang akan saya kenang dari finale serial ini. (Juga tentunya pertanyaan-pertanyaannya sebelum kontes, “Which one, which one, which one?”). Gay moment nomor tiga di serial ini, setelah 'gay code' antara Dinesh dan Gilfoyle dan kecemburuan Jared pada rekan satu timnya terhadap Richard karena merasa useless di episode silam.
8) RIP Christoper Evan Welch. Dan akhirnya usai kemenangan itu, Pied Piper menarik banyak investor. Untuk kedua kalinya Monica membuat Richard amat panik dan lagi-lagi, muntah. Tapi setidaknya ia sudah membuktikan bahwa ia sanggup menerima tantangan yang diberikan oleh Peter Gregory. Namun sayangnya, karakter terakhir pasti akan direcast pada musim keduanya, dan kalian yang sudah nyantol dengan Peter sejak awal episode, akan sedih melihat apa yang muncul di akhir kredit.
Sekian dan terima kasih, sampai jumpa di musim kedua ‘Silicon Valley’, tentunya dengan besar harapan, seperti ‘Entourage’, bahwa delapan episode sangat singkat untuk serial sebagus ini. Tabik.
Wednesday, 28 May 2014
HALT AND CATCH FIRE (2014)
1
Lee Pace sebagai Thranduil dalam ‘The Hobbit’ membuat orientasi seksual saya,
pernah sedikit goyah (dikit banget, haha). Maka ketika namanya muncul sebagai
salah satu cast dalam serial terbaru
AMC, ‘Halt and Catch Fire’ saya tergoda untuk kembali mengetes orientasi
seksual saya. Dan kesannya sama, tanpa rambut pirang panjang yang terurai dan
mahkota tanduk rusa, dia tetap memesona.
Sampai tiba-tiba muncul Mackenzie
Davies sebagai Cameron Howe, mahasiswi drop-out
yang punya ketertarikan tinggi di bidang rakit-merakit personal computer (PC). Saya berkata sambil mesem-mesem, “Ini nih.”
sebagai alasan awal mengapa saya akan terus menonton serial ini (dan udah, lupa
aja sama Lee Pace, haha). Hobi dan obsesi yang aneh kala itu untuk ‘nak mudo’ di pertengahan tahun 1980’an.
Masa personal computer semata milik
IBM, dan lainnya mencoba mengekor, tanpa bertendensi untuk melampaui.
Lee Pace sebagai Joe MacMillan
merekrut Cameron dalam timnya. Berupaya untuk membuat revolusi di industri
komputer. “Computers aren’t the thing.
They’re the thing that gets us to the thing,” ujarnya mengutip salah satu
artikel Gordon Clark yang diperankan oleh Scoot McNairy. Ia menjadi orang terakhir
untuk melengkapi timnya. Bertiga, berniat mengubah dunia karena menganggap
banyak hal yang bisa dieksplorasi dari sebuah personal computer, tanpa harus dibatasi monopoli perusahaan besar
macam IBM.
Porsi Cameron dalam pilot ini
cukup irit. Dalam episode pertama yang rencananya baru akan diputar 1 Juni
mendatang, ‘Halt...’ lebih berfokus pada awal mula kerja sama Joe dan Gordon.
Dua-duanya punya karakter yang unik. Joe adalah seorang ambisius, pernah
bekerja di IBM sebelum akhirnya diterima di Cardiff Electric, sebuah perusahaan
kuda hitam yang mencoba mengekor IBM. Joe menjadikannya sebagai tameng
legalitas sekaligus batu loncatan untuk obsesinya.
Gordon Clark adalah pekerja biasa
di Cardiff, namun sebagai seorang perakit komputer, ia seorang jenius. Bersama
istrinya ia pernah merakit The Symphony, proyek gagal personal computer yang menghantui
Gordon hingga saat ini. Setelah membaca artikel Gordon yang menggugah dalam
majalah ‘Byte’, Joe menawarkannya sebuah kerja sama. Gordon tak ingin masuk dua
kali di lubang yang sama, terutama banyak hal yang dipertaruhkan di proyek yang
tak murah itu, terutama keluarganya. Belakangan, istri tercinta yang selalu
khawatir itu, Donna Clark (Kerry Bishe, keduanya juga berperan sebagai suami
istri di ‘Argo’) menyetujui. Sang istri tak ingin bakat luar biasa si suami
sia-sia.
Di akhir pekan yang tak kenal
waktu, dua orang itu mengotak-atik kode dasar chip IBM. Joe punya visi, dan Gordon
punya kemampuan untuk mengeksekusi. Hanya berdua, mereka mampu menjabarkan apa
yang berada di balik kode chip yang mengontrol pasar personal computer saat
itu. Kesuksesan ini yang membuahkan konflik dalam ‘Halt...’, IBM menggugat
Cardiff karena proyek personal Joe itu bocor. Dan belasan pengacara IBM
mendatangi Cardiff siap untuk membangkrutkan perusahaan itu.
John Bosworth (Toby Huss),
pejabat Cardiff kaget, ia tak tahu apa-apa, tahu-tahu perusahaannya mau
dipailitkan saja. Hanya karena ia menerima seorang revolusioner obsesif macam
Joe MacMillan di dalam perusahaannya. Joe, kepada John berkata, “Kami siap
bertanggung jawab.” Dan Gordon plus Cameron mau tak mau harus menerima
konsekuensi dari ‘kelancangan visi’ Joe.
2
Tak seperti Bosworth, Juan Jose Campanella (sang sutradara) tahu apa yang ia dan timnya kerjakan. Sebuah drama berbasis perkembangan teknologi berlatar tahun 1980’an. Visinya, ia benar ingin menciptakan kondisi saat ini dengan akurasi yang berkelas. Tata suara dan musik latar ‘Halt...’, saya suka banget. Salut pun untuk penata busana serial ini yang bisa menampilkan Joe dan Cameron sebagai sosok cool pada masanya, seperti Don Drapper dan wanita-wanitanya dalam ‘Mad Men’ di tahun 1960-an.
Tak seperti Bosworth, Juan Jose Campanella (sang sutradara) tahu apa yang ia dan timnya kerjakan. Sebuah drama berbasis perkembangan teknologi berlatar tahun 1980’an. Visinya, ia benar ingin menciptakan kondisi saat ini dengan akurasi yang berkelas. Tata suara dan musik latar ‘Halt...’, saya suka banget. Salut pun untuk penata busana serial ini yang bisa menampilkan Joe dan Cameron sebagai sosok cool pada masanya, seperti Don Drapper dan wanita-wanitanya dalam ‘Mad Men’ di tahun 1960-an.
Namun yang paling mumpuni adalah
karakter-karakter di dalam serial ini. Menyenangkan melihat Joe yang baru saja
sedikit frustasi bersikap destruktif dengan tongkat dan bola baseball di kamar
apartemennya. Menarik melihat Gordon kembali punya ‘darah segar’ ketika merakit
komputer di garasi rumahnya. Dan Cameron, ah, apa-apa juga dia mah menarik.
AMC punya tradisi bagus untuk merekonstruksi
masa silam. ‘Mad Men’ di New York era 1960 masih terus berkibar. ‘Breaking Bad’
yang mengambil latar waktu pertengahan 1990-an, bintang lima! Sangat besar
harapan saya, ‘Halt...’ punya standar yang sama dengan dua opus magnum itu.
Jangan seperti ‘Turn’ yang kembali jauh ke belakang, era perang sipil di
Amerika, tapi seleranya serba kurang.
Besar harapan saya karena ‘Halt...’ punya Lee Pace dan sepasang kekasih
alumni Argo. Ketiganya punya karakter kuat, bahkan bila kelak plotnya jadi tiba-tiba
membosankan (atau mungkin sulit dimengerti karena terlalu teknis). Plus, Mackenzie
Davis bisa menjadi meteor baru yang saya harap beberapa tahun mendatang bisa
sering muncul di layar kaca. Mungkin untuk yang belum sadar, ia sebenarnya
Robin Scherbatsky yang tak memilih karir di layar kaca, pindah ke New York dan
bertemu Ted Mosby dkk. Ia adalah Robin Scherbatsky yang tak punya tujuan hidup,
berbakat di dunia komputer, disekolahkan orang tuanya di Texas, dan berpikir, “I’m
too cool to school!”
Satu hal dari Cameron tentang
serial ini dalam wawancara dengan Crave Online di SXSW 2014, “I feel like the pilot episode is the tamest
episode of the season. It’s just so sweet. We are monsters after this.”
Potensi itu sudah terlihat dalam sosok Joe, yang merepresentasikan pengusaha
muda rakus yang punya kecenderungan sociopath di tahun 1980’an. Bahkan Lee Pace
sendiri menyebut karakternya, “Then I
looked again and saw someone who looked like Steve Jobs, a little like Donald
Trump in the early 1980s,a little like
Gordon Gekko, and a little like the guy with 80s greed. He just wants to make a
computer for you. It will serve your life and help you connect the dots."
Ah, me-nye-nang-kan!
Dan saya menunggu saat-saat di
mana tiga sosok yang di awal menimbulkan simpati itu, menjadi tak terkendali seperti Don Drapper di ‘Mad Men’ dan Heisenberg di ‘Breaking Bad’. Monster yang
tak pernah kita takut, karena akuilah, karena kita tak perlu takut dengan apa yang bersemayam dalam diri,
dan sesungguhnya, kita membutuhkan itu.
/
‘Halt and Catch Fire’, AMC, 45 minutes (10 episodes, per June 1st,
2014). Directed by: Juan Jose Campanella. Starring: Lee Pace, Mackenzie Davis,
Scoot McNairy. IMDb Ratings: TBA, The Moderntramp Ratings: 8,2/10, X)
Saturday, 17 May 2014
REN(T)JANA KYRIE
1
"Depresif ya Kay ternyata. Bukunya sih belum sempet dibaca. Tapi filmnya udah
kutonton semalem," ujarku
menyambut kedatangan Kyrie yang terlambat setengah jam. Alasannya terjebak
hujan. Padahal kan bukannya hujan hanya membasahi? Manusia saja yang ingin terjebak
di rintiknya, entah romansa atau trauma. Banyak alasan untuk terjebak dalam
hujan.
"Apaan?" ujar Kyrie
sambil membuka mantel berwarna cokelat tua yang basah di bagian bahu. Mantel
ini hampir dipakainya tiap hari pada musim hujan. Sehingga katanya dengan
tameng kain tebalnya itu, ia tak perlu lagi repot membawa payung.
"Norwegian Wood!" Aku
menyebut novel karya Murakami yang legendaris itu. Yang malah baru ingin kubaca
setelah menonton filmnya. Rinko Kikuchi hampir dibugili di sana, meski aku jauh
lebih tertarik pada Reika Kirishima yang memerankan tokoh Reiko.
"Astaga! Belum juga dibaca
juga.Udah hampir setahun juga aku pinjemin.
Balikin aja ah kalau nggak dibaca-baca. Awas balik-balik novelnya
keriting." Ia tak pernah meminjamkan novelnya pada orang lain. Aku adalah
pengecualian karena pertama, kami kenal lama, kedua, aku memberi tahu novelnya
ada di tanganku dua minggu setelah aku diam-diam ambil dari rak buku di
kamarnya. Akhirnya ia ikhlas meminjamkan, itu pun dengan catatan, bukunya tak
boleh cedera satu depa pun kala pulang ke raknya.
"Ya nggak lah, aman.
Hahaha," ujarku sambil kembali memandangi komputer jinjing yang menemaniku
saat menunggu keterlambatannya. Bola mataku bergerak-gerak sambil
menaik-turunkan alis, hidungku kembang kempis. Padahal tak ada yang sedang
kukerjakan.
"Curiga deh. Ilang ya? Bilang?" Ia menatapku
tajam, pandangannya mengiris keningku yang mulai berkerut. Suaranya nyaring
kalau sudah mengancam.
"Enggak, ahaha, ahahaha. Iya
deng, ilang novelmu iya yang merah. Nanti kuganti deh, janji! ...Eh, atau
kudownload aja PDF-nya, mau gak? Ya, ya, ya? Haha, aduh," bola mataku
makin bergerak liar. Ingin rasanya bersembunyi ke gelap dan berputar 180 derajat, ke dalam lunar mare. Andai bisa.
"Aaaah! Enggak mau. Gantiin!" Ia menangkap basah
sebelum bola mataku sempat bersembunyi. Ia mendumel karena buku yang hilang
terbilang langka. Cetakan pertama Norwegian Wood yang diterbitkan dua seri oleh
Kodansha English Library, tahun 1989. "Mati!" ujarku kala menyadari
satu dari sepaket novel yang kupinjam darinya hilang. Untung satu lainnya masih
selamat.
"Iya, iya nanti kucari
sampai ujung dunia. Rrr, rrr," ujarku merasa bersalah sambil pura-pura
mengemeretakan gigi dan memberi pandangan bintang-bintang, meminta iba. Ia
melepaskan pandangan tajamnya dariku, mengangguk sedih. Kutahu ia tak bisa
lama-lama marah padaku.
“Padahal kan dunia nggak ada
ujungnya, Kay,” ujarku berbisik pelan, hihi.
2
"Tapi hubungan Toru (Watanabe) sama Naoko di sana itu seru lho. Kok bisa ya mereka bisa nahan untuk cerita sekian lama tentang Kidzuki?" ujarku mengalihkan pembicaraan. Ia sibuk memesan menu, sambil mendamprat pelayan yang kikuk mendeskripsikan pesanannya. Kasihan.
"Tapi hubungan Toru (Watanabe) sama Naoko di sana itu seru lho. Kok bisa ya mereka bisa nahan untuk cerita sekian lama tentang Kidzuki?" ujarku mengalihkan pembicaraan. Ia sibuk memesan menu, sambil mendamprat pelayan yang kikuk mendeskripsikan pesanannya. Kasihan.
"Eh sebentar. Kidzuki itu
yang mana?" tanyanya.
"Lah, katanya udah khatam, gimana sih?" ujarku mencoba
mencairkan suasana. Riskan juga sih takutnya dianggap mengejek.
"Aku bacanya kelas satu SMA,
udah lupa. Kidzuki yang mana
ya?" tanyanya lagi.
"Temen Naoko dari kecil.
Yang mati bunuh diri itu lho,"
"Aaaaah, ya, ya," muka
tegangnya mengendur, layu, dan berkabung. "Iya, sedih."
"Eh tapi, kok seru?
Apanya?" tanya Kyrie.
"Ya gitu. Tiba-tiba mereka
ketemu lagi kan. Setelah sempat kepisah gara-gara tragedi Kidzuki itu.
Dua-duanya rindu. Dua-duanya sedih. Eh tapi pas ketemu bisa seru lagi gitu. Bisa berdamai aja gitu dengan masa lalu mereka. Seolah cerita yang dulu bukan
lagi hal-hal penting yang perlu dibahas," ujarku memberi alasan.
"Iya, tapi apa
serunya?" Ia, lagi-lagi bertanya.
"Ya itu, kemampuan mereka
untuk berdamai dengan masa lalu. Depresif banget coba kamu bayangin, temenmu dari kecil, tiba-tiba bunuh
diri. Lah aku misal, kamu pasti sedih banget. Nih coba langsung kupraktekkin,” ujarku sambil mencoba
menggapai tubuhnya, dan pura-pura nggak kena. “Kay, Kay, kamu denger aku nggak? aku mau ngomong
sesuatu,” ujarku pura-pura jadi hantu. “Sedih kan, ngomongnya harus pake perantara kayak di film 'Ghost'," ujarku sambil mencoba menepuk bahunya, tapi lagi-lagi pura-pura
gagal, karena dimensinya (ceritanya) beda. Seolah benar kalau aku ini mati, dan
yang berbicara dengannya adalah hantuku.
"Shht ah, berisik!" Ia
melirik ke meja sebelah, ada seorang wanita duduk sendiri sambil memesan es
kopi hitam. Mungkin menunggu temannya yang terjebak hujan sepertiku sejak satu
jam lalu. Wanita itu, wajahnya mirip sekali dengan Whoopi Goldberg. Aduh, aku
sekuat tenaga menahan tawa. Mungkin ia tak sendiri di sana, bisa jadi ia sedang
duduk bersama Patrick Swayze. “Makanya jangan sok-sokan maen-maenin ‘Ghost’!” ujarnya berang tapi sambil menahan tawa. Aku
mengangguk.
"Kan Naoko nantinya nggak seberdamai
itu sama masa lalunya. Iya nggak sih, aku lupa?" ujarnya mengajakku
kembali berbincang tentang novel itu.
"Iya sih, kan di
tengah-tengah Toru terus nanya. Penasaran dulu Naoko sama Kidzuki gimana. Sampai ketahuan kalau ya
dua-duanya lebih dari sekedar teman.
Naoko keinget lagi, depresi lagi, Toru nenangin
lagi, keinget lagi, depresi lagi. Gitu
aja siklusnya."
"Sekadar! Terus tadi juga praktik,
bukan praktek!" ujarnya meralat.
Satu hal yang aku sebal darinya, selain keras kepala, adalah kebiasaannya untuk
menjadi polisi kata. Sampai-sampai tadi ketika memesan es teh manis, ia
sampaikan pada pelayan kikuk yang kena semprotnya, "Gulanya, ala kadarnya aja ya." Aku tahu si pelayan
sebenarnya bingung, tapi tak lagi berani bertanya.
"Ya artinya nggak ada yang
berdamai dengan masa lalu dong di sana?" ujarnya melanjutkan pembicaraan, dan lagi-lagi bertanya.
"Iya sih ya. Haha, maksudku
awal-awalnya gitu kan. Seru aja tapi tetep. Eh tapi gini lho,
maksudku tadi mau nanya gini, penting
nggak sih kita berdamai dengan masa lalu?"
"Konteksnya?" Dia malah
balik bertanya.
"Ya kayak Toru tadi, kalau
dia bertahan buat berdamai dengan masa lalu Naoko, ya aman. Bisa seru terus apa
yang mereka jalanin."
"Tapi di satu momen, Toru
ngerasa perlu nuntasin segala
kepenasarannya dengan minta klarfikasi semua dari Naoko. Dan ya, dia tahu
sendiri resikonya... (menahan tawa)
Meski ya nanti kita tahu kan yang lebih banyak nanggung bebannya, tetep Naoko," ujarku menjelaskan
"Ya kan katanya beberapa hal
yang nggak kita tahu, katanya nggak bakal bikin kita ngilu. ..."
"...Tapi beberapa orang
milih buat ngilu, karena mereka sangat ingin tahu, dan mereka nganggap itu penting."
"Jadi buat apa tahu? Apa
pentingnya tahu? Apalagi kalau cuma buat bikin ngilu,"
"Ah, kamu kenapa jadi nanya
balik muluk," ujarku sedikit
kesal, meski ia ada benarnya. Karena aku tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Buat apa?" ia kembali
bertanya, menegaskan.
"Ya, buat apa ya. Ya udah itu, buat ngilu kan, haha. some people can get addicted to
a certain kind of sadness. Hahaha, tapi auk
ah, ya tanya Toru lah jangan ke saya."
"Ya kamu juga tahu kan
gimana akhirnya di sana. Toru akhirnya tahu, penasarannya tuntas. Ia ngilu
keras. Tapi toh kan bukan dia yang berakhir tragis di sana?" ia menanyakan
satu hal yang kami berdua sudah tahu jawabannya.
"...," aku tak tahu
harus bicara apa, mungkin bingung. Tapi mengerti kok, mengerti. Dan aku tahu
akan ke mana arah perbincangan ini.
"Kamu tahu kamu ngilu. Tapi
bukan berarti orang yang menceritakan semuanya padamu, nggak lebih ngerasa
ngilu dari kamu," jawaban Kyrie ini bak pecutan terpedas bagi orang yang
terlalu ingin tahu seperti saya. Orang yang sangat ingin tahu, sangat sok tahu,
tapi mengakuinya selalu malu.
"Kok aku?" kini giliranku
yang bertanya.
"Ini soal Sekar lagi
kan?" Ah, nama itu. Terkaan Kyrie. Setelah terdiam beberapa saat, aku tak
bisa menahan lebih lama untuk tidak mengangguk.
3
Aku tak berkata-kata. Kembali pura-pura sibuk di depan laptop. Kulirik sedikit, Kyrie tampak sedikit bersalah. Meski tidak, sama sekali ia tak salah. Ia selalu tahu kemana kailku memancing. Apalagi untuk banyak perbincangan beberapa bulan terakhir. Aku selalu butuh Mori untuk meredakan keresahan yang menggenang entah di bagian mana dalam tubuhku, sehingga kadang sulit rasanya untuk bernafas.
Aku tak berkata-kata. Kembali pura-pura sibuk di depan laptop. Kulirik sedikit, Kyrie tampak sedikit bersalah. Meski tidak, sama sekali ia tak salah. Ia selalu tahu kemana kailku memancing. Apalagi untuk banyak perbincangan beberapa bulan terakhir. Aku selalu butuh Mori untuk meredakan keresahan yang menggenang entah di bagian mana dalam tubuhku, sehingga kadang sulit rasanya untuk bernafas.
Dan ia selalu berhasil untuk
sedikit mengurasnya. Selalu berhasil
untuk menahanku untuk tidak menumpahkan segalanya pada Sekar. Hanya akan
membuatnya duka dengan cara yang sudah kuduga, sesuai jawabannya: menorehkan
luka.
Bingung menanganiku, ia tanpa
pamit pergi ke kamar kecil. Ia berlalu dengan sepatu boots barunya, belum sempat kupuji betapa maskulinnya ia mengenakan
itu. Dipadu dengan tas punggung hitam polosnya yang sederhana, membonceng di
balik bahunya yang bidang, dalam balutan mantel cokelat yang hangat. Saat itu
aku menyadari jangan lagi terlalu banyak bicara. Ia sedang ‘ada tamu’. Selalu
saja begitu dari dulu kubilang bawa pouch
kecil untuk menyimpan pembalutnya. Jadi tak perlu repot bawa seluruh tas
untuk ganti pengaman di tempat umum seperti ini. Ia tak pernah berubah, selalu
keras kepala.
Kyrie Amori dan aku seperti Naoko
dan Kidzuki, kami mengenal sejak kecil. Tapi kami hanya berteman, tak pernah
dan tak berpikir lebih dari teman. Kata orang-orang, "Belum saja."
Tapi kami yakin itu. Dan tak ada hal yang salah di luar keyakinan kami berdua. Ia dan keluarganya pindah ke komplekku pada
saat umurku sembilan tahun. Rumahnya selempar bidak kuda catur dari rumahku.
Setahun lebih kukira ia lelaki. Karena postur dan potongan rambutnya. Juga
karena ia tak pernah menolak ketika kuajak bermain bola.
Aku baru kaget, ketika masuk SMP
yang sama, ia memakai rok biru tua ke sekolah. Buah dadanya pun mulai menonjol.
Tak hanya kaget, pun takut. Baru pertama kali aku melihat perempuan selaki-laki
ini. Baru kutahu belakangan, tomboi istilahnya.
Di SMA, kami mulai dekat karena
ia merasa tak nyaman dengan teman-teman wanitanya yang dianggap terlalu ceriwis.
Sementara ia tak suka berbasa-basi. Ia mengetuk pintuku setiap pagi dan kadang
sarapan di rumah sebelum pergi sekolah. Kami berangkat naik motor. Sekali-kali
kuizinkan ia yang mengendarai.
Di sekolah kami saling
mengenalkan sebagai sepupu. "Biar orang nggak mikir macem-macem,"
ujarnya. Meski kadang itu tetap jadi masalah. Beberapa pria urung mendekatinya,
karena dipikirnya Kyrie ada apa-apa denganku. Begitu juga sebaliknya kuadrat.
Kuadrat karena setiap aku mencoba mendekati teman wanita di SMA, banyak yang
beralasan, "Nggak enak sama Kyrie ah," ujar salah satu dari sekian
banyak mereka. Kutegaskan kami tak ada apa-apa. Kami cuma sepupu. Atau kadang
kalau sedang jahat, kubilang Kyrie tak doyan lelaki. Mereka tetap tak mau
mengerti. Belakangan aku menyadari bahwa alasannya bukan karena Kyrie,
gadis-gadis itu memang tak mau saja denganku.
Lulus sekolah, kami satu kampus
lagi. Satu universitas dan sempat satu kelas selama setahun. Semester ketiga ia
mengambil Jurusan Jurnalistik hanya karena jaket almamaternya paling macho.
Sementara aku masuk jurusan Manajemen Komunikasi, karena awalnya kupikir di
Jurnalistik, ceweknya nggak ada yang ciamik. Aku senang melihatnya tumbuh
dewasa, dan menjadi cantik dengan caranya sendiri. Kata seorang temanku di
kampus yang naksir padanya, "Cantik yang macho-macho gimana gitu."
Aku bingung kadang, berarti kalau begitu ada pula lelaki yang 'ganteng tapi
feminim-feminim gimana gitu'. Ah, kenapa juga kupikirkan!
Belajar dari pengalaman masa
sekolah. Kami mulai menjaga jarak di kampus. Tak perlu menjaga jarak pun tak
masalah baginya. Baru kutahu saat itu, Kyrie bukan tipe wanita yang percaya
komitmen dalam berhubungan. “Ya udah temenan aja, nggak harus pacar-pacaran,”
ujarnya padaku saat kutanya tentang seorang lelaki yang sedang mendekatinya. Hingga
lulus pun, tak ada satupun mahasiswa, bahkan dosen yang nyangkut di hatinya.
Sementara aku di tahun ketiga bertemu Sekar. Setelah itu hubungan kami seperti
sedia kala, tak lagi perlu menjaga jarak. Tak ada yang perlu dihindari lagi.
Sekar pun amat menerima Mori, vice versa.
Kadang aku iri, karena Sekar tampak lebih perhatian pada Mori, begitupun
sebaliknya. Aku langsung mengingat perkataanku zaman sekolah dulu. "Mori
kan nggak suka cowok!" Mengingat itu aku langsung berdoa saban malam agar
candaan jahat itu tak dihitung tuhan sebagai harapan.
Kyrie Amori. Namanya diambil dari
tiga bahasa asing. 'Kyrie' dalam bahasa Yunani artinya 'tuhan'. Katanya
terinspirasi dari lagu Mr. Mister, "Kyrie Eleison" Kami berdua selalu
menyanyikannya saat karaoke bersama teman-teman satu geng di kampus. Liriknya
kami plesetkan menjadi, "Carry a
laser down the road that i must travel." Sambil pura-pura memegang
pistol imajiner dan menembaki hadirin-hadirot jemaah karaoke lainnya.
Nama belakangnya pun kusuka.
Paduan dari "Amor", dan "Mori". Amor dalam bahasa Spanyol
adalah 'cinta', Kyrie menyebutnya dengan istilah ‘hantu’ karena ia percaya hal itu
ada tapi tak pernah bisa dilihatnya, dan hal itu selalu membuatnya takut. Sementara
itu Mori, diambil dari Bahasa Jepang, artinya 'hutan'. Akan sangat lucu bila
pada 1987, tahun kelahirannya, Norwegian Wood tak pernah terbit. "Tadinya
aku mau dikasih nama, Kyrie Amor aja.
Nggak tahu itu beneran apa becanda. Tapi geli banget, kayak ‘Por Tu Amor’ dong
masa. Untung aja diselamatkan Murakami,"
ujarnya suatu waktu.
‘Norwegian Wood’ yang dikarang
Murakami berjudul asli 'Noruwei no Mori'. Ia berutang banyak pada buku ini,
namanya jadi cantik dan penuh makna. Kyrie Amori. "Artinya, dalam hutan, aku menemukan ‘hantu’
dan tuhan. Dalam tuhan, aku menemukan ‘hantu’ dan hutan. Dalam ‘hantu’, aku
menemukan tuhan dan hutan."
Ia selalu memberi alegori pada
kata-kata dalam namanya itu. 'Hutan' adalah kehidupan, 'tuhan' adalah kematian,
dan cinta, atau istilahnya yang lain, ‘renjana’ adalah rencana. "Mori
menuju Kyrie, harus dibimbing oleh Amor." Itu yang selalu membuatnya
tenang, mampu berdamai dengan situasi apapun. Pun memberikan kedamaian bagi
orang-orang yang ada di sekitarnya. "Dengan mencintai hidup, kamu tak
perlu membenci kematian." Ya, setiap orang takut mati, tapi untuk apa
membencinya, kata ia. Cintai saja hidup, semoga kematian juga mencintaimu
kelak.
Motto yang selalu kudebat, karena
menurutku bagaimana orang bisa tak membenci suatu hal yang merebut apa yang
dicintainya. "Kalau tiba-tiba kamu dapat lotere, satu miliar misalkan.
terus kurampok kamu besoknya, terus kamu aku bikin mati. Apa kamu tak akan membenci
kematian?"
"Aku hanya akan
membencimu." ujarnya ringan, karena jelas tahu bahwa aku jauh dari serius.
Tapi kadang kalau sudah kesal dan terus kutekan kala berdebat tentang hal itu,
ia selalu lari ke pertanyaan yang akan ia jawab sendiri ini:
"Kamu punya barang berharga,
lalu seseorang mencurinya darimu. Siapa yang akan kau benci? Pencurinya?"
tanya Mori yang disambung dengan jawabanny sendiri.
"Kalau aku. Aku hanya akan
membenci diriku sendiri karena kelalaianku," ujarnya. Balik kesal, aku
langsung mengambil tahu mayo yang masih hangat dari tangannya. Tepat ketika ia
hendak menyuapkan itu dalam mulutnya yang sudah menganga besar. Hendak
dilahapnya itu mungkin dalam sekali telan.
Dia tertawa pasrah sambil
berkata, "Aaah, aku benci kelalaianku. Udah sini balikin aku laper banget,"
ujarnya sambil memasang muka sedih. Menopang tangannya di dagu, dan gantian
memberi pandangan bintang-bintang kepadaku.
“Kamu sadar nggak sih tadi aku
ngomong resiko pake 'e' kok tumben nggak
rewel?” tanyaku usil. “Aku tahu dari hidungmu yang suka tiba-tiba kembang
kempis itu, kapan kamu sengaja ngisengin atau beneran serius salah! Ngapain juga kutanggepin.”
“Ah, udah ah sini balikkin kamu
tahu kan kenapa aku suka makan tahu mayo di sini? Karena porsinya pas, jadi kalau kamu
ambil satu, mending empat sisanya nggak aku makan daripada ntar kenyangnya nanggung,” ujarnya memohon.
Aku lebih sibuk memerhatikan
hidungku dengan ujung mataku. Benar juga ternyata kalau sedang usil, hidungku
kembang kempis. Hrr, aku tak suka jika orang lain lebih paham tentangku daripada diriku sendiri. Kyrie masih berisik memohon aku agar mengembalikan cemilannya.
Mataku bangkit dan menatapnya tajam. Hidungku sengaja kukembang-kempiskan lebih
kuat.
Yyuuummmm! kulahap tahu mayonya dan
ia sekuat tenaga mencoba menggigit lenganku.
/
‘Ren(t)jana Kyrie’ ditulis oleh Mohammad Andi Perdana untuk
The Moderntramp pada Januari 2014. Merupakan bagian entah ke berapa dari cerita
panjang yang berjudul sementara ‘Suar Sekar’. Sebuah fiksi
Subscribe to:
Posts (Atom)